Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Selasa, 19 April 2016

Terorisme Sahel Sahara
Oleh : Fatkurrohman, S.IP, M.Si[1]

Pertemuan penting para menteri pertahanan Afrika khususnya Afrika Barat, Utara dan Tengah (Sahel Sahara) telah digelar di Mesir pada tanggal 25-26 Maret. Pertemuan ini bertujuan untuk membangun kerja sama komunitas Sahel Sahara dalam hal memerangi terorisme. Pada pertemuan ini dihasilkan 17 butir kesepakatan yang salah satunya adalah perlunya kerja sama melawan terorisme, pertukaran informasi inteljen dan memperkuat pengawasan perbatasan di antara negara anggota.
Perang terhadap terorisme sebetulnya telah dilakukan oleh negara-negara anggota Sahel Sahara seperti Nigeria, Chad, Mali, Aljazair, dan Mesir. Di Nigeria, gerakan teror Boko Haram muncul pada tahun 2002 dan saat ini dipimpin oleh Abubakar Shekau. Boko Haram tidak hanya aktif di Nigeria tetapi juga di Chad, Kamerun, Niger, dan bahkan Benin. Boko Haram awalnya beraliansi dengan al-Qaeda, tetapi sejak Maret 2015 memproklamirkan diri menjadi bagian dari ISIS (the Islamic state of Iraq and Syria).
Masuknya Boko Haram menjadi bagian dari ISIS semakin memperkuat posisi ISIS di Afrika Barat. Tidak hanya di Nigeria, ISIS juga memperkuat pengaruhnya di Libya yang menjadikan Sirte sebagai ibu kotanya. Di Mesir, ISIS juga menancapkan kekuatannya di Semenanjung Sinai Utara. Selain ISIS, kelompok teror yang lain adalah Gerakan Al-Shabab yang merupakan sayap Tanzim Al-Qaeda beroperasi di Somalia. Belakangan ini, Al-Shabab ternyata tidak hanya bergerak di Somalia, tetapi juga di Kenya dan Djibouti.
Sementara Mali juga menghadapi ancaman keamanan dari Gerakan Nasional Pembebasan Azawad (MNLA). Gerakan kelompok ini dipelopori oleh suku Tuareg yang ingin melepaskan diri dari Mali. Kelompok MNLA ini disinyalir memiliki kedekatan dengan Tanzim al-Qaeda di Maghrib Arab (AQIM). MNLA aktif pada tahun 2011 untuk menjadikan Azawad sebagai negara yang terpisah dari Mali. Azawad sendiri merupakan sebuah wilayah yang berada di Mali Utara.
Banyaknya kelompok teror di Afrika ini menjadi sebuah keprihatinan tersendiri khususnya bagi negara-negara Sahel Sahara. Beragam upaya telah dilakukan oleh negara-negara anggota Sahel Sahara untuk memerangi terorisme tetapi hasilnya sampai saat ini masih nihil. Langkah lain juga diambil oleh beberapa negara Sahel Sahara yakni dengan melibatkan negara asing dalam melumpuhkan kelompok teror. Negara-negara yang pernah mengambil peran dalam perang terhadap terorisme di Sahel Sahara adalah Perancis dan AS.
Pada tanggal 20 Desember 2012, Perancis mendapatkan mandat dari Dewan Keamanan PBB untuk menggelar operasi militer di lima negara Sahel Sahara yang meliputi Mali, Niger, Burkina Faso, Mauritania dan Chad. Dalam hal ini, Perancis telah menurunkan 3.000 pasukan militernya untuk menumpas MNLA, AQIM dan Boko Haram. Meskipun operasi militer Perancis ini dibantu oleh kelima negara tersebut, tetapi hasilnya praktis tidak nampak.
Selain Perancis, AS pun terlibat perang melawan terorisme di Afrika khususnya keterlibatannya di Somalia dan Nigeria. Serangan besar-besaran yang dilakukan oleh tentara AS ke kantong-kantong Al-Shabab di Somalia juga tidak membuahkan hasil yang maksimal. Tidak hanya di Somalia, AS juga masuk ke Nigeria untuk memberantas Boko Haram khusunya dalam kasus penculikan 200 siswi yang dilakukan oleh Boko Haram. Dalam kasus ini, bisa dikatakan peran AS tidak terlalu menggemberikan dalam hal menyelematkan para siswi yang diculik oleh Boko Haram.
Setali tiga uang dengan AS dan Perancis, Uni Afrika sebagai rejim regional Afrika juga dianggap lamban dalam mengatasi gerakan terorisme di Afrika khususnya di Sahel Sahara. Padahal jika dilihat dari segi struktur di tubuh Uni Afrika, mestinya Uni Afrika bisa bergerak cepat dalam merespon menyebarnya terorisme di Afrika. Rentang tahun 1995-2001, Afrika mengalami peningkatan grafik terorisme. Hal ini sekaligus menempatkan Afrika menjadi wilayah kelima terbesar dunia yang ditarget teroris setelah Amerika Latin, Eropa Barat, Asia dan Timur Tengah.
Berpijak dari analisa di atas, maka bisa disimpulkan bahwa di tengah kegagalan negara, keterlibatan asing dan bahkan Uni Afrika, maka momentum kerja sama antar negara bisa menjadi alternatif yang baik dalam melawan terorisme di Sahel Sahara.

[1] Akademisi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Jumat, 19 Februari 2016

Tantangan Jenewa
Oleh : Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]

Perundingan antara rejim Bashar al-Assad dan kelompok oposisi yang tergabung dalam the High Negotiations Committee (HNC) yang diselenggarakan di Jenewa sejak 1 Februari 2016 untuk sementara waktu ditunda. Menurut utusan khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura pembicaraan damai (peace talks) akan dimulai lagi pada tanggal 25 Februari 2016. Penundaan ini terjadi karena munculnya sikap saling menyalahkan antara pihak rejim Assad dan oposisi terkait kondisi di Suriah. Pihak oposisi meminta agar segala bentuk serangan udara dan pengepungan dihentikan, tetapi pihak rejim Suriah menolak hal tersebut.
Pihak rejim Assad beralasan bahwa serangan yang dilakukan adalah untuk menumpas kelompok teror. Selain itu, pihak Assad juga mengatakan bahwa jika pihak oposisi serius dengan perundingan maka tidak perlu prasyarat-prasyarat tertentu. Penggunaan prasyarat menurut pihak Assad hanya akan menghambat jalannya perundingan. Untuk itu pihak Assad terus melakukan pengepungan dan serangan udara yang dibantu oleh Rusia meski perundingan sedang berlangsung di Jenewa.
Keberhasilan pasukan rejim Assad menguasi dua wilayah di Aleppo yakni Nubul dan Zahra yang sekaligus menguasai rute suplai dari Aleppo ke perbatasan Turki merupakan kemenangan besar rejim Assad. Kedua wilayah Syiah tersebut awalnya dikuasai oleh kelompok oposisi hampir tiga tahun. Kekalahan kelompok oposisi di Nubul dan Zahra ini menjadi salah faktor penentu mundurnya oposisi dari meja perundingan di Jenewa. Kondisi di Suriah yang tidak stabil selama perundingan dan sikap saling mengklaim antara kedua belah pihak menjadikan perjalanan perundingan menjadi terganggu.
Proposal perdamaian dan perundingan diusulkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyelesaikan krisis politik Suriah. Tidak terkecuali perundingan yang digagas oleh DK (Dewan Keamanan) PBB yakni Jenewa I (2012) dan II (2014). Tidak hanya itu, DK PBB juga memediasi pertemuan Jenewa kali ini yang hanya bertahan dalam beberapa putaran yang kemudian bisa kita sebut dengan Jenewa III. Upaya yang sangat keras dari DK PBB ini bertujuan untuk mengakhiri krisis Suriah yang telah berjalan hampir lima tahun. Jumlah korban tewas per Agustus 2015 menurut data PBB telah mencapai angka 250,000 orang. Sementara jumlah orang yang kehilangan tempat tinggal mencapai angka 11 juta jiwa.
Kondisi di Suriah memang sangat memprihatinkan dan bahkan memilukan. Korban berjatuhan setiap hari dan setiap hari pula orang-orang Suriah melakukan pengungsian ke negara-negara perbatasan dengan Suriah. Jumlah pengungsi terbanyak berada di Turki dengan jumlah kurang lebih 2 juta orang. Sementara jumlah pengungsi Suriah yang masuk ke Eropa mencapai angka kurang lebih 1 juta orang. Banyaknya jumlah pengungsi ini menurut UNHCR (the United Nations High Commissioner for Refugees) merupakan yang terbesar yang pernah ditangani UNHCR selama seperempat abad terakhir.
Persoalan pengungsi Suriah merupakan persoalan yang sangat rumit untuk diselesaikan di tengah situasi domestik Suriah yang masih belum stabil. Upaya-upaya terus dilakukan oleh DK PBB untuk mencari solusi politik dalam menyelesaikan krisis politik di Suriah. Salah satunya adalah apa yang disampaikan oleh de Mistura bahwa pembicaraan damai yang diselenggarakan beberapa hari yang lalu tidak gagal, tetapi ditunda. Hal ini menunjukkan de Mistura begitu sangat sabar untuk mencari titik temu antara pihak Assad dengan oposisi.
Dalam konteks ini, de Mistura tentunya harus banyak belajar dari kegagalan pendahulunya Lakhdar Brahimi dalam mengawal perundingan Jenewa II. Pekerjaan ini memang tidak mudah karena de Mistura harus mampu menyakinkan rejim Assad dan oposisi untuk datang lagi di perundingan, tetapi juga harus mampu menahan tekanan dari ISIS, kelompok Kurdi Suriah, dan al-Nusra Front. Hal ini karena ketiga kelompok tersebut berpotensi mengganggu jalannya perundingan yang akan datang.
Berpijak dari analisa di atas maka bisa disimpulkan bahwa tugas berat berada di pundak de Mistura untuk menyukseskan perundingan Jenewa yang akan datang. Tugas itu akan terasa ringan jika pihak-pihak yang bertikai menempatkan kepentingan Suriah di atas kepentingan mereka masing-masing.

[1] Akademisi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Sabtu, 09 Januari 2016

Teror ISIS di Perancis
Oleh : Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]

Stabilitas keamanan domestik Perancis saat ini sedang diuji. Hal ini karena dalam beberapa hari terakhir, sejumlah orang yang berafiliasi ke ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria) telah melakukan pengeboman dan penembakan di stadion nasional Stade de France, beberapa restoran dan gedung konser di Bataclan di Paris. Jumlah korban akibat serangan brutal tersebut telah menewaskan kurang lebih 153 orang dan 300 orang mengalami luka-luka. Jumlah korban akibat aksi teror ini bisa dikatakan yang terbesar kedua yang terjadi di Eropa setelah bom Madrid di Spanyol yang menewaskan 191 orang pada tahun 2004.
 Banyaknya korban tewas yang terjadi di Paris, ternyata tidak membuat ISIS berhenti untuk menebarkan ancamamannya. Bahkan sebaliknya, pasca tragedi Paris, pihak ISIS akan menyiapkan target-target berikutnya seperti London, Roma dan Washington. Sebelumnya ISIS juga mengancam akan menghancurkan Rusia terkait dengan serangan masif yang dilakukan oleh Rusia terhadap ISIS di Suriah awal bulan lalu. Tidak hanya itu, bahkan ISIS juga akan melakukan penyerangan terahadap kedutaan-keduataan Jepang dan Panama di seluruh dunia, tidak terkecuali kedutaan Jepang dan Panama yang berada di Jakarta.
ISIS awalnya bernama Jama’at al-Tawhid wal-Jihad yang aktif pada tahun 1999 yang kemudian bergabung dengan al-Qaeda pada tahun 2004 dan berpisah dengan al-Qaeda per 3 Februari 2014. ISIS atau juga disebut ISIL (the Islamic State of Iraq and the Levant) dalam akronim bahasa Arab sering juga disebuah Daesh atau Da’ish. Kemudian mulai 29 Juni 2014, ISIS memproklamirkan diri membentuk kekhalifan dunia dalam bentuk negara Islam (Islamic State) dengan Abu Bakr al-Baghdadi sebagai pemimpinnya. ISIS yang saat ini lebih populer dengan sebutan IS (Islamic State) berideologikan salafi memiliki pengikut berkisar 52,600-257,900 orang dan memiliki ibu kota de facto di Ar-Raqqah, Suriah.
Kekuatan ISIS sebetulnya tidak hanya berada di Suriah dan Irak saja, tetapi kekuatan dan pengaruh ISIS telah menyebar ke Libya, Mesir, Aljazair, Arab Saudi, Yaman, Afghanistan, Pakistan, India, Nigeria dan Kaukasus Utara. Fakta ini kemudian semakin memperkuat terkait dengan bahwa pengaruh ISIS dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan khususnya terkait dengan sejumlah wilayah yang diklaim menjadi milik ISIS. Seiring dengan itu pula, ISIS juga melakukan tindakan teror ke negara-negara yang menjadi targetnya. Setidak-tidaknya dalam kurun waktu tahun 2015, ISIS telah melakukan 62 kali tindakan teror termasuk yang terjadi di Paris beberapa hari yang lalu.
Tragedi Paris telah menyita banyak perhatian internasional khususnya dalam pertemuan G-20 yang telah dilaksanakan di Turki pada tanggal 15-16 November 2015. Dalam pertemuan tersebut diambil sebuah kesepakatan bersama terkait pentingnya membangun kerjasama yang lebih kuat untuk menangkal dan melawan tindakan teror ISIS. Bahkan dalam konteks ini, Presiden Perancis Francois Hollande akan bertemu dengan Obama dan Putin untuk membahas secara khusus terkait dengan ISIS. Dalam agenda untuk melawan ISIS, pihak Rusia dalam pertemuan G-20 juga siap melakukan kerja sama dengan Barat untuk bersama-sama menumpas ISIS di Suriah.
Kerja sama antara pihak Barat dan Rusia menjadi penting dalam hal menjadikan ISIS sebagai musuh bersama. Kerja sama ini setidak-tidaknya akan mempersempit ruang gerak ISIS baik di Timur Tengah maupun di luar Timur Tengah. Serangan-serangan udara secara masif yang dilakukan oleh koalisi Barat yang dipimpin oleh AS terhadap ISIS di Suriah sejak tahun 2014 ternyata tidak membuahkan hasil yang maksimal. Di sisi yang lain, serangan udara secara besar-besaran yang dilakukan oleh Rusia awal bulan lalu juga tidak membuahkan hasil yang menggembirakan bahkan serangan-serangan udara Rusia disinyalir banyak mengenai oposisi Bashar al-Assad daripada ISIS.
Untuk itu, kerja sama antara pihak Barat dan Rusia perlu didorong secara kuat untuk menekan gerak ISIS khususnya di Suriah. Hal ini sejalan dengan hasil kesepakatan perundingan 19 negara terkait dengan krisis politik di Suriah yang diadakan di Wina, Austria pada tanggal 14 November 2015. Dalam perundingan tersebut dihasilkan kesepakatan terkait dengan bahwa tanggal 1 Januari 2016 merupakan tahapan awal perundingan antara rejim Assad dan oposisi. Selain itu, juga menempatkan ISIS dan afiliasi al-Qaeda sebagai pihak yang tidak terlibat dalam gencatan senjata dalam penyelesaian krisis Suriah.
Berpijak dari analisa di atas, maka bisa disimpulkan bahwa tragedi Paris harus menjadi momentum yang baik bagi Rusia dan Barat untuk menekan gerakan ISIS khususnya yang berada di Suriah. Hanya dengan kerja sama tersebut setidak-tidaknya tidak hanya ISIS yang bisa ditekan, tetapi juga kerumitan krisis Suriah akan sedikit terurai. Wallahu A’lam.   

[1]  Akademisi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Solusi Krisis Yaman
Oleh : Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]

Instabilitas politik-keamanan di Yaman akhir-akhir ini semakin tidak terkendali. Korban tewas terkait konflik yang terjadi di Yaman saat ini menurut PBB telah mencapai angka 4,500 orang. Banyaknya korban yang tewas tersebut sebagian besar adalah warga sipil yang jumlahnya kira-kira 2,110 orang. Jumlah korban yang tewas sangat mungkin akan terus bertambah mengingat pemberontak Houthi memberikan perlawanan sengit meski mendapatkan serangan bertubi-tubi dari koalisi Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi.
Jet-jet tempur Uni Emirat Arab melakukan serangan udara ke kantong-kantong pertahanan Houthi setelah 45 tentara Uni Emirat Arab, 10 tentara Saudi dan 5 tentara Bahrain terbunuh di Yaman. Pihak Houthi mengklaim bertanggung jawab atas terbunuhnya pasukan koalisi Arab karena selama lima bulan terakhir mendapatkan serangan udara dari koalisi Arab. Pertempuran yang berkepanjangan antara kedua belah pihak telah mengakibatkan tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga menimbulkan bencana kelaparan dan pengungsian.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah apa solusi yang terbaik yang bisa digunakan untuk menyelesaikan krisis politik di Yaman?. Pertanyaan ini penting untuk kita diskusikan karena krisis di Yaman telah banyak menelan korban jiwa yang sebagian besarnya adalah warga sipil tak berdosa.
Krisis politik di Yaman berawal ketika Arab Spring melanda Timur Tengah pada tahun 2011. Pada saat itu para demonstran menginginkan Presiden Saleh (1990-2012) untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden Yaman. Tetapi, Presiden Saleh menolak untuk mundur sehingga terjadi kekacauan politik (political chaos) di Yaman. Pada tahun 2012, Presiden Saleh digantikan oleh wakilnya yakni Abdrabbuh Mansour Hadi yang kemudian mendapat dukungan penuh dari Barat.
Houthi yang berada di Yaman Utara melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Hadi karena sejak awal dimarginalkan dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pada tahun 2014, Houthi merebut Sanaa, ibukota Yaman, yang kemudian dilanjutkan Kota Aden dan kota-kota lain. Hal ini membuat Hadi harus menyingkir dari Yaman yang kemudian mengendalikan pemerintahan Yaman dari tempat pengasingannya di Arab Saudi.
Krisis politik yang berkepanjangan di Yaman telah membuat Yaman berada di “ambang kehancuran (on the verge of total collapse)”. Hal ini merujuk pada kenyataaan bahwa 21 juta di antara 26,7 juta penduduk Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan baik makanan, air bersih maupun tempat tinggal. Fakta tersebut harus segera disikapi baik oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian maupun pihak internasional (PBB).
Solusi Politik
Untuk merespon krisis di Yaman pihak Dewan Keamanan (DK) PBB secara bulat telah mengeluarkan resolusi 2201 pada tanggal 15 Februari 2015. Resolusi ini menyeru semua pihak untuk menghentikan konflik dan menjamin proses transisi politik di Yaman. Resolusi DK PBB tersebut bisa dikatakan tidak memberikan dampak yang signifikan karena tiga kali gencatan senjata yang pernah disepakati oleh kedua belah pihak ternyata gagal di tengah jalan.
Pembicaraan damai (peace talks) yang dimediasi PBB pada bulan Juni di Jenewa juga gagal menghasilkan kesepakatan gencatan senjata (ceasefire agreement) karena Houthi tidak mengirimkam delegasinya. Gagalnya gencatan senjata dan pembicaraan damai diakibatkan tidak adanya saling percaya antara pihak-pihak yang bertikai. Dalam konteks ini, utusan khusus PBB untuk masalah Yaman Ismail Ould Cheikh Ahmed harus mampu menyakinkan pihak-pihak yang bertikai bahwa tidak akan ada serangan ke pihak lain dalam masa gencatan senjata.
Ketika pihak PBB bisa menyakinkan kedua belah pihak untuk betul-betul melakukan gencatan senjata maka ada dua keuntungan yang akan diperoleh. Pertama adalah bantuan kemanusiaan yang dikirimkan oleh PBB maupun ICRC bisa masuk ke zona konflik dan keuntungan yang kedua adalah pembicaraan damai bisa dilaksanakan secara baik. Jika pembicaraan damai bisa dilakukan maka transisi politik ada kemungkinan bisa terwujud dengan baik.
Berpijak dari analisa di atas maka bisa disimpulkan bahwa membangun rasa saling percaya antara pihak yang bertikai adalah salah satu solusi jangka pendek yang harus dilakukan oleh utusan khusus PBB. Jika ini berhasil dilaksanakan maka krisis politik di Yaman diharapkan bisa segera berakhir. Wallahu A’lam.

[1] Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Penulis Buku “Isu dan Realita Konflik Kawasan”
Intervensi Rusia di Suriah
Oleh:Fatkurrohman, S.IP, M.Si[1]

Tanggal 30 September Parlemen Rusia menyetujui permintaan Presiden Vladimir Putin untuk melaksanakan serangan udara di Suriah. Serangan ini merupakan keterlibatan pertama kali Rusia di Timur Tengah pasca kekalahan Rusia (Uni Soviet) atas kelompok Mujahidin di Afghanistan pada tahun 1979-1989. Serangan udara ini bertujuan untuk menarget tempat-tempat yang menjadi basis ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria) di utara dan timur Suriah. Tetapi, pihak AS dan aliansinya mengklaim bahwa serangan udara Rusia ternyata lebih banyak menyasar kelompok anti rejim Bashar al-Assad daripada ISIS.
Jamak diketahui bahwa kelompok-kelompok anti rejim Assad ini merupakan pihak yang didukung oleh negara-negara Teluk dan dilatih secara khusus oleh CIA. Dukungan penuh AS dan negara-negara Teluk terhadap kelompok oposisi merupakan misi awal AS untuk menggantikan posisi Assad sebagai Presiden Suriah. Kepentingan AS melengserkan Assad adalah untuk memperkuat cengkraman pengaruhnya di Timur Tengah, sementara kepentingan negara-negara Teluk adalah menjaga eksistensi paham sunni di tengah mulai menguatnya pengaruh syiah di Timur Tengah.
Suriah merupakan negara yang berpenduduk 17 juta jiwa per 2014. Jumlah penganut paham sunni di Suriah mencapai 70%, sementara Syiah 13%. Saat ini, Suriah dikendalikan oleh syiah lewat pemerintahan Assad. Kondisi Suriah pasca bergulirnya Arab Spring telah membuat Suriah mengalami krisis politik yang tak kunjung usai. Korban jiwa akibat krisis politik yang terjadi sejak 2011 mencapai angka 250,000 orang sementara setengah dari jumlah penduduk Suriah kehilangan tempat tinggal.
Banyaknya korban jiwa yang tewas dalam krisis Suriah sangat mungkin akan terus bertambah seiring dengan serangan udara secara massif yang dilakukan oleh Rusia di kantong-kantong pertahanan ISIS di Suriah. Salah satu alasan utama mengapa Rusia melakukan serangan udara ke ISIS karena keberadaan ISIS di Suriah yang terus melebarkan pengaruhnya berpotensi menngancam kepentingan Rusia di Suriah. Kepentingan Rusia tidak hanya menjaga keberlangsungan rejim Assad, tetapi yang tidak kalah penting adalah mengamankan pangkalan militer (Naval Base) Rusia di Tartus, Suriah. Pangkalan ini sangat berarti bagi Rusia karena merupakan simbol pengaruh Rusia di Timur Tengah.
Upaya Rusia dalam memerangi ISIS bisa dikatakan tidak setengah-setengah. Dalam hal ini, Rusia juga membentuk aliansi baru yang terdiri dari Suriah, Iran, Irak untuk bersama-sama menempatkan ISIS sebagai musuh bersama (common enemy). Koalisi yang dipimpin Rusia ini sekaligus upaya untuk menjatuhkan pengaruh AS dan koalisinya yang selama ini dinilai gagal dalam memerangi ISIS di Timur Tengah khususnya di Suriah.
Picu Ketegangan
Jet-jet tempur Rusia yang melakukan serangan udara ke benteng-benteng pertahanan ISIS di Suriah diklaim oleh Turki telah melanggar zona ruang angkasanya. Hal ini sekaligus memicu terjadinya ketegangan antara Turki dan Rusia. Dalam konteks yang lebih luas, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa gangguan terhadap Turki sama halnya dengan gangguan terhadap NATO. Hal ini karena Turki merupakan salah satu di antara 28 anggota NATO yang terbentuk pada tahun 1949.
Bahkan secara jelas Sekjen NATO Stoltenberg menegaskan bahwa pelanggaran Rusia merupakan hal yang “tidak dapat diterima” dan NATO akan mengambil langkah yang serius yang mungkin akan menciptakan situasi yang berbahaya bagi Rusia. Munculnya ancaman dari Sekjen NATO ke Rusia sangat jelas menggambarkan ada rivalitas global dalam krisis politik di Suriah. Koalisi yang dipimpin oleh Rusia dalam mengamankan kepentingan politiknya di Suriah sangat jelas akan berhadapan dengan koalisi AS yang juga memiliki kepentingan di Suriah.
Jika dua belah pihak yakni koalisi pimpinan Rusia dan koalisi pimpinan AS tidak saling mengendalikan diri maka krisis politik di Suriah akan sangat sulit untuk diselesaikan. Hal ini tentu kontraproduktif dengan upaya solusi damai yang rencananya akan digelar bulan ini yang melibatkan negara-negara penentu konflik Suriah yakni Iran, Arab Saudi, Turki, Mesir, AS dan Rusia.
Berpijak dari analisa di atas maka dapat disimpulkan bahwa serangan udara Rusia ke Suriah berpotensi menimbulkan ketegangan yang lebih besar dalam pusaran krisis politik di Suriah. Untuk itu Rusia dan NATO diharapkan bisa saling mengendalikan diri dan mengedepankan solusi damai untuk menyelesaikan krisis Suriah. Wallahu A’lam.

[1] Akademisi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Penulis Buku “Isu dan Realita Konflik Kawasan”.
Perubahan Geopilitik Saudi
Oleh : Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]

Spektrum politik luar negeri Arab Saudi telah mulai menampakkan pergeseran. Hal ini ditandai dengan pertemuan penting yang melibatkan Putra Mahkota yang sekaligus Menteri Pertahanan Arab Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman dengan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Saint Petersburg, Rusia. Pertemuan dua tokoh tersebut membahas terkait masalah Suriah dan Yaman. Pertemuan ini sekaligus melengkapi pertemuan sebelumnya terkait kerja sama nuklir antar kedua negara.
Serangkaian pertemuan yang digelar oleh pemerintah Saudi dan Rusia mengindikasi adanya perbaikan hubungan antar keduanya yang sekian lama terkunci dalam kebekuan. Hal ini sekaligus menandai mulai muncul rasa tidak percaya Saudi terhadap AS yang sejak lama menjadi pelindungnya (patron) di Timur Tengah. Perubahan konfigurasi politik luar negeri Saudi sangat menarik untuk dianalisa di tengah situasi politik dan keamanan Timur Tengah yang tidak kunjung stabil.
Arab Saudi merupakan negara kerajaan yang berdiri pada tahun 1932 dan berpenduduk kira-kira 30 juta jiwa (2014). Selain itu, Arab Saudi juga menjadi salah satu negara penghasil minyak terbesar dunia yang kemudian diikuti oleh Amerika Serikat, Rusia dan China. Menurut catatan The World Factbook, produksi minyak Arab Saudi mencapai angka 11,590,000 barel per hari (2013). Posisi Arab Saudi sebagai negara yang kaya minyak ini menjadi magnet bagi AS untuk membangun kerja sama dengan Arab Saudi. Hubungan diplomatik AS dan Arab Saudi pertama kali dibangun pada tahun 1933 atas kesepakatan dua kepala negara yakni Franklin D. Roosevelt (AS) dan Ibn Saud (Arab Saudi).
Kedekatan antara AS dan Arab Saudi ini kemudian disebut sebagai hubungan mutualisme (saling menguntungkan) kedua belah pihak. AS mendapatkan hak untuk mengeksplorasi minyak Saudi lewat Aramco (Arabian American Oil Company), sementara Arab Saudi mendapatkan jaminan keamanan dari AS lewat pendirian pangkalan-pangkalan militer AS di Arab Saudi. Hubungan yang harmonis antara AS dan Arab Saudi bisa dikatakan telah berjalan hampir delapan dekade yang akhirnya harus meredup di pertengan tahun ini. Hal ini terjadi karena pemerintah Saudi saat ini merasa ditelikung oleh AS terkait dengan persoalan nuklir Iran, Suriah dan Yaman.
Perubahan Geopolitik
Kekecewaan Arab Saudi terhadap AS bisa ditelusuri lewat tiga persoalan penting. Ketiga persoalan tersebut adalah masalah nuklir Iran, Suriah dan Yaman. Ketiga masalah inilah yang menjadikan hubungan Saudi dan AS yang terbangun sejak delapan dekade yang lalu, akhir-akhir ini mengalami kebekuan. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga masalah tersebut begitu sangat serius bagi Saudi sehingga Saudi harus berhitung untung rugi terkait dengan kedekatannya dengan AS.
Pertama, masalah nuklir Iran. Menurut Arab Saudi, AS dianggap lambat dan tidak tegas dalam menyelesaikan masalah nuklir Iran sehingga hal tersebut menimbulkan kekecewaan bagi Saudi. Jalan dialog yang ditempuh Obama dalam penyelesaian nuklir Iran dianggap oleh pihak Saudi sebagai langkah yang membuang-buang waktu. Untuk merespon kondisi tersebut, maka tidak mengherankan jika kemudian Saudi menjalin kerja sama dengan Rusia untuk membangaun 16 reaktor nuklir di Saudi.
Kedua, krisis politik Suriah. Instabilitas politik Suriah yang tidak kunjung membaik di Suriah pasca Arab Spring yang melanda Suriah sejak 15 Mei 2011 membuat Saudi tidak nyaman. Hal ini karena Saudi yang beraliran Sunni tidak senang dengan Suriah di bawah kepemimpinan Bashar Al-Assad yang Syiah. Maka untuk menyikapi hal tersebut, dalam pertemuan antara Pangeran Muhammad dengan Putin yang digelar akhir bulan lalu menyepakati perlunya pemilihan presiden Suriah yang baru. Hal ini disepakati oleh Rusia dengan catatan kepentingan Rusia tidak terganggu dengan terpilihnya pemimpin baru Suriah.
Ketiga, persoalan Yaman. Ekskalasi konflik antara pendukung Mansour Hadi, presiden Yaman, dengan Houthi, kelompok syiah, sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Kelompok Houthi yang didukung Iran secara masif melakukan tekanan terhadap pendukung Hadi dan sekaligus melakukan perlawanan terhadap serangan udara pasukan koalisi yang dipimpin oleh Saudi. Pihak Arab Saudi berkepentingan untuk menumpas Houthi karena Houthi merupakan kepanjangan tangan Iran di Yaman.
Berdasarkan analisa di atas maka bisa disimpulkan bahwa ketika AS yang merupakan sekutu tradisional Saudi tidak bisa mengamankan kepentingan Saudi di Timur Tengah, maka menjalin kemitraan dengan Rusia adalah pilihan terbaik bagi Saudi dalam menjaga pengaruhnya di Timur Tengah. Wallahu A’lam.



[1] Akademisi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ketegangan Iran-Saudi
Oleh : Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]

Hubungan Iran dan Arab Saudi saat ini sedang memanas. Hal ini terjadi setelah pemerintah Saudi melakukan hukuman mati terhadap tokoh Syiah yang bernama Nimr al-Nimr. Pelaksanaan hukuman mati terhadap Nimr ini dilakukan oleh Saudi karena Nimr dianggap sebagai orang yang terlibat dalam kegiatan terorisme. Hukuman mati terhadap Nimr ini kemudian direspon oleh demonstran di Iran dengan cara melakukan pengerusakan terhadap kantor kedutaan Saudi di Iran.
Ketegangan Iran dan Saudi berlanjut dengan pemutusan hubungan diplomatik yang dilakukan oleh Saudi terhadap Iran. Langkah Saudi ini kemudian diikuti oleh sekutu-sekutunya di Timur Tengah dan Afrika seperti Bahrain, Kuwait dan Sudan. Sementara Uni Emirat Arab hanya melakukan pengurangan misi diplomatiknya terhadap Iran. Sikap Saudi dan sekutu-sekutunya tersebut secara jelas menggambarkan bahwa negara-negara tersebut ingin menjadikan Iran sebagai musuh bersama (common enemy) dalam percaturan politik Timur Tengah.
Hukuman mati yang dilakukan oleh Saudi terhadap tokoh Syiah Nimr tidak bisa dilepaskan dari sikap vokal Nimr yang anti pemerintah (keluarga kerajaan). Tidak hanya itu Nimr juga berani menyuarakan persamaan hak antara Syiah khususnya di Propinsi Timur di tengah mayoritas Sunni Arab Saudi. Nimr juga dianggap sosok yang berada di belakang layar terkait demonstrasi di wilayah Saudi timur pada tahun 2011.
Eksekusi terhadap Nimr merupakan klimaks dari perseteruan antara Arab Saudi dan Iran yang telah berjalan hampir tiga dekade pasca revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Perang Iran-Irak pada tahun 1980-1988 semakin memperkeruh hubungan Saudi dan Iran. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari dukungan Arab Saudi terhadap Irak (Saddam Hussein) yang sama-sama berpahamkan Sunni. Sementara Iran berpegang pada pedoman paham Syiah. Munculnya paham Syiah dan Sunni ini tidak bisa dilepaskan dari perselisihan siapa yang seharusnya memimpin umat Islam pasca wafatnya Rasullallah Muhammad SAW. Paham Sunni dan Syiah memiliki perbedaan yang signifikan dari segi doktrin, ritual, hukum, teologi dan organisasi keagamaan.
Perseteruan antara Arab Saudi dan Iran saat ini tidak bisa dilepaskan dari akar perbedaan paham antar keduanya. Kedua negara yakni Arab Saudi dan Iran saling berlomba untuk menyebarkan pengaruhnya di Timur Tengah. Perlombaan pengaruh tersebut bisa kita lihat misalnya di Irak. Pasca tergulingnya rejim Saddam Hussein akibat invasi AS pada tahun 2003, konflik Sunni dan Syiah di Irak bisa dikatakan mengalami peningkatan yang tajam. Perebutan pengaruh dan adu kekuatan sering kali terjadi di Irak sehingga membuat Irak seperti medan pembunuhan (killing field). Kemudian dalam proses politiknya akhirnya Syiah mampu menancapkan kekuasaannya di Irak.
Untuk kasus terkini terkait dengan perlombaan pengaruh antara Arab Saudi dan Iran bisa kita lihat di Yaman dan Suriah. Untuk kasus Yaman, Iran melalui pemberontak Houthi (Syiah) melakukan pengambilan kekuasaan secara paksa dari tangan Abd Rabbuh Mansur Hadi (Sunni). Sementara di Suriah, rejim Bashar al-Assad yang berpahamkan Syiah didukung secara habis-habisan oleh Iran agar tetap berkuasa di Suriah di tengah gempuran oposisi yang berpahamkan Sunni.
Pertikaian antara Iran dan Arab Saudi yang jelas akan berdampak pada penyelesaian persoalan politik di Yaman dan Suriah. Kebekuan hubungan antara Iran dan Arab Saudi akan membuat persoalan di Yaman dan Suriah akan sangat sulit untuk diselesaikan. Hal ini karena Iran dan Arab Saudi merupakan aktor-aktor kunci yang memiliki kepentingan besar di Yaman dan Suriah. Proses penyelesain jalan damai yang saat ini sedang berjalan di Suriah akan sangat rentan terganggu jika hubungan Iran dan Arab Saudi belum bisa dicairkan. Hal yang sama juga terjadi di Yaman, di tengah krisis Yaman yang belum kunjung usai.
Berpijak dari analisa di atas maka bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa ketegangan yang terjadi antara Arab Saudi dan Iran saat ini tidak hanya berdampak pada kedua negara tersebut, tetapi juga akan berdampak pula pada proses penyelesaian persoalan yang ada di Suriah dan Yaman. Wallahu A'lam bishawab.

[1] Akademisi Fisipol UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta.