Perubahan
Geopilitik Saudi
Oleh
: Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]
Spektrum
politik luar negeri Arab Saudi telah mulai menampakkan pergeseran. Hal ini
ditandai dengan pertemuan penting yang melibatkan Putra Mahkota yang sekaligus
Menteri Pertahanan Arab Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman dengan dengan
Presiden Rusia Vladimir Putin di Saint Petersburg, Rusia. Pertemuan dua tokoh
tersebut membahas terkait masalah Suriah dan Yaman. Pertemuan ini sekaligus
melengkapi pertemuan sebelumnya terkait kerja sama nuklir antar kedua negara.
Serangkaian
pertemuan yang digelar oleh pemerintah Saudi dan Rusia mengindikasi adanya
perbaikan hubungan antar keduanya yang sekian lama terkunci dalam kebekuan. Hal
ini sekaligus menandai mulai muncul rasa tidak percaya Saudi terhadap AS yang
sejak lama menjadi pelindungnya (patron)
di Timur Tengah. Perubahan konfigurasi politik luar negeri Saudi sangat menarik
untuk dianalisa di tengah situasi politik dan keamanan Timur Tengah yang tidak
kunjung stabil.
Arab
Saudi merupakan negara kerajaan yang berdiri pada tahun 1932 dan berpenduduk
kira-kira 30 juta jiwa (2014). Selain itu, Arab Saudi juga menjadi salah satu
negara penghasil minyak terbesar dunia yang kemudian diikuti oleh Amerika
Serikat, Rusia dan China. Menurut catatan The World Factbook, produksi minyak
Arab Saudi mencapai angka 11,590,000 barel per hari (2013). Posisi Arab Saudi
sebagai negara yang kaya minyak ini menjadi magnet bagi AS untuk membangun
kerja sama dengan Arab Saudi. Hubungan diplomatik AS dan Arab Saudi pertama
kali dibangun pada tahun 1933 atas kesepakatan dua kepala negara yakni Franklin
D. Roosevelt (AS) dan Ibn Saud (Arab Saudi).
Kedekatan
antara AS dan Arab Saudi ini kemudian disebut sebagai hubungan mutualisme
(saling menguntungkan) kedua belah pihak. AS mendapatkan hak untuk
mengeksplorasi minyak Saudi lewat Aramco (Arabian
American Oil Company), sementara Arab Saudi mendapatkan jaminan keamanan
dari AS lewat pendirian pangkalan-pangkalan militer AS di Arab Saudi. Hubungan
yang harmonis antara AS dan Arab Saudi bisa dikatakan telah berjalan hampir
delapan dekade yang akhirnya harus meredup di pertengan tahun ini. Hal ini
terjadi karena pemerintah Saudi saat ini merasa ditelikung oleh AS terkait
dengan persoalan nuklir Iran, Suriah dan Yaman.
Perubahan
Geopolitik
Kekecewaan
Arab Saudi terhadap AS bisa ditelusuri lewat tiga persoalan penting. Ketiga
persoalan tersebut adalah masalah nuklir Iran, Suriah dan Yaman. Ketiga masalah
inilah yang menjadikan hubungan Saudi dan AS yang terbangun sejak delapan
dekade yang lalu, akhir-akhir ini mengalami kebekuan. Hal ini mengindikasikan
bahwa ketiga masalah tersebut begitu sangat serius bagi Saudi sehingga Saudi harus
berhitung untung rugi terkait dengan kedekatannya dengan AS.
Pertama,
masalah nuklir Iran. Menurut Arab Saudi, AS dianggap lambat dan tidak tegas
dalam menyelesaikan masalah nuklir Iran sehingga hal tersebut menimbulkan
kekecewaan bagi Saudi. Jalan dialog yang ditempuh Obama dalam penyelesaian
nuklir Iran dianggap oleh pihak Saudi sebagai langkah yang membuang-buang
waktu. Untuk merespon kondisi tersebut, maka tidak mengherankan jika kemudian
Saudi menjalin kerja sama dengan Rusia untuk membangaun 16 reaktor nuklir di
Saudi.
Kedua,
krisis politik Suriah. Instabilitas politik Suriah yang tidak kunjung membaik
di Suriah pasca Arab Spring yang
melanda Suriah sejak 15 Mei 2011 membuat Saudi tidak nyaman. Hal ini karena
Saudi yang beraliran Sunni tidak senang dengan Suriah di bawah kepemimpinan Bashar
Al-Assad yang Syiah. Maka untuk menyikapi hal tersebut, dalam pertemuan antara
Pangeran Muhammad dengan Putin yang digelar akhir bulan lalu menyepakati
perlunya pemilihan presiden Suriah yang baru. Hal ini disepakati oleh Rusia
dengan catatan kepentingan Rusia tidak terganggu dengan terpilihnya pemimpin
baru Suriah.
Ketiga,
persoalan Yaman. Ekskalasi konflik antara pendukung Mansour Hadi, presiden
Yaman, dengan Houthi, kelompok syiah, sampai saat ini belum menunjukkan
tanda-tanda akan berakhir. Kelompok Houthi yang didukung Iran secara masif
melakukan tekanan terhadap pendukung Hadi dan sekaligus melakukan perlawanan
terhadap serangan udara pasukan koalisi yang dipimpin oleh Saudi. Pihak Arab
Saudi berkepentingan untuk menumpas Houthi karena Houthi merupakan kepanjangan
tangan Iran di Yaman.
Berdasarkan
analisa di atas maka bisa disimpulkan bahwa ketika AS yang merupakan sekutu
tradisional Saudi tidak bisa mengamankan kepentingan Saudi di Timur Tengah,
maka menjalin kemitraan dengan Rusia adalah pilihan terbaik bagi Saudi dalam
menjaga pengaruhnya di Timur Tengah. Wallahu
A’lam.