Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Sabtu, 09 Januari 2016

Perubahan Geopilitik Saudi
Oleh : Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]

Spektrum politik luar negeri Arab Saudi telah mulai menampakkan pergeseran. Hal ini ditandai dengan pertemuan penting yang melibatkan Putra Mahkota yang sekaligus Menteri Pertahanan Arab Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman dengan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Saint Petersburg, Rusia. Pertemuan dua tokoh tersebut membahas terkait masalah Suriah dan Yaman. Pertemuan ini sekaligus melengkapi pertemuan sebelumnya terkait kerja sama nuklir antar kedua negara.
Serangkaian pertemuan yang digelar oleh pemerintah Saudi dan Rusia mengindikasi adanya perbaikan hubungan antar keduanya yang sekian lama terkunci dalam kebekuan. Hal ini sekaligus menandai mulai muncul rasa tidak percaya Saudi terhadap AS yang sejak lama menjadi pelindungnya (patron) di Timur Tengah. Perubahan konfigurasi politik luar negeri Saudi sangat menarik untuk dianalisa di tengah situasi politik dan keamanan Timur Tengah yang tidak kunjung stabil.
Arab Saudi merupakan negara kerajaan yang berdiri pada tahun 1932 dan berpenduduk kira-kira 30 juta jiwa (2014). Selain itu, Arab Saudi juga menjadi salah satu negara penghasil minyak terbesar dunia yang kemudian diikuti oleh Amerika Serikat, Rusia dan China. Menurut catatan The World Factbook, produksi minyak Arab Saudi mencapai angka 11,590,000 barel per hari (2013). Posisi Arab Saudi sebagai negara yang kaya minyak ini menjadi magnet bagi AS untuk membangun kerja sama dengan Arab Saudi. Hubungan diplomatik AS dan Arab Saudi pertama kali dibangun pada tahun 1933 atas kesepakatan dua kepala negara yakni Franklin D. Roosevelt (AS) dan Ibn Saud (Arab Saudi).
Kedekatan antara AS dan Arab Saudi ini kemudian disebut sebagai hubungan mutualisme (saling menguntungkan) kedua belah pihak. AS mendapatkan hak untuk mengeksplorasi minyak Saudi lewat Aramco (Arabian American Oil Company), sementara Arab Saudi mendapatkan jaminan keamanan dari AS lewat pendirian pangkalan-pangkalan militer AS di Arab Saudi. Hubungan yang harmonis antara AS dan Arab Saudi bisa dikatakan telah berjalan hampir delapan dekade yang akhirnya harus meredup di pertengan tahun ini. Hal ini terjadi karena pemerintah Saudi saat ini merasa ditelikung oleh AS terkait dengan persoalan nuklir Iran, Suriah dan Yaman.
Perubahan Geopolitik
Kekecewaan Arab Saudi terhadap AS bisa ditelusuri lewat tiga persoalan penting. Ketiga persoalan tersebut adalah masalah nuklir Iran, Suriah dan Yaman. Ketiga masalah inilah yang menjadikan hubungan Saudi dan AS yang terbangun sejak delapan dekade yang lalu, akhir-akhir ini mengalami kebekuan. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga masalah tersebut begitu sangat serius bagi Saudi sehingga Saudi harus berhitung untung rugi terkait dengan kedekatannya dengan AS.
Pertama, masalah nuklir Iran. Menurut Arab Saudi, AS dianggap lambat dan tidak tegas dalam menyelesaikan masalah nuklir Iran sehingga hal tersebut menimbulkan kekecewaan bagi Saudi. Jalan dialog yang ditempuh Obama dalam penyelesaian nuklir Iran dianggap oleh pihak Saudi sebagai langkah yang membuang-buang waktu. Untuk merespon kondisi tersebut, maka tidak mengherankan jika kemudian Saudi menjalin kerja sama dengan Rusia untuk membangaun 16 reaktor nuklir di Saudi.
Kedua, krisis politik Suriah. Instabilitas politik Suriah yang tidak kunjung membaik di Suriah pasca Arab Spring yang melanda Suriah sejak 15 Mei 2011 membuat Saudi tidak nyaman. Hal ini karena Saudi yang beraliran Sunni tidak senang dengan Suriah di bawah kepemimpinan Bashar Al-Assad yang Syiah. Maka untuk menyikapi hal tersebut, dalam pertemuan antara Pangeran Muhammad dengan Putin yang digelar akhir bulan lalu menyepakati perlunya pemilihan presiden Suriah yang baru. Hal ini disepakati oleh Rusia dengan catatan kepentingan Rusia tidak terganggu dengan terpilihnya pemimpin baru Suriah.
Ketiga, persoalan Yaman. Ekskalasi konflik antara pendukung Mansour Hadi, presiden Yaman, dengan Houthi, kelompok syiah, sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Kelompok Houthi yang didukung Iran secara masif melakukan tekanan terhadap pendukung Hadi dan sekaligus melakukan perlawanan terhadap serangan udara pasukan koalisi yang dipimpin oleh Saudi. Pihak Arab Saudi berkepentingan untuk menumpas Houthi karena Houthi merupakan kepanjangan tangan Iran di Yaman.
Berdasarkan analisa di atas maka bisa disimpulkan bahwa ketika AS yang merupakan sekutu tradisional Saudi tidak bisa mengamankan kepentingan Saudi di Timur Tengah, maka menjalin kemitraan dengan Rusia adalah pilihan terbaik bagi Saudi dalam menjaga pengaruhnya di Timur Tengah. Wallahu A’lam.



[1] Akademisi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM).