Intervensi Rusia di Suriah
Oleh:Fatkurrohman,
S.IP, M.Si[1]
Tanggal 30 September Parlemen Rusia menyetujui permintaan
Presiden Vladimir Putin untuk melaksanakan serangan udara di Suriah. Serangan
ini merupakan keterlibatan pertama kali Rusia di Timur Tengah pasca kekalahan
Rusia (Uni Soviet) atas kelompok Mujahidin di Afghanistan pada tahun 1979-1989.
Serangan udara ini bertujuan untuk menarget tempat-tempat yang menjadi basis
ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria)
di utara dan timur Suriah. Tetapi, pihak AS dan aliansinya mengklaim bahwa
serangan udara Rusia ternyata lebih banyak menyasar kelompok anti rejim Bashar
al-Assad daripada ISIS.
Jamak diketahui bahwa kelompok-kelompok anti rejim Assad
ini merupakan pihak yang didukung oleh negara-negara Teluk dan dilatih secara
khusus oleh CIA. Dukungan penuh AS dan negara-negara Teluk terhadap kelompok
oposisi merupakan misi awal AS untuk menggantikan posisi Assad sebagai Presiden
Suriah. Kepentingan AS melengserkan Assad adalah untuk memperkuat cengkraman
pengaruhnya di Timur Tengah, sementara kepentingan negara-negara Teluk adalah
menjaga eksistensi paham sunni di tengah mulai menguatnya pengaruh syiah di
Timur Tengah.
Suriah merupakan negara yang berpenduduk 17 juta jiwa per
2014. Jumlah penganut paham sunni di Suriah mencapai 70%, sementara Syiah 13%.
Saat ini, Suriah dikendalikan oleh syiah lewat pemerintahan Assad. Kondisi
Suriah pasca bergulirnya Arab Spring
telah membuat Suriah mengalami krisis politik yang tak kunjung usai. Korban
jiwa akibat krisis politik yang terjadi sejak 2011 mencapai angka 250,000 orang
sementara setengah dari jumlah penduduk Suriah kehilangan tempat tinggal.
Banyaknya korban jiwa yang tewas dalam krisis Suriah
sangat mungkin akan terus bertambah seiring dengan serangan udara secara massif
yang dilakukan oleh Rusia di kantong-kantong pertahanan ISIS di Suriah. Salah
satu alasan utama mengapa Rusia melakukan serangan udara ke ISIS karena
keberadaan ISIS di Suriah yang terus melebarkan pengaruhnya berpotensi
menngancam kepentingan Rusia di Suriah. Kepentingan Rusia tidak hanya menjaga
keberlangsungan rejim Assad, tetapi yang tidak kalah penting adalah mengamankan
pangkalan militer (Naval Base) Rusia
di Tartus, Suriah. Pangkalan ini sangat berarti bagi Rusia karena merupakan
simbol pengaruh Rusia di Timur Tengah.
Upaya Rusia dalam memerangi ISIS bisa dikatakan tidak
setengah-setengah. Dalam hal ini, Rusia juga membentuk aliansi baru yang
terdiri dari Suriah, Iran, Irak untuk bersama-sama menempatkan ISIS sebagai
musuh bersama (common enemy). Koalisi
yang dipimpin Rusia ini sekaligus upaya untuk menjatuhkan pengaruh AS dan
koalisinya yang selama ini dinilai gagal dalam memerangi ISIS di Timur Tengah
khususnya di Suriah.
Picu Ketegangan
Jet-jet tempur Rusia yang melakukan serangan udara ke
benteng-benteng pertahanan ISIS di Suriah diklaim oleh Turki telah melanggar
zona ruang angkasanya. Hal ini sekaligus memicu terjadinya ketegangan antara
Turki dan Rusia. Dalam konteks yang lebih luas, Presiden Turki Recep Tayyip
Erdogan mengatakan bahwa gangguan terhadap Turki sama halnya dengan gangguan
terhadap NATO. Hal ini karena Turki merupakan salah satu di antara 28 anggota
NATO yang terbentuk pada tahun 1949.
Bahkan secara jelas Sekjen NATO Stoltenberg menegaskan
bahwa pelanggaran Rusia merupakan hal yang “tidak dapat diterima” dan NATO akan
mengambil langkah yang serius yang mungkin akan menciptakan situasi yang
berbahaya bagi Rusia. Munculnya ancaman dari Sekjen NATO ke Rusia sangat jelas
menggambarkan ada rivalitas global dalam krisis politik di Suriah. Koalisi yang
dipimpin oleh Rusia dalam mengamankan kepentingan politiknya di Suriah sangat
jelas akan berhadapan dengan koalisi AS yang juga memiliki kepentingan di
Suriah.
Jika dua belah pihak yakni koalisi pimpinan Rusia dan
koalisi pimpinan AS tidak saling mengendalikan diri maka krisis politik di
Suriah akan sangat sulit untuk diselesaikan. Hal ini tentu kontraproduktif
dengan upaya solusi damai yang rencananya akan digelar bulan ini yang
melibatkan negara-negara penentu konflik Suriah yakni Iran, Arab Saudi, Turki,
Mesir, AS dan Rusia.
Berpijak dari analisa di atas maka dapat disimpulkan
bahwa serangan udara Rusia ke Suriah berpotensi menimbulkan ketegangan yang
lebih besar dalam pusaran krisis politik di Suriah. Untuk itu Rusia dan NATO
diharapkan bisa saling mengendalikan diri dan mengedepankan solusi damai untuk
menyelesaikan krisis Suriah. Wallahu
A’lam.
[1] Akademisi
Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Penulis Buku “Isu dan Realita Konflik Kawasan”.