Ketegangan
Iran-Saudi
Oleh
: Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]
Hubungan Iran dan Arab
Saudi saat ini sedang memanas. Hal ini terjadi setelah pemerintah Saudi
melakukan hukuman mati terhadap tokoh Syiah yang bernama Nimr al-Nimr.
Pelaksanaan hukuman mati terhadap Nimr ini dilakukan oleh Saudi karena Nimr
dianggap sebagai orang yang terlibat dalam kegiatan terorisme. Hukuman mati
terhadap Nimr ini kemudian direspon oleh demonstran di Iran dengan cara
melakukan pengerusakan terhadap kantor kedutaan Saudi di Iran.
Ketegangan Iran dan
Saudi berlanjut dengan pemutusan hubungan diplomatik yang dilakukan oleh Saudi
terhadap Iran. Langkah Saudi ini kemudian diikuti oleh sekutu-sekutunya di
Timur Tengah dan Afrika seperti Bahrain, Kuwait dan Sudan. Sementara Uni Emirat
Arab hanya melakukan pengurangan misi diplomatiknya terhadap Iran. Sikap Saudi
dan sekutu-sekutunya tersebut secara jelas menggambarkan bahwa negara-negara
tersebut ingin menjadikan Iran sebagai musuh bersama (common enemy) dalam percaturan politik Timur Tengah.
Hukuman mati yang
dilakukan oleh Saudi terhadap tokoh Syiah Nimr tidak bisa dilepaskan dari sikap
vokal Nimr yang anti pemerintah (keluarga kerajaan). Tidak hanya itu Nimr juga
berani menyuarakan persamaan hak antara Syiah khususnya di Propinsi Timur di
tengah mayoritas Sunni Arab Saudi. Nimr juga dianggap sosok yang berada di
belakang layar terkait demonstrasi di wilayah Saudi timur pada tahun 2011.
Eksekusi terhadap Nimr merupakan
klimaks dari perseteruan antara Arab Saudi dan Iran yang telah berjalan hampir
tiga dekade pasca revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Perang Iran-Irak pada
tahun 1980-1988 semakin memperkeruh hubungan Saudi dan Iran. Hal ini tidak bisa
dilepaskan dari dukungan Arab Saudi terhadap Irak (Saddam Hussein) yang
sama-sama berpahamkan Sunni. Sementara Iran berpegang pada pedoman paham Syiah.
Munculnya paham Syiah dan Sunni ini tidak bisa dilepaskan dari perselisihan
siapa yang seharusnya memimpin umat Islam pasca wafatnya Rasullallah Muhammad
SAW. Paham Sunni dan Syiah memiliki perbedaan yang signifikan dari segi
doktrin, ritual, hukum, teologi dan organisasi keagamaan.
Perseteruan antara Arab
Saudi dan Iran saat ini tidak bisa dilepaskan dari akar perbedaan paham antar
keduanya. Kedua negara yakni Arab Saudi dan Iran saling berlomba untuk menyebarkan
pengaruhnya di Timur Tengah. Perlombaan pengaruh tersebut bisa kita lihat
misalnya di Irak. Pasca tergulingnya rejim Saddam Hussein akibat invasi AS pada
tahun 2003, konflik Sunni dan Syiah di Irak bisa dikatakan mengalami peningkatan
yang tajam. Perebutan pengaruh dan adu kekuatan sering kali terjadi di Irak
sehingga membuat Irak seperti medan pembunuhan (killing field). Kemudian dalam proses politiknya akhirnya Syiah mampu
menancapkan kekuasaannya di Irak.
Untuk kasus terkini
terkait dengan perlombaan pengaruh antara Arab Saudi dan Iran bisa kita lihat
di Yaman dan Suriah. Untuk kasus Yaman, Iran melalui pemberontak Houthi (Syiah)
melakukan pengambilan kekuasaan secara paksa dari tangan Abd Rabbuh Mansur Hadi
(Sunni). Sementara di Suriah, rejim Bashar al-Assad yang berpahamkan Syiah
didukung secara habis-habisan oleh Iran agar tetap berkuasa di Suriah di tengah
gempuran oposisi yang berpahamkan Sunni.
Pertikaian antara Iran
dan Arab Saudi yang jelas akan berdampak pada penyelesaian persoalan politik di
Yaman dan Suriah. Kebekuan hubungan antara Iran dan Arab Saudi akan membuat
persoalan di Yaman dan Suriah akan sangat sulit untuk diselesaikan. Hal ini
karena Iran dan Arab Saudi merupakan aktor-aktor kunci yang memiliki
kepentingan besar di Yaman dan Suriah. Proses penyelesain jalan damai yang saat
ini sedang berjalan di Suriah akan sangat rentan terganggu jika hubungan Iran
dan Arab Saudi belum bisa dicairkan. Hal yang sama juga terjadi di Yaman, di
tengah krisis Yaman yang belum kunjung usai.
Berpijak dari analisa
di atas maka bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa ketegangan yang terjadi
antara Arab Saudi dan Iran saat ini tidak hanya berdampak pada kedua negara
tersebut, tetapi juga akan berdampak pula pada proses penyelesaian persoalan
yang ada di Suriah dan Yaman. Wallahu A'lam bishawab.
[1] Akademisi Fisipol UGM
(Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta.