Teror ISIS di Perancis
Oleh : Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]
Stabilitas keamanan domestik Perancis saat ini sedang diuji. Hal ini karena
dalam beberapa hari terakhir, sejumlah orang yang berafiliasi ke ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria)
telah melakukan pengeboman dan penembakan di stadion nasional Stade de France,
beberapa restoran dan gedung konser di Bataclan di Paris. Jumlah korban akibat
serangan brutal tersebut telah menewaskan kurang lebih 153 orang dan 300 orang mengalami
luka-luka. Jumlah korban akibat aksi teror ini bisa dikatakan yang terbesar
kedua yang terjadi di Eropa setelah bom Madrid di Spanyol yang menewaskan 191
orang pada tahun 2004.
Banyaknya korban tewas yang terjadi
di Paris, ternyata tidak membuat ISIS berhenti untuk menebarkan ancamamannya. Bahkan
sebaliknya, pasca tragedi Paris, pihak ISIS akan menyiapkan target-target
berikutnya seperti London, Roma dan Washington. Sebelumnya ISIS juga mengancam
akan menghancurkan Rusia terkait dengan serangan masif yang dilakukan oleh
Rusia terhadap ISIS di Suriah awal bulan lalu. Tidak hanya itu, bahkan ISIS
juga akan melakukan penyerangan terahadap kedutaan-keduataan Jepang dan Panama
di seluruh dunia, tidak terkecuali kedutaan Jepang dan Panama yang berada di
Jakarta.
ISIS awalnya bernama Jama’at al-Tawhid
wal-Jihad yang aktif pada tahun 1999 yang kemudian bergabung dengan
al-Qaeda pada tahun 2004 dan berpisah dengan al-Qaeda per 3 Februari 2014. ISIS
atau juga disebut ISIL (the Islamic State
of Iraq and the Levant) dalam akronim bahasa Arab sering juga disebuah
Daesh atau Da’ish. Kemudian mulai 29 Juni 2014, ISIS memproklamirkan diri
membentuk kekhalifan dunia dalam bentuk negara Islam (Islamic State) dengan Abu Bakr al-Baghdadi sebagai pemimpinnya.
ISIS yang saat ini lebih populer dengan sebutan IS (Islamic State) berideologikan salafi memiliki pengikut berkisar
52,600-257,900 orang dan memiliki ibu kota de
facto di Ar-Raqqah, Suriah.
Kekuatan ISIS sebetulnya tidak hanya berada di Suriah dan Irak saja, tetapi
kekuatan dan pengaruh ISIS telah menyebar ke Libya, Mesir, Aljazair, Arab
Saudi, Yaman, Afghanistan, Pakistan, India, Nigeria dan Kaukasus Utara. Fakta
ini kemudian semakin memperkuat terkait dengan bahwa pengaruh ISIS dari tahun
ke tahun terus mengalami peningkatan khususnya terkait dengan sejumlah wilayah
yang diklaim menjadi milik ISIS. Seiring dengan itu pula, ISIS juga melakukan
tindakan teror ke negara-negara yang menjadi targetnya. Setidak-tidaknya dalam
kurun waktu tahun 2015, ISIS telah melakukan 62 kali tindakan teror termasuk
yang terjadi di Paris beberapa hari yang lalu.
Tragedi Paris telah menyita banyak perhatian internasional khususnya dalam
pertemuan G-20 yang telah dilaksanakan di Turki pada tanggal 15-16 November
2015. Dalam pertemuan tersebut diambil sebuah kesepakatan bersama terkait
pentingnya membangun kerjasama yang lebih kuat untuk menangkal dan melawan
tindakan teror ISIS. Bahkan dalam konteks ini, Presiden Perancis Francois
Hollande akan bertemu dengan Obama dan Putin untuk membahas secara khusus
terkait dengan ISIS. Dalam agenda untuk melawan ISIS, pihak Rusia dalam
pertemuan G-20 juga siap melakukan kerja sama dengan Barat untuk bersama-sama
menumpas ISIS di Suriah.
Kerja sama antara pihak Barat dan Rusia menjadi penting dalam hal
menjadikan ISIS sebagai musuh bersama. Kerja sama ini setidak-tidaknya akan
mempersempit ruang gerak ISIS baik di Timur Tengah maupun di luar Timur Tengah.
Serangan-serangan udara secara masif yang dilakukan oleh koalisi Barat yang
dipimpin oleh AS terhadap ISIS di Suriah sejak tahun 2014 ternyata tidak
membuahkan hasil yang maksimal. Di sisi yang lain, serangan udara secara
besar-besaran yang dilakukan oleh Rusia awal bulan lalu juga tidak membuahkan
hasil yang menggembirakan bahkan serangan-serangan udara Rusia disinyalir
banyak mengenai oposisi Bashar al-Assad daripada ISIS.
Untuk itu, kerja sama antara pihak Barat dan Rusia perlu didorong secara
kuat untuk menekan gerak ISIS khususnya di Suriah. Hal ini sejalan dengan hasil
kesepakatan perundingan 19 negara terkait dengan krisis politik di Suriah yang
diadakan di Wina, Austria pada tanggal 14 November 2015. Dalam perundingan
tersebut dihasilkan kesepakatan terkait dengan bahwa tanggal 1 Januari 2016
merupakan tahapan awal perundingan antara rejim Assad dan oposisi. Selain itu,
juga menempatkan ISIS dan afiliasi al-Qaeda sebagai pihak yang tidak terlibat
dalam gencatan senjata dalam penyelesaian krisis Suriah.
Berpijak dari analisa di atas, maka bisa disimpulkan bahwa tragedi Paris
harus menjadi momentum yang baik bagi Rusia dan Barat untuk menekan gerakan
ISIS khususnya yang berada di Suriah. Hanya dengan kerja sama tersebut
setidak-tidaknya tidak hanya ISIS yang bisa ditekan, tetapi juga kerumitan
krisis Suriah akan sedikit terurai. Wallahu
A’lam.