Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Sabtu, 09 Januari 2016

Teror ISIS di Perancis
Oleh : Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]

Stabilitas keamanan domestik Perancis saat ini sedang diuji. Hal ini karena dalam beberapa hari terakhir, sejumlah orang yang berafiliasi ke ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria) telah melakukan pengeboman dan penembakan di stadion nasional Stade de France, beberapa restoran dan gedung konser di Bataclan di Paris. Jumlah korban akibat serangan brutal tersebut telah menewaskan kurang lebih 153 orang dan 300 orang mengalami luka-luka. Jumlah korban akibat aksi teror ini bisa dikatakan yang terbesar kedua yang terjadi di Eropa setelah bom Madrid di Spanyol yang menewaskan 191 orang pada tahun 2004.
 Banyaknya korban tewas yang terjadi di Paris, ternyata tidak membuat ISIS berhenti untuk menebarkan ancamamannya. Bahkan sebaliknya, pasca tragedi Paris, pihak ISIS akan menyiapkan target-target berikutnya seperti London, Roma dan Washington. Sebelumnya ISIS juga mengancam akan menghancurkan Rusia terkait dengan serangan masif yang dilakukan oleh Rusia terhadap ISIS di Suriah awal bulan lalu. Tidak hanya itu, bahkan ISIS juga akan melakukan penyerangan terahadap kedutaan-keduataan Jepang dan Panama di seluruh dunia, tidak terkecuali kedutaan Jepang dan Panama yang berada di Jakarta.
ISIS awalnya bernama Jama’at al-Tawhid wal-Jihad yang aktif pada tahun 1999 yang kemudian bergabung dengan al-Qaeda pada tahun 2004 dan berpisah dengan al-Qaeda per 3 Februari 2014. ISIS atau juga disebut ISIL (the Islamic State of Iraq and the Levant) dalam akronim bahasa Arab sering juga disebuah Daesh atau Da’ish. Kemudian mulai 29 Juni 2014, ISIS memproklamirkan diri membentuk kekhalifan dunia dalam bentuk negara Islam (Islamic State) dengan Abu Bakr al-Baghdadi sebagai pemimpinnya. ISIS yang saat ini lebih populer dengan sebutan IS (Islamic State) berideologikan salafi memiliki pengikut berkisar 52,600-257,900 orang dan memiliki ibu kota de facto di Ar-Raqqah, Suriah.
Kekuatan ISIS sebetulnya tidak hanya berada di Suriah dan Irak saja, tetapi kekuatan dan pengaruh ISIS telah menyebar ke Libya, Mesir, Aljazair, Arab Saudi, Yaman, Afghanistan, Pakistan, India, Nigeria dan Kaukasus Utara. Fakta ini kemudian semakin memperkuat terkait dengan bahwa pengaruh ISIS dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan khususnya terkait dengan sejumlah wilayah yang diklaim menjadi milik ISIS. Seiring dengan itu pula, ISIS juga melakukan tindakan teror ke negara-negara yang menjadi targetnya. Setidak-tidaknya dalam kurun waktu tahun 2015, ISIS telah melakukan 62 kali tindakan teror termasuk yang terjadi di Paris beberapa hari yang lalu.
Tragedi Paris telah menyita banyak perhatian internasional khususnya dalam pertemuan G-20 yang telah dilaksanakan di Turki pada tanggal 15-16 November 2015. Dalam pertemuan tersebut diambil sebuah kesepakatan bersama terkait pentingnya membangun kerjasama yang lebih kuat untuk menangkal dan melawan tindakan teror ISIS. Bahkan dalam konteks ini, Presiden Perancis Francois Hollande akan bertemu dengan Obama dan Putin untuk membahas secara khusus terkait dengan ISIS. Dalam agenda untuk melawan ISIS, pihak Rusia dalam pertemuan G-20 juga siap melakukan kerja sama dengan Barat untuk bersama-sama menumpas ISIS di Suriah.
Kerja sama antara pihak Barat dan Rusia menjadi penting dalam hal menjadikan ISIS sebagai musuh bersama. Kerja sama ini setidak-tidaknya akan mempersempit ruang gerak ISIS baik di Timur Tengah maupun di luar Timur Tengah. Serangan-serangan udara secara masif yang dilakukan oleh koalisi Barat yang dipimpin oleh AS terhadap ISIS di Suriah sejak tahun 2014 ternyata tidak membuahkan hasil yang maksimal. Di sisi yang lain, serangan udara secara besar-besaran yang dilakukan oleh Rusia awal bulan lalu juga tidak membuahkan hasil yang menggembirakan bahkan serangan-serangan udara Rusia disinyalir banyak mengenai oposisi Bashar al-Assad daripada ISIS.
Untuk itu, kerja sama antara pihak Barat dan Rusia perlu didorong secara kuat untuk menekan gerak ISIS khususnya di Suriah. Hal ini sejalan dengan hasil kesepakatan perundingan 19 negara terkait dengan krisis politik di Suriah yang diadakan di Wina, Austria pada tanggal 14 November 2015. Dalam perundingan tersebut dihasilkan kesepakatan terkait dengan bahwa tanggal 1 Januari 2016 merupakan tahapan awal perundingan antara rejim Assad dan oposisi. Selain itu, juga menempatkan ISIS dan afiliasi al-Qaeda sebagai pihak yang tidak terlibat dalam gencatan senjata dalam penyelesaian krisis Suriah.
Berpijak dari analisa di atas, maka bisa disimpulkan bahwa tragedi Paris harus menjadi momentum yang baik bagi Rusia dan Barat untuk menekan gerakan ISIS khususnya yang berada di Suriah. Hanya dengan kerja sama tersebut setidak-tidaknya tidak hanya ISIS yang bisa ditekan, tetapi juga kerumitan krisis Suriah akan sedikit terurai. Wallahu A’lam.   

[1]  Akademisi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.