Tantangan
Jenewa
Oleh
: Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]
Perundingan antara
rejim Bashar al-Assad dan kelompok oposisi yang tergabung dalam the High Negotiations Committee (HNC) yang
diselenggarakan di Jenewa sejak 1 Februari 2016 untuk sementara waktu ditunda. Menurut
utusan khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura pembicaraan damai (peace talks) akan dimulai lagi pada
tanggal 25 Februari 2016. Penundaan ini terjadi karena munculnya sikap saling
menyalahkan antara pihak rejim Assad dan oposisi terkait kondisi di Suriah.
Pihak oposisi meminta agar segala bentuk serangan udara dan pengepungan
dihentikan, tetapi pihak rejim Suriah menolak hal tersebut.
Pihak rejim Assad
beralasan bahwa serangan yang dilakukan adalah untuk menumpas kelompok teror.
Selain itu, pihak Assad juga mengatakan bahwa jika pihak oposisi serius dengan
perundingan maka tidak perlu prasyarat-prasyarat tertentu. Penggunaan prasyarat
menurut pihak Assad hanya akan menghambat jalannya perundingan. Untuk itu pihak
Assad terus melakukan pengepungan dan serangan udara yang dibantu oleh Rusia
meski perundingan sedang berlangsung di Jenewa.
Keberhasilan pasukan
rejim Assad menguasi dua wilayah di Aleppo yakni Nubul dan Zahra yang sekaligus
menguasai rute suplai dari Aleppo ke perbatasan Turki merupakan kemenangan
besar rejim Assad. Kedua wilayah Syiah tersebut awalnya dikuasai oleh kelompok
oposisi hampir tiga tahun. Kekalahan kelompok oposisi di Nubul dan Zahra ini
menjadi salah faktor penentu mundurnya oposisi dari meja perundingan di Jenewa.
Kondisi di Suriah yang tidak stabil selama perundingan dan sikap saling
mengklaim antara kedua belah pihak menjadikan perjalanan perundingan menjadi terganggu.
Proposal perdamaian dan
perundingan diusulkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyelesaikan krisis
politik Suriah. Tidak terkecuali perundingan yang digagas oleh DK (Dewan
Keamanan) PBB yakni Jenewa I (2012) dan II (2014). Tidak hanya itu, DK PBB juga
memediasi pertemuan Jenewa kali ini yang hanya bertahan dalam beberapa putaran
yang kemudian bisa kita sebut dengan Jenewa III. Upaya yang sangat keras dari
DK PBB ini bertujuan untuk mengakhiri krisis Suriah yang telah berjalan hampir
lima tahun. Jumlah korban tewas per Agustus 2015 menurut data PBB telah
mencapai angka 250,000 orang. Sementara jumlah orang yang kehilangan tempat
tinggal mencapai angka 11 juta jiwa.
Kondisi di Suriah
memang sangat memprihatinkan dan bahkan memilukan. Korban berjatuhan setiap
hari dan setiap hari pula orang-orang Suriah melakukan pengungsian ke negara-negara
perbatasan dengan Suriah. Jumlah pengungsi terbanyak berada di Turki dengan
jumlah kurang lebih 2 juta orang. Sementara jumlah pengungsi Suriah yang masuk
ke Eropa mencapai angka kurang lebih 1 juta orang. Banyaknya jumlah pengungsi
ini menurut UNHCR (the United Nations
High Commissioner for Refugees) merupakan yang terbesar yang pernah
ditangani UNHCR selama seperempat abad terakhir.
Persoalan pengungsi
Suriah merupakan persoalan yang sangat rumit untuk diselesaikan di tengah
situasi domestik Suriah yang masih belum stabil. Upaya-upaya terus dilakukan
oleh DK PBB untuk mencari solusi politik dalam menyelesaikan krisis politik di
Suriah. Salah satunya adalah apa yang disampaikan oleh de Mistura bahwa
pembicaraan damai yang diselenggarakan beberapa hari yang lalu tidak gagal, tetapi
ditunda. Hal ini menunjukkan de Mistura begitu sangat sabar untuk mencari titik
temu antara pihak Assad dengan oposisi.
Dalam konteks ini, de
Mistura tentunya harus banyak belajar dari kegagalan pendahulunya Lakhdar
Brahimi dalam mengawal perundingan Jenewa II. Pekerjaan ini memang tidak mudah
karena de Mistura harus mampu menyakinkan rejim Assad dan oposisi untuk datang
lagi di perundingan, tetapi juga harus mampu menahan tekanan dari ISIS, kelompok
Kurdi Suriah, dan al-Nusra Front. Hal ini karena ketiga kelompok tersebut
berpotensi mengganggu jalannya perundingan yang akan datang.
Berpijak dari analisa
di atas maka bisa disimpulkan bahwa tugas berat berada di pundak de Mistura
untuk menyukseskan perundingan Jenewa yang akan datang. Tugas itu akan terasa
ringan jika pihak-pihak yang bertikai menempatkan kepentingan Suriah di atas kepentingan
mereka masing-masing.
[1] Akademisi Fisipol Universitas
Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.