Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Jumat, 19 Februari 2016

Tantangan Jenewa
Oleh : Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]

Perundingan antara rejim Bashar al-Assad dan kelompok oposisi yang tergabung dalam the High Negotiations Committee (HNC) yang diselenggarakan di Jenewa sejak 1 Februari 2016 untuk sementara waktu ditunda. Menurut utusan khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura pembicaraan damai (peace talks) akan dimulai lagi pada tanggal 25 Februari 2016. Penundaan ini terjadi karena munculnya sikap saling menyalahkan antara pihak rejim Assad dan oposisi terkait kondisi di Suriah. Pihak oposisi meminta agar segala bentuk serangan udara dan pengepungan dihentikan, tetapi pihak rejim Suriah menolak hal tersebut.
Pihak rejim Assad beralasan bahwa serangan yang dilakukan adalah untuk menumpas kelompok teror. Selain itu, pihak Assad juga mengatakan bahwa jika pihak oposisi serius dengan perundingan maka tidak perlu prasyarat-prasyarat tertentu. Penggunaan prasyarat menurut pihak Assad hanya akan menghambat jalannya perundingan. Untuk itu pihak Assad terus melakukan pengepungan dan serangan udara yang dibantu oleh Rusia meski perundingan sedang berlangsung di Jenewa.
Keberhasilan pasukan rejim Assad menguasi dua wilayah di Aleppo yakni Nubul dan Zahra yang sekaligus menguasai rute suplai dari Aleppo ke perbatasan Turki merupakan kemenangan besar rejim Assad. Kedua wilayah Syiah tersebut awalnya dikuasai oleh kelompok oposisi hampir tiga tahun. Kekalahan kelompok oposisi di Nubul dan Zahra ini menjadi salah faktor penentu mundurnya oposisi dari meja perundingan di Jenewa. Kondisi di Suriah yang tidak stabil selama perundingan dan sikap saling mengklaim antara kedua belah pihak menjadikan perjalanan perundingan menjadi terganggu.
Proposal perdamaian dan perundingan diusulkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyelesaikan krisis politik Suriah. Tidak terkecuali perundingan yang digagas oleh DK (Dewan Keamanan) PBB yakni Jenewa I (2012) dan II (2014). Tidak hanya itu, DK PBB juga memediasi pertemuan Jenewa kali ini yang hanya bertahan dalam beberapa putaran yang kemudian bisa kita sebut dengan Jenewa III. Upaya yang sangat keras dari DK PBB ini bertujuan untuk mengakhiri krisis Suriah yang telah berjalan hampir lima tahun. Jumlah korban tewas per Agustus 2015 menurut data PBB telah mencapai angka 250,000 orang. Sementara jumlah orang yang kehilangan tempat tinggal mencapai angka 11 juta jiwa.
Kondisi di Suriah memang sangat memprihatinkan dan bahkan memilukan. Korban berjatuhan setiap hari dan setiap hari pula orang-orang Suriah melakukan pengungsian ke negara-negara perbatasan dengan Suriah. Jumlah pengungsi terbanyak berada di Turki dengan jumlah kurang lebih 2 juta orang. Sementara jumlah pengungsi Suriah yang masuk ke Eropa mencapai angka kurang lebih 1 juta orang. Banyaknya jumlah pengungsi ini menurut UNHCR (the United Nations High Commissioner for Refugees) merupakan yang terbesar yang pernah ditangani UNHCR selama seperempat abad terakhir.
Persoalan pengungsi Suriah merupakan persoalan yang sangat rumit untuk diselesaikan di tengah situasi domestik Suriah yang masih belum stabil. Upaya-upaya terus dilakukan oleh DK PBB untuk mencari solusi politik dalam menyelesaikan krisis politik di Suriah. Salah satunya adalah apa yang disampaikan oleh de Mistura bahwa pembicaraan damai yang diselenggarakan beberapa hari yang lalu tidak gagal, tetapi ditunda. Hal ini menunjukkan de Mistura begitu sangat sabar untuk mencari titik temu antara pihak Assad dengan oposisi.
Dalam konteks ini, de Mistura tentunya harus banyak belajar dari kegagalan pendahulunya Lakhdar Brahimi dalam mengawal perundingan Jenewa II. Pekerjaan ini memang tidak mudah karena de Mistura harus mampu menyakinkan rejim Assad dan oposisi untuk datang lagi di perundingan, tetapi juga harus mampu menahan tekanan dari ISIS, kelompok Kurdi Suriah, dan al-Nusra Front. Hal ini karena ketiga kelompok tersebut berpotensi mengganggu jalannya perundingan yang akan datang.
Berpijak dari analisa di atas maka bisa disimpulkan bahwa tugas berat berada di pundak de Mistura untuk menyukseskan perundingan Jenewa yang akan datang. Tugas itu akan terasa ringan jika pihak-pihak yang bertikai menempatkan kepentingan Suriah di atas kepentingan mereka masing-masing.

[1] Akademisi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.