Terorisme
Sahel Sahara
Oleh
: Fatkurrohman, S.IP, M.Si[1]
Pertemuan penting para
menteri pertahanan Afrika khususnya Afrika Barat, Utara dan Tengah (Sahel
Sahara) telah digelar di Mesir pada tanggal 25-26 Maret. Pertemuan ini
bertujuan untuk membangun kerja sama komunitas Sahel Sahara dalam hal memerangi
terorisme. Pada pertemuan ini dihasilkan 17 butir kesepakatan yang salah
satunya adalah perlunya kerja sama melawan terorisme, pertukaran informasi
inteljen dan memperkuat pengawasan perbatasan di antara negara anggota.
Perang terhadap
terorisme sebetulnya telah dilakukan oleh negara-negara anggota Sahel Sahara
seperti Nigeria, Chad, Mali, Aljazair, dan Mesir. Di Nigeria, gerakan teror
Boko Haram muncul pada tahun 2002 dan saat ini dipimpin oleh Abubakar Shekau.
Boko Haram tidak hanya aktif di Nigeria tetapi juga di Chad, Kamerun, Niger,
dan bahkan Benin. Boko Haram awalnya beraliansi dengan al-Qaeda, tetapi sejak
Maret 2015 memproklamirkan diri menjadi bagian dari ISIS (the Islamic state of Iraq and Syria).
Masuknya Boko Haram
menjadi bagian dari ISIS semakin memperkuat posisi ISIS di Afrika Barat. Tidak
hanya di Nigeria, ISIS juga memperkuat pengaruhnya di Libya yang menjadikan
Sirte sebagai ibu kotanya. Di Mesir, ISIS juga menancapkan kekuatannya di Semenanjung
Sinai Utara. Selain ISIS, kelompok teror yang lain adalah Gerakan Al-Shabab
yang merupakan sayap Tanzim Al-Qaeda beroperasi di Somalia. Belakangan ini,
Al-Shabab ternyata tidak hanya bergerak di Somalia, tetapi juga di Kenya dan
Djibouti.
Sementara Mali juga
menghadapi ancaman keamanan dari Gerakan Nasional Pembebasan Azawad (MNLA). Gerakan
kelompok ini dipelopori oleh suku Tuareg yang ingin melepaskan diri dari Mali. Kelompok
MNLA ini disinyalir memiliki kedekatan dengan Tanzim al-Qaeda di Maghrib Arab
(AQIM). MNLA aktif pada tahun 2011 untuk menjadikan Azawad sebagai negara yang
terpisah dari Mali. Azawad sendiri merupakan sebuah wilayah yang berada di Mali
Utara.
Banyaknya kelompok
teror di Afrika ini menjadi sebuah keprihatinan tersendiri khususnya bagi
negara-negara Sahel Sahara. Beragam upaya telah dilakukan oleh negara-negara
anggota Sahel Sahara untuk memerangi terorisme tetapi hasilnya sampai saat ini
masih nihil. Langkah lain juga diambil oleh beberapa negara Sahel Sahara yakni
dengan melibatkan negara asing dalam melumpuhkan kelompok teror. Negara-negara
yang pernah mengambil peran dalam perang terhadap terorisme di Sahel Sahara
adalah Perancis dan AS.
Pada tanggal 20
Desember 2012, Perancis mendapatkan mandat dari Dewan Keamanan PBB untuk
menggelar operasi militer di lima negara Sahel Sahara yang meliputi Mali,
Niger, Burkina Faso, Mauritania dan Chad. Dalam hal ini, Perancis telah
menurunkan 3.000 pasukan militernya untuk menumpas MNLA, AQIM dan Boko Haram.
Meskipun operasi militer Perancis ini dibantu oleh kelima negara tersebut,
tetapi hasilnya praktis tidak nampak.
Selain Perancis, AS pun
terlibat perang melawan terorisme di Afrika khususnya keterlibatannya di
Somalia dan Nigeria. Serangan besar-besaran yang dilakukan oleh tentara AS ke
kantong-kantong Al-Shabab di Somalia juga tidak membuahkan hasil yang maksimal.
Tidak hanya di Somalia, AS juga masuk ke Nigeria untuk memberantas Boko Haram
khusunya dalam kasus penculikan 200 siswi yang dilakukan oleh Boko Haram. Dalam
kasus ini, bisa dikatakan peran AS tidak terlalu menggemberikan dalam hal
menyelematkan para siswi yang diculik oleh Boko Haram.
Setali tiga uang dengan
AS dan Perancis, Uni Afrika sebagai rejim regional Afrika juga dianggap lamban
dalam mengatasi gerakan terorisme di Afrika khususnya di Sahel Sahara. Padahal
jika dilihat dari segi struktur di tubuh Uni Afrika, mestinya Uni Afrika bisa
bergerak cepat dalam merespon menyebarnya terorisme di Afrika. Rentang tahun
1995-2001, Afrika mengalami peningkatan grafik terorisme. Hal ini sekaligus
menempatkan Afrika menjadi wilayah kelima terbesar dunia yang ditarget teroris
setelah Amerika Latin, Eropa Barat, Asia dan Timur Tengah.
Berpijak dari analisa
di atas, maka bisa disimpulkan bahwa di tengah kegagalan negara, keterlibatan asing
dan bahkan Uni Afrika, maka momentum kerja sama antar negara bisa menjadi
alternatif yang baik dalam melawan terorisme di Sahel Sahara.
[1] Akademisi Fisipol Universitas
Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.