Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Selasa, 23 Desember 2014

Revitalisasi Deklarasi Juanda
Oleh : Fatkurrohman, S.IP, M.Si[1]

Tanggal 13 Desember telah ditetapkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Hari Nusantara. Ketetapan tersebut kemudian diperkuat oleh Presiden Megawati dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001. Keputusan ini tidak bisa dilepaskan dari upaya pemerintah Indonesia untuk menghargai semangat juang Djuanda Kartawidjaja (perdana menteri ke-10) terkait dengan prinsip-prinsip negara kepulauan (archipelagic state).
Prinsip negara kepulaun yang dianut oleh Indonesia dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini dicetuskan oleh Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi ini kemudian diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.
Berdasarkan deklarasi tersebut akhirnya berdampak kepada bertambahnya luas wilayah Indonesia yang awalnya 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2 kecuali Irian Jaya. Wilayah Irian Jaya tidak dimasukkan karena belum mendapatkan pengakuan internasional sebagai bagian dari Indonesia di kala itu. Kemudian dalam perjalanannya, Deklarasi Djuanda diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) pada tahun 1982. Berikutnya deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pengakuan PBB terhadap negara kepulauan Indonesia yang digagas Djuanda menjadi modal penting bagi Indonesia untuk mewujudkan kepentingan nasional Indonesia yang lebih besar. Jika apa yang digagas oleh Djuanda 57 tahun yang lalu hanya bergerak di ruang politik (pengakuan internasional), maka ruang kosong yang harus diisi oleh pemerintahan Jokowi-JK adalah pentingnya pengembembangan sektor ekonomi. Maka tidak mengherankan jika Jokowi dalam kampanye pilpres yang lalu banyak berbicara soal pemberdayaan potensi ekonomi maritim Indonesia.
Hal ini karena secara geopolitik, geostrategis dan geografinya, Indonesia memiliki empat titik strategis yang dilalui oleh 40% kapal perdagangan dunia yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makassar. Tidak hanya itu, Indonesia juga memiliki kekayaan laut yang melimpah baik di sektor perikanan, terumbu karang maupun bioteknologi yang nilainya mencapai 40 miliar dólar AS.
Melihat potensi yang strategis di sektor maritim tersebut maka visi yang dibangun oleh pemerintahan Jokowi-JK adalah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia (world’s maritime axis). Untuk mewujudkan hal tersebut maka pemerintahan Jokowi ingin membangun lima pilar utama dalam pembangunan. Kelima pilar utama tersebut adalah pertama membangun kembali budaya maritim Indonesia, kedua adalah Indonesia akan menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan melalui pengembangan industri perikanan. Ketiga adalah memprioritaskan pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim. Keempat adalah melaksanakan diplomasi maritim dan yang terakhir adalah membangun kekuatan pertahanan maritim.
Anggaran dan Sinergi Pemerintah
Persoalan anggaran menjadi sangat penting karena proses pembangun khususnya terkait dengan infrastruktur dan konekvitas  maritim akan menelan  biaya yang tidak kecil. Pembiyaan terbesar akan berada di sektor infrastruktur khususnya pembanguan tol laut selama lima tahun yang mencapai Rp.700 triliun. Biaya tersebut rencananya akan dibiayai lewat skema kerja sama antara BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan pihak swasta. Meskipun begitu, pihak BUMN akan dipaksa untuk kerja keras mencari pemasukan yang sangat besar tersebut.
Kesamaan pandangan penting dilakukan oleh Jokowi-JK terhadap para menterinya yang terkait dengan kemaritiman agar tercipta komunikasi yang baik dalam mewujudkan poros maritim dunia. Berkaca terhadap pemerintahan sebelumnya, sering kali terjadi kesalahpahaman antara pihak kementrian dengan presiden. Maka untuk itu, belajar dari pengalaman sebelumnya, pemerintahan Jokowi-JK harus mengawal kinerja para menterinya dan memastikan kinerja antara satu menteri dengan menteri yang lain saling membantu bukan saling menjatuhkan.
Berpijak dari analisa di atas maka persoalan anggaran dan sinergi presiden dengan para menterinya menjadi hal yang penting dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Gagasan poros maritim ini tentu tidak bisa dilepaskan dari jasa Djuanda lima dekade yang lalu yang menginginkan Indonesia berdaulat dalam sektor maritim. Wallahu A’lam.

[1] Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.