Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Selasa, 17 Juni 2014

Standar Ganda Barat di Timur Tengah
Oleh: Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]

Pada tanggal 3 Juni merupakan momen yang sangat bersejarah bagi demokratisasi di Suriah. Hal ini karena pada tanggal tersebut telah dilakukan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung yang menghadirkan tiga kandidat presiden yakni Bashar al-Assad (incumbent), Hassan al-Nouri (mantan menteri) dan Maher Hajjar (anggota parlemen). Dalam pilpres ini akhirnya Assad keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara 88.7%, sementara al-Nouri mendapatkan 4.3% dan Hajjar mendapatkan 3.2%.
Kemenangan Assad dalam pilpres ini semakin menujukkan kekuatan Assad dalam mempertahankan kekuasaannya di Suriah. Perlawanan sengit yang dilakuakn oleh pihak oposisi di medan pertempuran tidak menggoyahkan Assad untuk menyelenggarakan pilpres. Pilpres yang dilakukan pertama kali dalam rentang empat dekade ini merupakan hal yang sangat bersejarah di Suriah. Hal ini karena sejak tahun 1971-2007 pemilihan presiden selalu dilakukan secara referéndum. Pada tahun 1971-2000, referéndum dilakukan untuk memilih Hafez al-Assad (ayah Bashar al-Assad) sebagai presiden Suriah. Kemudian tradisi referéndum tersebut dilanjutkan oleh Bashar al-Assad pada tahun 2000 dan 2007.
Pilpres yang hanya dilakukan di wilayah-wilayah kekuasaan Assad ini diikuti oleh sekitar 73.42% pemilih. Tempat pemungutan suara (TPS) tersebar di domestik Suriah dan luar negeri. Kemenangan Assad secara mayoritas di semua TPS megukuhkan Assad sebagai presiden Suriah untuk menjalankan periode ketiga pemerintahannya sampai dengan tahun 2021.
Kemenangan Assad dalam pilpres disambut meriah oleh para pendukunganya dengan menyalakan kembang api dan konvoi. Pesta kemenangan Assad banyak dilakukan oleh pendukungnya di kantong-kantong kekuasaan Assad seperti Damaskus, Druze, Suweida dan Aleppo. Perayaan kemenangan Assad oleh pendukungnya seolah-olah menjadi sindiran untuk kelompok oposisi dan Barat (Uni Eropa dan AS) bahwa meskipun Assad ditentang oleh oposisi dan Barat,Assad tetap mampu mempertahankan kekuasaannya.
Standar Ganda Barat
Kemenangan Assad dalam pilpres mendapatkan respon negatif dari Barat. Pihak Barat menganggap bahwa pilpres Suriah hanya merupakan sebuah lelucon dan ilegal. Hal ini terasa sangat berbeda ketika AS dan Uni Eropa merespon kemenangan al-Sisi yang memenangkan pilpres yang digelar 26-28 Mei di Mesir. Padahal jika ditelisik lebih jauh apa yang terjadi dalam pilpres Suriah dan Mesir baru-baru ini memiliki banyak kesamaan khususnya dalam konteks partisipasi pemilih.
Pilpres di Suriah jika dilihat dari konteks partisipasi pemilih sangat jelas menggambarkan adanya pembatasan pemilih. Kondisi ini tergambar dari tidak hadirnya kelompok oposisi dalam pelaksanaan pilpres Suriah. Dalam konteks demokrasi, mestinya pemilihan presiden harus melibatkan semua warga negara yang memiliki hak pilih untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi.
Fakta yang tidak jauh berbeda juga terjadi dalam pilpres Mesir. Pilpres yang digelar akhir Mei lalu juga menampilkan fenomena pemboikotan terhadap pilpres yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin (IM) dan aktivis liberal dan sekuler (liberal and secular activists) termasuk gerakan pemuda 6 April. Hal ini mengakibatkan partisipasi pemilih dalam pilpres Mesir hanya 46%. Jumlah pemilih ini jauh lebih rendah dibandingkan pilpres 2012 yang dimenangkan oleh Mursi dengan jumlah pemilih sekitar 52%.
Fakta penyelenggaraan pilpres yang sama-sama mendapatkan pemboikotan dari dalam negeri baik di Suriah maupun Mesir ini mendapatkan respon yang berbeda dari Barat. Uni Eropa dan AS secara tegas menyatakan bahwa pilpres di Mesir adalah sah (legitímate). Tetapi, di sisi yang lain, Barat menganggap pilpres di Suriah adalah tidak sah (illegitimate).
Stándar ganda (doublé standard) Barat ini mengindikasikan bahwa Barat memiliki agenda penting di Mesir dalam konteks melindungi Israel yang merupakan ‘golden boy’ AS di Timur Tengah. Tetapi, di sisi yang lain, Barat memiliki kepentingan menggulingkan rejim Assad karena beraliansi dengan Rusia, Iran dan Korut yang notabene adalah rival politik Barat di panggung internasional.
Berpijak dari paparan tersebut di atas, maka penilaian Barat terhadap sebuah negara sangat ditentukan atas dasar kepentingan. Standar ganda muncul karena kebutuhan Barat untuk mengamankan kepentingannya dan hal itulah yang terjadi di Suriah dan Mesir.Wallahu A’alam.

[1] Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta