Standar Ganda Barat di Timur Tengah
Oleh:
Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]
Pada tanggal 3 Juni merupakan momen yang sangat bersejarah bagi
demokratisasi di Suriah. Hal ini karena pada tanggal tersebut telah dilakukan
pemilihan presiden (pilpres) secara langsung yang menghadirkan tiga kandidat
presiden yakni Bashar al-Assad (incumbent),
Hassan al-Nouri (mantan menteri) dan Maher Hajjar (anggota parlemen). Dalam
pilpres ini akhirnya Assad keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara
88.7%, sementara al-Nouri mendapatkan 4.3% dan Hajjar mendapatkan 3.2%.
Kemenangan Assad dalam pilpres ini semakin menujukkan kekuatan Assad dalam
mempertahankan kekuasaannya di Suriah. Perlawanan sengit yang dilakuakn oleh
pihak oposisi di medan pertempuran tidak menggoyahkan Assad untuk
menyelenggarakan pilpres. Pilpres yang dilakukan pertama kali dalam rentang
empat dekade ini merupakan hal yang sangat bersejarah di Suriah. Hal ini karena
sejak tahun 1971-2007 pemilihan presiden selalu dilakukan secara referéndum.
Pada tahun 1971-2000, referéndum dilakukan untuk memilih Hafez al-Assad (ayah
Bashar al-Assad) sebagai presiden Suriah. Kemudian tradisi referéndum tersebut
dilanjutkan oleh Bashar al-Assad pada tahun 2000 dan 2007.
Pilpres yang hanya dilakukan di wilayah-wilayah kekuasaan Assad ini diikuti
oleh sekitar 73.42% pemilih. Tempat pemungutan suara (TPS) tersebar di domestik
Suriah dan luar negeri. Kemenangan Assad secara mayoritas di semua TPS
megukuhkan Assad sebagai presiden Suriah untuk menjalankan periode ketiga pemerintahannya
sampai dengan tahun 2021.
Kemenangan Assad dalam pilpres disambut meriah oleh para pendukunganya
dengan menyalakan kembang api dan konvoi. Pesta kemenangan Assad banyak
dilakukan oleh pendukungnya di kantong-kantong kekuasaan Assad seperti Damaskus,
Druze, Suweida dan Aleppo. Perayaan kemenangan Assad oleh pendukungnya
seolah-olah menjadi sindiran untuk kelompok oposisi dan Barat (Uni Eropa dan
AS) bahwa meskipun Assad ditentang oleh oposisi dan Barat,Assad tetap mampu
mempertahankan kekuasaannya.
Standar Ganda Barat
Kemenangan Assad dalam pilpres mendapatkan respon negatif dari Barat. Pihak
Barat menganggap bahwa pilpres Suriah hanya merupakan sebuah lelucon dan
ilegal. Hal ini terasa sangat berbeda ketika AS dan Uni Eropa merespon
kemenangan al-Sisi yang memenangkan pilpres yang digelar 26-28 Mei di Mesir.
Padahal jika ditelisik lebih jauh apa yang terjadi dalam pilpres Suriah dan
Mesir baru-baru ini memiliki banyak kesamaan khususnya dalam konteks partisipasi
pemilih.
Pilpres di Suriah jika dilihat dari konteks partisipasi pemilih sangat
jelas menggambarkan adanya pembatasan pemilih. Kondisi ini tergambar dari tidak
hadirnya kelompok oposisi dalam pelaksanaan pilpres Suriah. Dalam konteks
demokrasi, mestinya pemilihan presiden harus melibatkan semua warga negara yang
memiliki hak pilih untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi.
Fakta yang tidak jauh berbeda juga terjadi dalam pilpres Mesir. Pilpres
yang digelar akhir Mei lalu juga menampilkan fenomena pemboikotan terhadap
pilpres yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin (IM) dan aktivis
liberal dan sekuler (liberal and secular
activists) termasuk gerakan pemuda 6 April. Hal ini mengakibatkan partisipasi
pemilih dalam pilpres Mesir hanya 46%. Jumlah pemilih ini jauh lebih rendah
dibandingkan pilpres 2012 yang dimenangkan oleh Mursi dengan jumlah pemilih
sekitar 52%.
Fakta penyelenggaraan pilpres yang sama-sama mendapatkan pemboikotan dari
dalam negeri baik di Suriah maupun Mesir ini mendapatkan respon yang berbeda
dari Barat. Uni Eropa dan AS secara tegas menyatakan bahwa pilpres di Mesir
adalah sah (legitímate). Tetapi, di
sisi yang lain, Barat menganggap pilpres di Suriah adalah tidak sah (illegitimate).
Stándar
ganda (doublé standard) Barat ini
mengindikasikan bahwa Barat memiliki agenda penting di Mesir dalam konteks
melindungi Israel yang merupakan ‘golden
boy’ AS di Timur Tengah. Tetapi, di sisi yang lain, Barat memiliki
kepentingan menggulingkan rejim Assad karena beraliansi dengan Rusia, Iran dan
Korut yang notabene adalah rival
politik Barat di panggung internasional.
Berpijak
dari paparan tersebut di atas, maka penilaian Barat terhadap sebuah negara
sangat ditentukan atas dasar kepentingan. Standar ganda muncul karena kebutuhan
Barat untuk mengamankan kepentingannya dan hal itulah yang terjadi di Suriah
dan Mesir.Wallahu A’alam.
[1]
Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta