Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Minggu, 22 Juni 2014

Legitimasi Politik al-Sisi
Oleh: Fatkurrohman,S.IP,M.Si[1]

Komisi Pemilihan Presiden Mesir (Presidential Elections Commission) telah mengumumkan hasil pemilu Mesir pada tanggal 3 Juni. Dalam pengumuman tersebut, Abdel Fattah al-Sisi memperoleh 96,9% suara atas rivalnya yakni Hamdeen Sabahi yang hanya memperoleh 3,1% suara. Kemenangan telak al-Sisi atas Sabahi yang merupakan tokoh sayap kiri (left-winger) sekaligus ketua the Al-Tayar Al-Sha’aby Movement sudah diprediksi sejak tumbangnya rejim Muhammad Mursi. Hal ini sekaligus mengukuhkan al-Sisi sebagai presiden ke-9 Mesir yang secara resmi menjalankan pemerintahan Mesir per 8 Juni.
Naiknya al-Sisi menjadi presiden Mesir semakin mengukuhkan peran militer dalam kontestasi politik domestik Mesir. Terpilihnya al-Sisi sebagai presiden yang menggantikan Adli Mansur, pelaksana tugas kepresidenan, pasca pemakzulan Mursi semakin menambah deretan panjang presiden Mesir yang berlatar belakang militer. Hal ini bisa dikatakan bahwa sejak Mesir mendeklarasikan diri sebagai negara republik pada tahun 1953, setidak-tidaknya al-Sisi menjadi presiden ke-6 yang berangkat dari latar belakang militer.
Terpilihnya al-Sisi sebagai presiden Mesir, sesuai dengan konstitusi Mesir akan menjalankan pemerintahan selama empat tahun dan bisa dipilih lagi. Dalam rentang empat tahun ke depan, al-Sisi diprediksikan akan menghadapi beragam tantangan yang tidak ringan. Salah satu tantangan yang paling krusial yang akan dihadapi oleh al-Sisi adalah terkait dengan legitimasi politik.
Legitimasi Politik
Kemenangan al-Sisi atas Sabahi dengan perolehan suara yang mencapai 96,9% menjadi sorotan tersendiri dalam spektrum politik Mesir. Hal ini karena kemenangan al-Sisi tidak disertai dengan partisipasi politik masyarakat Mesir secara keseluruhan. Tingkat partisipasi masyarakat Mesir dalam pemilu presiden satu bulan yang lalu bisa dikatakan lebih rendah daripada pemilu presiden pada tahun 2012 yang dimenangkan oleh Mursi. Mesir dengan jumlah penduduk kira-kira 86 juta (2014) yang ikut berpartisipasi dalam pemilu presiden bulan lalu hanya berkisar 46%, sementara di pemilu presiden 2012 yang mencapai angka 52%.
Rendahnya partisipasi pemilih dalam pemilu presiden Mesir ini bisa dikatakan sangat rentan untuk terjadi gejolak politik di Mesir pasca terpilihnya al-Sisi. Hal ini bisa merujuk atas pemboikotan pemilu presiden satu bulan yang lalu yang dilakukan oleh kelompok islamis yakni Ikhwanul Muslimin (IM). Selain kelompok Ikhwanul Muslimin (IM), kelompok lain yang melakukan hal yang sama adalah para aktivis liberal dan sekuler (liberal and secular activists) termasuk gerakan pemuda 6 April yang merupakan kelompok penting dalam penggulingan Hosni Mubarak.
Selain aktivis liberal dan sekuler yang menjadi kelompok kunci dalam revolusi Arab Spring di Mesir, Ikhwanul Muslimin (IM) juga memiliki kontribusi yang tidak kalah penting dalam menumbangkan rejim Mubarak pada tahun 2011. Ketiga kelompok ini yakni Ikhwanul Muslimin (IM), sekuler dan liberal secara tegas menentang majunya al-Sisi sebagai calon presiden Mesir. Resistensi Ikhwanul Muslimin (IM) terhadap al-Sisi adalah terkait penggulingan Mursi yang merupakan tokoh sentral Ikhwanul Muslimin (IM) dari kursi kepresidenan Mesir ketika al-Sisi menjabat sebagai panglima militer Mesir. Tidak hanya itu, al-Sisi juga berjanji akan membekukan dan menumpas Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Sementara itu, perlawanan kelompok liberal dan sekuler adalah terkait dengan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang dilakukan oleh al-Sisi pasca tumbangnya rejim Mursi dari kursi keprisidenan Mesir.
Resistensi yang dilakukan oleh IM (Ikhwanul Muslimin), aktivis liberal dan sekuler terhadap al-Sisi akan menjadi tantangan berat bagi al-Sisi dalam menjalankan pemerintahannya ke depan. Terpilihnya al-Sisi yang diikuti oleh partisipasi pemilih di bawah 50% dalam pemilu presiden satu bulan yang lalu bisa dikatakan sangat rentan memunculkan gejolak baru dalam politik domestik Mesir. Jika al-Sisi menggunakan cara-cara militeristik (otoriter) dalam menghadapi pihak-pihak yang menentangnya maka gelombang revolusi jilid II sangat mungkin terjadi.
Berpijak dari paparan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa terpilihnya al-Sisi sebagai presiden Mesir akan menghadapi tantangan yang sangat besar. Legitimasi politik yang rapuh bisa mengantarkan perpecahan dalam politik domestik sebuah negara tidak terkecuali Mesir. Wallhu A’lam.

[1] Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta