Legitimasi
Politik al-Sisi
Oleh:
Fatkurrohman,S.IP,M.Si[1]
Komisi Pemilihan
Presiden Mesir (Presidential Elections
Commission) telah mengumumkan hasil pemilu Mesir pada tanggal 3 Juni. Dalam
pengumuman tersebut, Abdel Fattah al-Sisi memperoleh 96,9% suara atas rivalnya
yakni Hamdeen Sabahi yang hanya memperoleh 3,1% suara. Kemenangan telak al-Sisi
atas Sabahi yang merupakan tokoh sayap kiri (left-winger) sekaligus ketua the Al-Tayar Al-Sha’aby Movement sudah diprediksi sejak tumbangnya rejim Muhammad
Mursi. Hal ini sekaligus mengukuhkan al-Sisi sebagai presiden ke-9 Mesir yang
secara resmi menjalankan pemerintahan Mesir per 8 Juni.
Naiknya
al-Sisi menjadi presiden Mesir semakin mengukuhkan peran militer dalam
kontestasi politik domestik Mesir. Terpilihnya al-Sisi sebagai presiden yang menggantikan
Adli Mansur, pelaksana tugas kepresidenan, pasca pemakzulan Mursi semakin
menambah deretan panjang presiden Mesir yang berlatar belakang militer. Hal ini
bisa dikatakan bahwa sejak Mesir mendeklarasikan diri sebagai negara republik
pada tahun 1953, setidak-tidaknya al-Sisi menjadi presiden ke-6 yang berangkat
dari latar belakang militer.
Terpilihnya al-Sisi sebagai presiden Mesir, sesuai dengan
konstitusi Mesir akan menjalankan pemerintahan selama empat tahun dan bisa
dipilih lagi. Dalam rentang empat tahun ke depan,
al-Sisi diprediksikan akan menghadapi beragam tantangan yang tidak ringan. Salah satu tantangan yang paling krusial
yang akan dihadapi oleh al-Sisi adalah terkait dengan legitimasi politik.
Legitimasi Politik
Kemenangan al-Sisi atas Sabahi dengan perolehan suara
yang mencapai 96,9% menjadi sorotan tersendiri dalam spektrum politik Mesir.
Hal ini karena kemenangan al-Sisi tidak disertai dengan partisipasi politik
masyarakat Mesir secara keseluruhan. Tingkat partisipasi masyarakat Mesir dalam
pemilu presiden satu bulan yang lalu bisa dikatakan lebih rendah daripada
pemilu presiden pada tahun 2012 yang dimenangkan oleh Mursi. Mesir dengan
jumlah penduduk kira-kira 86 juta (2014) yang ikut berpartisipasi dalam pemilu
presiden bulan lalu hanya berkisar 46%, sementara di pemilu presiden 2012 yang
mencapai angka 52%.
Rendahnya partisipasi pemilih dalam pemilu presiden Mesir
ini bisa dikatakan sangat rentan untuk terjadi gejolak politik di Mesir pasca
terpilihnya al-Sisi. Hal ini bisa merujuk atas pemboikotan pemilu presiden satu
bulan yang lalu yang dilakukan oleh kelompok islamis yakni Ikhwanul Muslimin
(IM). Selain kelompok Ikhwanul Muslimin (IM), kelompok lain yang melakukan hal
yang sama adalah para aktivis liberal dan sekuler (liberal and secular activists) termasuk gerakan pemuda 6 April yang
merupakan kelompok penting dalam penggulingan Hosni Mubarak.
Selain aktivis liberal dan sekuler yang menjadi kelompok
kunci dalam revolusi Arab Spring di
Mesir, Ikhwanul Muslimin (IM) juga memiliki kontribusi yang tidak kalah penting
dalam menumbangkan rejim Mubarak pada tahun 2011. Ketiga kelompok ini yakni
Ikhwanul Muslimin (IM), sekuler dan liberal secara tegas menentang majunya
al-Sisi sebagai calon presiden Mesir. Resistensi Ikhwanul Muslimin (IM)
terhadap al-Sisi adalah terkait penggulingan Mursi yang merupakan tokoh sentral
Ikhwanul Muslimin (IM) dari kursi kepresidenan Mesir ketika al-Sisi menjabat
sebagai panglima militer Mesir. Tidak hanya itu, al-Sisi juga berjanji akan
membekukan dan menumpas Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Sementara itu,
perlawanan kelompok liberal dan sekuler adalah terkait dengan pelanggaran HAM
(Hak Asasi Manusia) yang dilakukan oleh al-Sisi pasca tumbangnya rejim Mursi dari
kursi keprisidenan Mesir.
Resistensi yang dilakukan oleh IM (Ikhwanul Muslimin),
aktivis liberal dan sekuler terhadap al-Sisi akan menjadi tantangan berat bagi
al-Sisi dalam menjalankan pemerintahannya ke depan. Terpilihnya al-Sisi yang
diikuti oleh partisipasi pemilih di bawah 50% dalam pemilu presiden satu bulan
yang lalu bisa dikatakan sangat rentan memunculkan gejolak baru dalam politik
domestik Mesir. Jika al-Sisi menggunakan cara-cara militeristik (otoriter)
dalam menghadapi pihak-pihak yang menentangnya maka gelombang revolusi jilid II
sangat mungkin terjadi.
Berpijak dari paparan di atas, maka bisa disimpulkan
bahwa terpilihnya al-Sisi sebagai presiden Mesir akan menghadapi tantangan yang
sangat besar. Legitimasi politik yang rapuh bisa mengantarkan perpecahan dalam
politik domestik sebuah negara tidak terkecuali Mesir. Wallhu A’lam.
[1]
Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta