Rekonsiliasi Gaza
Oleh
: Fatkurrohman,S.IP,M.Si[1]
Tanggal
22 April merupakan tanggal yang sangat penting bagi rakyat Palestina. Hal ini karena pada tanggal tersebut telah terjadi
rekonsiliasi antara faksi Hamas (Harakat
al-Muqāwamah al-Islāmiyyah) dan Fatah. Rekonsiliasi kedua belah pihak ini merupakan
angin segar bagi masa depan Palestina pasca retaknya hubungan keduanya pada
tahun 2007. Keretakan hubungan antara Hamas dan Fatah berawal ketika Hamas
memenangkan pemilu legislatif pada tahun 2006 yang kemudian kemenangannya
dianulir oleh pihak Barat karena Hamas dianggap sebagai kelompok teror. Pada
tahun 2007, Hamas membentuk pemerintahan sendiri di Jalur Gaza (Gaza Strip) dan Fatah mengontrol Tepi
Barat (West Bank).
Setelah tujuh tahun berlalu, kemudian pihak Fatah mengirimkan
delegasinya yang diketuai oleh tokoh senior Fatah yakni Azzam al-Ahmed datang
ke Gaza untuk melakukan rekonsiliasi. Kedatangan delegasi Fatah ini kemudian disambut oleh PM
Hamas Ismail Haniyeh dan Wakil Ketua Hamas Mussa Abu Marzuq. Rekonsiliasi
antara Hamas dan Fatah kali ini merupakan rekonsiliasi ketiga pasca
rekonsiliasi Kairo (2011) dan Doha (2012) yang gagal di tengah jalan.
Salah satu penyebab utama kegagalan rekonsiliasi Kairo adalah tidak
jelasnya pembagian kekuasaan antara Hamas dan Fatah. Selain itu juga terjadinya
perbedaan pandangan dalam menangani masalah Israel. Sementara itu, rekonsiliasi
Doha mengalami nasib yang sama dengan rekonsiliasi sebelumnya karena kedua
belah pihak yakni Hamas dan Fatah tidak melanjutkan hasil rekonsiliasi ke tahap
implementasi.
Kegagalan rekonsiliasi Kairo dan Doha memberikan pesan bahwa rekonsiliasi
Gaza (2014) dalam kondisi yang tidak aman. Hal ini mengacu kepada draft rekonsiliasi Doha dan Gaza secara
substantif adalah sama yakni memberikan mandat ke pemimpin Fatah, Presiden Mahmoud
Abbas, untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilu parlemen dan presiden.
Untuk itu, maka rekonsiliasi Hamas dan Fatah kali ini setidak-tidanya akan
menghadapi dua tantangan yang tidak ringan.
Tantangan Internal
Rekonsiliasi Gaza bertujuan untuk membentuk satu pemerintahan, satu sistem
politik dan satu program nasional di bawah payung pemerintahan persatuan
nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dalam jangka lima minggu ke depan
akan dibentuk pemerintahan persatuan nasional yang akan dikendalikan oleh Abbas.
Enam bulan setelah pembentukan pemerintahan persatuan nasional akan dilakukan
pemilu parlemen dan presiden baik di Jalur Gaza maupun di Tepi Barat.
Berpijak dari kegagalan dua rekonsiliasi sebelumnya khususnya rekonsiliasi
Doha maka tidak menutup kemungkinan nasib rekonsiliasi Gaza akan berada di
posisi yang rapuh. Hal ini mengingat bahwa penyebab utama dari rekonsiliasi
Doha adalah implementasi terhadap draft
rekonsiliasi Doha yang lemah. Untuk itu, para pemimpin Hamas dan Fatah harus
mampu menegakkan dan mengimplementasikan draft
rekonsiliasi Gaza secara sungguh-sungguh.
Hal ini tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi para pemimpin Hamas
dan Fatah untuk membuktikan bahwa rekonsiliasi kali ini bukan sekedar
kesepakatan kosong yang hanya membuang-buang waktu. Untuk itu dibutuhkan
komitmen dan semangat yang kuat untuk mengimplementasikan rekonsiliasi Gaza
guna membangun Palestina. Hal ini karena perjuangan Palestina untuk menjadi
sebuah negara akan sulit terwujud jika Hamas dan Fatah tidak bersatu.
Tantangan Eksternal
Tantangan berikutnya pasca rekonsiliasi Gaza adalah munculnnya resistensi
dari Israel dan Amerika Serikat (AS). Secara tegas PM Israel Benjamin Netanyahu
menentang keras rekonsiliasi Hamas dan Fatah tersebut dan menghentikan
perundingan antara Palestina dengan Israel yang dimediasi oleh Menlu AS John
Kerry. Tidak hanya itu, AS sebagai pelindung (patron) Israel di Timur Tengah juga sangat kecewa terhadap
rekonsiliasi ini karena bisa mengancam perundingan dan perdamaian antara
Palestina dan Isarel. Dalam konteks ini, AS juga mengancam
akan membekukan bantuannya kepada Palestina.
Berpijak dari paparan di atas, maka rekonsiliasi Hamas dan Fatah kali ini
menghadapi tantangan yang berat. Jika Hamas dan Fatah mampu menyelesaikan
tantangan internal dengan cara mensolidkan spirit kebersamaan (spirit of togetherness), maka tantangan
eksternal ada kemunginan bisa diselesaikan. Tetapi, jika sebaliknya maka
rekonsiliasi ini tidak ada bedanya dengan rekonsiliasi-rekonsliasi sebelumnya. Wallhu A’lam.
[1]
Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta