Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Rabu, 07 Mei 2014

Rekonsiliasi Gaza
Oleh : Fatkurrohman,S.IP,M.Si[1]

Tanggal 22 April merupakan tanggal yang sangat penting bagi rakyat Palestina. Hal ini karena pada tanggal tersebut telah terjadi rekonsiliasi antara faksi Hamas (Harakat al-Muqāwamah al-Islāmiyyah) dan Fatah. Rekonsiliasi kedua belah pihak ini merupakan angin segar bagi masa depan Palestina pasca retaknya hubungan keduanya pada tahun 2007. Keretakan hubungan antara Hamas dan Fatah berawal ketika Hamas memenangkan pemilu legislatif pada tahun 2006 yang kemudian kemenangannya dianulir oleh pihak Barat karena Hamas dianggap sebagai kelompok teror. Pada tahun 2007, Hamas membentuk pemerintahan sendiri di Jalur Gaza (Gaza Strip) dan Fatah mengontrol Tepi Barat (West Bank).
Setelah tujuh tahun berlalu, kemudian pihak Fatah mengirimkan delegasinya yang diketuai oleh tokoh senior Fatah yakni Azzam al-Ahmed datang ke Gaza untuk melakukan rekonsiliasi. Kedatangan delegasi Fatah ini kemudian disambut oleh PM Hamas Ismail Haniyeh dan Wakil Ketua Hamas Mussa Abu Marzuq. Rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah kali ini merupakan rekonsiliasi ketiga pasca rekonsiliasi Kairo (2011) dan Doha (2012) yang gagal di tengah jalan.
Salah satu penyebab utama kegagalan rekonsiliasi Kairo adalah tidak jelasnya pembagian kekuasaan antara Hamas dan Fatah. Selain itu juga terjadinya perbedaan pandangan dalam menangani masalah Israel. Sementara itu, rekonsiliasi Doha mengalami nasib yang sama dengan rekonsiliasi sebelumnya karena kedua belah pihak yakni Hamas dan Fatah tidak melanjutkan hasil rekonsiliasi ke tahap implementasi.
Kegagalan rekonsiliasi Kairo dan Doha memberikan pesan bahwa rekonsiliasi Gaza (2014) dalam kondisi yang tidak aman. Hal ini mengacu kepada draft rekonsiliasi Doha dan Gaza secara substantif adalah sama yakni memberikan mandat ke pemimpin Fatah, Presiden Mahmoud Abbas, untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilu parlemen dan presiden. Untuk itu, maka rekonsiliasi Hamas dan Fatah kali ini setidak-tidanya akan menghadapi dua tantangan yang tidak ringan.
Tantangan Internal
Rekonsiliasi Gaza bertujuan untuk membentuk satu pemerintahan, satu sistem politik dan satu program nasional di bawah payung pemerintahan persatuan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dalam jangka lima minggu ke depan akan dibentuk pemerintahan persatuan nasional yang akan dikendalikan oleh Abbas. Enam bulan setelah pembentukan pemerintahan persatuan nasional akan dilakukan pemilu parlemen dan presiden baik di Jalur Gaza maupun di Tepi Barat.
Berpijak dari kegagalan dua rekonsiliasi sebelumnya khususnya rekonsiliasi Doha maka tidak menutup kemungkinan nasib rekonsiliasi Gaza akan berada di posisi yang rapuh. Hal ini mengingat bahwa penyebab utama dari rekonsiliasi Doha adalah implementasi terhadap draft rekonsiliasi Doha yang lemah. Untuk itu, para pemimpin Hamas dan Fatah harus mampu menegakkan dan mengimplementasikan draft rekonsiliasi Gaza secara sungguh-sungguh.
Hal ini tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi para pemimpin Hamas dan Fatah untuk membuktikan bahwa rekonsiliasi kali ini bukan sekedar kesepakatan kosong yang hanya membuang-buang waktu. Untuk itu dibutuhkan komitmen dan semangat yang kuat untuk mengimplementasikan rekonsiliasi Gaza guna membangun Palestina. Hal ini karena perjuangan Palestina untuk menjadi sebuah negara akan sulit terwujud jika Hamas dan Fatah tidak bersatu.
Tantangan Eksternal
Tantangan berikutnya pasca rekonsiliasi Gaza adalah munculnnya resistensi dari Israel dan Amerika Serikat (AS). Secara tegas PM Israel Benjamin Netanyahu menentang keras rekonsiliasi Hamas dan Fatah tersebut dan menghentikan perundingan antara Palestina dengan Israel yang dimediasi oleh Menlu AS John Kerry. Tidak hanya itu, AS sebagai pelindung (patron) Israel di Timur Tengah juga sangat kecewa terhadap rekonsiliasi ini karena bisa mengancam perundingan dan perdamaian antara Palestina dan Isarel. Dalam konteks ini, AS juga mengancam akan membekukan bantuannya kepada Palestina.
Berpijak dari paparan di atas, maka rekonsiliasi Hamas dan Fatah kali ini menghadapi tantangan yang berat. Jika Hamas dan Fatah mampu menyelesaikan tantangan internal dengan cara mensolidkan spirit kebersamaan (spirit of togetherness), maka tantangan eksternal ada kemunginan bisa diselesaikan. Tetapi, jika sebaliknya maka rekonsiliasi ini tidak ada bedanya dengan rekonsiliasi-rekonsliasi sebelumnya. Wallhu A’lam.

[1] Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta