Ganjalan Konferensi Jenewa II
Oleh
: Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]
Perhelatan konferensi internasional terkait
penyelesaian krisis di Suriah akan dilaksanakan pada tanggl 22 Januari 2014 di
Jenewa, Swiss. Konferensi yang digagas oleh AS dan Rusia ini bertujuan untuk
mengakhiri perang sipil di Suriah yang tak kunjung usai. Sejak tahun 2011,
perang sipil di Suriah telah menewaskan 115 ribu orang, 6,5 juta orang
kehilangan tempat tinggal dan 2 juta orang lainnya menjadi pengungsi di luar
negeri.
Banyaknya korban tewas akibat perang sipil di Suriah
membuat dunia internasional sangat prihatin. Salah satu bentuk keprihatinan
tersebut bisa kita lihat dari upaya AS dan Rusia yang akan menggelar konferensi
Jenewa akhir bulan ini yang juga disebut sebagai konferensi Jenewa II. Konferensi ini merupakan konferensi lanjutan dari konferensi
Jenewa I yang telah diselenggarakan pada tanggal 30 Juni 2012.
Konferensi Jenewa merupakan solusi politik dengan
mengajak para pihak yang sedang bertikai yakni pemerintahan Bashar al-Assad dengan
pihak oposisi untuk duduk bersama dalam menyelesaikan krisis Suriah. Salah satu point penting yang ditawarkan dalam
konferensi Jenewa kali ini adalah untuk mengimplementasikan dokumen konferensi
Jenewa I terkait perlunya pemerintahan transisi yang terdiri dari anggota dari
pemerintahan Assad dan oposisi.
Untuk itu, para pihak yang concern terhadap krisis di Suriah khususnya “Sahabat Suriah” (Friends of Syria) mendesak pihak-pihak
yang berkonflik untuk bisa hadir dalam konferensi Jenewa II. Negara-negara yang
tergabung dalam “Sahabat Suriah” seperti Inggris, Mesir, Perancis, Jerman,
Yordania, Itali, Qatar, Arab Saudi, Turki, Uni Emirat Arab dan AS memiliki
harapan besar agar perang saudara di Suriah bisa diakhiri dan pemerintahan
transisi bisa terwujud.
Harapan besar dari “Sahabat Suriah” terkait kesuksesan
pelaksanaan konferensi Jenewa II nampaknya akan menghadapi sedikit jalan
terjal. Hal ini karena pihak opisisi yang berjumlah kurang lebih 14 kelompok
sekarang sedang terpecah-belah dalam merespon pelaksanaan konferensi Jenewa II.
Hal ini bisa kita lihat dari ancaman dari Dewan Nasional Suriah yang akan
mundur dari Koalisi Nasional jika Koalisi Nasional yang merupakan blok utama
oposisi di Suriah ikut bergabung dalam konferensi Jenewa II. Munculnya
friksi-friksi di pihak oposisi tentu akan menjadi ancaman besar bagi kesuksesan
konferensi Jenewa II.
Ketidakhadiran
Iran
Alotnya pelaksanaan konferensi Jenewa II yang semestinya
dijadwalkan akhir tahun lalu terpaksa harus diundur pada tanggal 22 Januari
2014. Hal ini terjadi karena tidak bertemunya keinginan dua belah pihak yakni
rejim Assad dan oposisi. Rejim Assad sejak awal ingin mempertahankan
kekuasaannya sementara di sisi yang lain, pihak oposisi meminta Assad untuk
turun tahta.
Relasi konfliktual antara rejim Assad dengan oposisi ini
telah memicu berlarut-larutnya krisis politik yang terjadi di Suriah. Kondisi
in semakin diperparah dengan tidak dimasukkannya Iran ke dalam 30 negara yang
harus hadir dalam konferensi kali ini. Hal ini sebetulnya sangat disayangkan
karena posisi Iran sangat strategis dalam penyelesaian krisis Suriah. Kedekatan
Iran dan rejim Assad menjadi salah satu hal yang penting dalam mencairkan
ketegangan antara pihak oposisi dengan pemerintahan Assad.
Tetapi, di sisi yang lain, pihak Barat khususnya AS
sangat keberatan menerima kehadiran Iran di konferensi Jenewa II. Keberatan AS
itu muncul karena Iran tidak termasuk kelompok inti dalam perundingan
konferensi Jenewa I. Selain itu, AS juga mengkhawatirkan munculnya sikap Iran
yang akan mendukung Suriah dalam hal menolak skema pemerintahan transisi jika
Iran diundang dalam konferensi Jenewa II. Kekhawatiran AS ini bisa dipahami
jika merujuk kepada kedekatan Iran dan Suriah dalam hal menjaga eksistensi
Assad dari ancaman oposisi.
Berpijak dari analisa di atas, maka ketidakhadiran Iran
di konferensi Jenewa II dan munculnya perpecahan di pihak oposisi akan menjadi
ganjalan bagi terciptanya solusi politik di Suriah. Tentu hal ini sangat
disayangkan karena akan membawa Suriah masuk ke dalam kubangan konflik yang
berkepanjangan. Wallahu A’lam.
[1]
Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Penulis
Buku “Isu dan Realita Konflik Kawasan (2010)”.