AS Terjegal di Suriah
Oleh: Fatkurrohman, S.IP,M.Si
Stabilitas politik domestik di Suriah semakin tidak
terkendali akhir-akhir ini. Jumlah warga sipil yang tewas akibat tindakan
represif pemerintahan Bashar al-Assad hampir mencapai angka 7 ribu orang dan 2
ribu pasukan keamanan pemerintah sejak revolusi melanda Suriah awal Maret 2011.
Kondisi ini membuat semua pihak baik di wilayah regional Timur Tengah dan negara-negara
Barat menjadi sangat prihatin dan menyesalkan jatuhnya korban yang terus berkelanjutan.
Merespon tingginya angka kematian
warga sipil dan keengganan Bashar al-Assad untuk mundur (step down) dari kekuasaannya, maka negara-negara Timur Tengah di
bawah lembaga Liga Arab membuat langkah terobosan untuk mengirimkan dewan
pengawasnya ke Suriah untuk memonitor secara langsung kondisi di Suriah, tetapi
preskripsi dan himbaun dari dewan pengawas tersebut cenderung diabaikan oleh
pemerintah Suriah.
Tidak hanya Liga Arab yang bergerak
dalam mengatasi masalah di Suriah, tetapi juga AS dengan para sekutunya (Barat)
termasuk Uni Eropa telah melakukan banyak cara untuk mengehentikan tirani Assad
termasuk didalamnya menggalang resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB. Tetapi, upaya
resolusi DK tersebut kandas di tengah jalan karena dua kali diveto oleh Rusia
dan China.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya
adalah mengapa Rusia dan China menjegal langkah AS dalam “menghukum” rezim
Assad?.Pertanyaan ini sangat penting untuk didiskusikan karena perimbangan
kekuatan (balance of power) di
wilayah regional Timur Tengah berjalan secara timpang pasca Perang Dingin (cold war).
Hubungan China dan Suriah secara
resmi dibangun pada tahun 1956 dengan ditandai diresmikannya perwakilan mereka
di masing-masing negara. Relasi ekonomi dan militer mengiringi hubungan kedua negara
yang mengarah pada peningkatan hubungan ekonomi pada tahun 2009 yang mencapai
2.2 milyar dollar AS. Sementara di level militer China aktif membantu Suriah
dalam program misil balistik pada tahun 1993 dan 1996.
Sementara hubungan Suriah dan Rusia
mulai dirintis pada tahun 1946 ketika Rusia sebagai negara yang pertama kali
mengakui kemerdekaan Suriah. Hubungan kedua negara terus mengalamai kemajuan
yang signifikan khususnya terkait penjualan senjata Rusia ke Suriah. Data terakhir
menunjukkan bahwa Rusia dan Suriah telah menandatangani penjualan pesawat jet
tempur seharga 550 juta dollar AS dan peralatan militer senilai 700 juta dollar
AS.
Pasca berakhirnya Perang Dingin
dengan ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet dan dominasi AS dalam kontestasi
politik internasional di penghujung tahun 1989 membuat banyak perubahan dalam
sendi-sendi politik global. Perebutan pengaruh yang sangat kental di era Perang
Dingin diprediksikan akan mengalami peningkatan pasca revolusi melati (jasmine revolution) yang melanda
Tunisia.
Tunisia sebagai pemantik munculnya
Arab Spring yang sekarang melanda Suriah memberikan potret bahwa pertarungan
pengaruh antara Barat (AS) dengan Rusia dan China tengah berjalan secara ketat.
Hal tersebut bisa diindikasikan dengan sikap China dan Rusia yang dua kali
melakukan veto terhadapa resolusi yang digalang oleh AS beserta
sekutu-sekutunya. Sikap China dan Rusia itu bukan tanpa dasar, tetapi merupakan
sikap perlawanan atas dominasi AS khususnya di Timur Tengah.
Perseteruan Rusia dan AS bisa
dilacak dari perang dunia maya (cyber war)
antara keduanya dan yang paling menonjol adalah penentangan Rusia atas upaya
pembangunan sistem pertahanan rudal (anti-ballistic
missile defense) yang dibangun oleh AS dan NATO di negara-negara Eropa
Timur seperti Polandia, Spanyol, dan Rumania.
Sementara hubungan China dan AS
juga setali tiga uang dengan Rusia dan AS yang terus mengalami ekskalasi
konflik baik di level perdagangan, politik maupun militer. Pertumbuhan ekonomi
China yang meningkat pesat dan isu domestik politik terkait totalitarianism
China menjadi sorotan AS. Hal yang tak kalah penting adalah upaya AS untuk
menangkal kekuatan militer China dengan rencana pembangunan pangkalan militer
di Darwin, Australia.
Untuk meminimalisir pengaruh dan
dominasi AS khususnya di Timur Tengah, China dan Rusia bersatu padu untuk
menjegal langkah AS dan para sekutunya agar tidak sewenang-wenang dalam
menyelesaikan setiap masalah di kawasan yang kaya minyak tersebut. China dan
Rusia tidak ingin kecolongan lagi seperti masalah Somalia, Irak, dan Libya. Hal
itu telah disampaikan secara jelas oleh Perdana Menteri China Wen Jiabao dan
Menlu Rusia Sergei Lavrov.
Dalam hal ini, China dan Rusia
tidak memiliki kepentingan minyak atas Suriah karena cadangan minyak Suriah menurut
The World Factbook 2011 menempati posisi ke-33 yang jumlahnya sangat sedikit
kira-kira 2,500,000,000 (bbl) dan masih kalah jauh jika dibandingkan Arab Saudi
maupun Iran yang berada di posisi ke-1 dan ke-4 dunia.
Berpijak dari analisa di atas bisa
disimpulkan bahwa kepentingan yang sangat mendasar dari veto yang telah
dilakukan oleh China dan Rusia terkait dengan upaya AS dan sekutu-sekutunya
untuk mengeluarkan resolusi atas tindakan represif Assad terhadap rakyatnya
adalah membendung dominasi AS di Timur Tengah dan upaya kedua Negara tersebut
untuk membangun balance of power di
Timur Tengah yang terus menggeliat.