Ganjalan
R2P di Suriah
Oleh: Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]
Beberapa minggu yang
lalu, sebuah bom mobil telah menggoncang kota Damaskus yang mengakibatkan
puluhan orang tewas dan terluka. Peristiwa ini semakin menambah keruwetan
masalah di Suriah di tengah banyak pihak menginginkan perlunya gencatan senjata
(cease-fire) antara pihak pemerintahan
Assad dengan pemberontak. Menurut data terbaru yang dirilis oleh UN’s Human
Rights Council menyatakan bahwa jumlah korban tewas akibat kerusuhan politik (political unrest) di Suriah telah
mencapai 60,000 jiwa sejak kerusuhan terjadi Maret 2011.
Pertanyaan yang
kemudian perlu dimunculkan adalah mengapa R2P (responsibility to protect) tidak segera diimplementasikan di Suriah
mengingat jumlah korban yang berjatuhan telah begitu banyak?. Pertanyaan ini
sangat penting untuk didisikusikan mengingat krisis Suriah telah memasuki fase yang
sangat mengerikan.
Menurut pandangan
Gareth Evans, R2P didefinisikan sebagai
“the impossibility of ignoring the cries of pain distress of our fellow
human being”. Dalam konteks ini, Rejim Assad dianggap telah melakukan crimes
against humanity yang merupakan salah satu dari empat unsur untuk
diberlakukannya R2P di sebuah negara. Hal yang sangat
mendasar terkait hal tersebut adalah pembunuhan atas warga sipil Suriah yang
menentang kekuasaannya. Hal ini mengakibatkan munculnya perlawanan terhadap
rejim Assad yang dilakukan oleh kelompok pemberontak.
Perlawanan kelompok
pemberontak terhadap rejim Assad bisa dikatakan tidak mudah. Hampir satu tahun
lebih, pemerintahan rejim Assad masih kokoh berdiri meskipun mendapatkan
perlawanan yang sengit dari pihak pemberontak. Hal ini sangat berbeda dengan
revolusi yang terjadi baik di Tunisia, Libya, dan Mesir yang hanya membutuhkan
waktu kurang dari satu tahun.
Kerusuhan politik (political turmoil)
di Suriah yang tidak kunjung berakhir membuat banyak pihak mengusulkan perlunya
R2P di Suriah. Hal ini terkait dengan banyaknya korban jiwa dan jumlah pengungsi yang keluar Suriah untuk
menuju ke Lebanon dan Turki. Untuk mengurangi tensi ketegangan di domestik Suriah,
PBB berupaya keras untuk mengajak semua pihak yang bertikai baik dari pihak
rejim Assad maupun pemberontak untuk duduk bersama dalam menyelesaikan krisis
Suriah.
Hal ini bisa dilihat dari upaya Kofi Annan dan Lakhdar
Brahimi sebagai utusan resmi PBB dalam merespon gejolak politik dalam
pemerintahan Assad. Tetapi, peran dari Annan dan Brahimi bisa dikatakan tidak
optimal dalam memecahkan masalah yang sedang membelenggu Suriah. Fakta ini bisa
dilihat dari misi PBB dalam menyelesaikan krisis Suriah yang dijalankan Annan
bisa dikatakan ‘gagal’ karena Annan mundur sebelum masa tugasnya selesai yang
kemudian digantikan oleh Brahimi. Setali tiga uang dengan Annan, Brahimi juga
dianggap tidak bisa berkutik dalam mencari terobosan dalam kasus Suriah
sehingga pergolakan masih berlanjut hingga saat ini.
Berpijak dari tidak optimalnya misi Annan dan Brahimi
di Suriah, maka pihak internasional mendesak kepada PBB untuk
mengimplementasikan R2P di Suriah. Misi ini pernah dijalankan PBB melalui NATO
terhadap Libya dalam rangka melindungi rakyat sipil Libya. Tetapi R2P di Libya
akhirnya mengundang pro-kontra karena komunitas internasional menganggap bahwa
apa yang dilakukan NATO lebih ke arah pergantian rejim Khadafi daripada
perlindungan terhadap rakyat sipil Libya.
Untuk kasus Suriah, sebenarnya Dewan Keamanan PBB
telah berupaya untuk melakukan R2P dalam menyelesaikan masalah Suriah, tetapi
rencana tersebut harus kandas di tengah jalan karena mendapatkan veto sebanyak
dua kali dari China dan Rusia. Kedua negara tersebut lebih memilih cara-cara
dialog daripada upaya militer dalam menuntaskan
krisis Suriah.
Keinginan China dan Rusia yang lebih suka
mengedepankan cara-cara dialog dalam masalah Suriah segendang penarian dengan
sikap Sekjen PBB, Ban Ki-moon, yang berjanji tidak akan menggunakan kekuatan
militer dalam merespon krisis Suriah. Di pihak yang lain, NATO berencana mengoperasikan
rudal patriot di perbatasan Suriah dan Turki dalam rangka mengamankan posisi
Turki jika ketegangan kembali muncul antara kedua negara.
Pesan penting yang bisa dibaca dari upaya
pengoperasian rudal patriot yang di-back
up sekitar 400 pasukan NATO mengindikasikan bahwa krisis Suriah telah
membuat stabilitas keamanan Turki menjadi terganggu. Hal ini sekaligus menjadi
sebuah prasyarat perlunya dilakukan R2P di Suriah karena telah mengganggu
stabilitas negara lain seperti yang termaktub dalam piagam PBB terkait dengan international peace and security.
Meski kondisi di Suriah telah memenuhi prasyarat untuk
diberlakukannya R2P, tetapi untuk tingkat implementasinya telah beberapa kali
mengalami ganjalan. Ganjalan yang pertama berangkat dari sekutu Suriah yakni
China dan Rusia. Hal ini dilakukan oleh China dan Rusia karena kedua negara
tersebut tidak ingin kehilangan pengaruhnya di Timur Tengah. Ganjalan
berikutnya adalah munculnya R2P terkadang menjadi alat legitimasi bagi negara
besar (AS) untuk mengganti rejim yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Berpijak dari paparan di atas bisa ditarik kesimpulan
bahwa tersendatnya implementasi R2P di Suriah tidak hanya menggambarkan
pertarungan pengaruh antara AS dengan Rusia dan China, tetapi juga
mendeskripsikan munculnya resistensi dari sebagian negara karena R2P hanya
menjadi label negara besar (AS) dalam menumbangkan sebuah rejim tertentu.
[1] Dosen Hubungan Internasional,
Fisipol, UGM, Yogyakarta. Penulis buku “ Isu dan Realita Konflik Kawasan
(2010)”.