Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Selasa, 22 Januari 2013


Ganjalan R2P di Suriah
Oleh: Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]

Beberapa minggu yang lalu, sebuah bom mobil telah menggoncang kota Damaskus yang mengakibatkan puluhan orang tewas dan terluka. Peristiwa ini semakin menambah keruwetan masalah di Suriah di tengah banyak pihak menginginkan perlunya gencatan senjata (cease-fire) antara pihak pemerintahan Assad dengan pemberontak. Menurut data terbaru yang dirilis oleh UN’s Human Rights Council menyatakan bahwa jumlah korban tewas akibat kerusuhan politik (political unrest) di Suriah telah mencapai 60,000 jiwa sejak kerusuhan terjadi Maret 2011.
Pertanyaan yang kemudian perlu dimunculkan adalah mengapa R2P (responsibility to protect) tidak segera diimplementasikan di Suriah mengingat jumlah korban yang berjatuhan telah begitu banyak?. Pertanyaan ini sangat penting untuk didisikusikan mengingat krisis Suriah telah memasuki fase yang sangat mengerikan.
Menurut pandangan Gareth Evans, R2P didefinisikan sebagai “the impossibility of ignoring the cries of pain distress of our fellow human being”. Dalam konteks ini, Rejim Assad dianggap telah melakukan crimes against humanity yang merupakan salah satu dari empat unsur untuk diberlakukannya R2P di sebuah negara. Hal yang sangat mendasar terkait hal tersebut adalah pembunuhan atas warga sipil Suriah yang menentang kekuasaannya. Hal ini mengakibatkan munculnya perlawanan terhadap rejim Assad yang dilakukan oleh kelompok pemberontak.
Perlawanan kelompok pemberontak terhadap rejim Assad bisa dikatakan tidak mudah. Hampir satu tahun lebih, pemerintahan rejim Assad masih kokoh berdiri meskipun mendapatkan perlawanan yang sengit dari pihak pemberontak. Hal ini sangat berbeda dengan revolusi yang terjadi baik di Tunisia, Libya, dan Mesir yang hanya membutuhkan waktu kurang dari satu tahun.
Kerusuhan politik (political turmoil) di Suriah yang tidak kunjung berakhir membuat banyak pihak mengusulkan perlunya R2P di Suriah. Hal ini terkait dengan banyaknya korban jiwa dan jumlah pengungsi yang keluar Suriah untuk menuju ke Lebanon dan Turki. Untuk mengurangi tensi ketegangan di domestik Suriah, PBB berupaya keras untuk mengajak semua pihak yang bertikai baik dari pihak rejim Assad maupun pemberontak untuk duduk bersama dalam menyelesaikan krisis Suriah.
Hal ini bisa dilihat dari upaya Kofi Annan dan Lakhdar Brahimi sebagai utusan resmi PBB dalam merespon gejolak politik dalam pemerintahan Assad. Tetapi, peran dari Annan dan Brahimi bisa dikatakan tidak optimal dalam memecahkan masalah yang sedang membelenggu Suriah. Fakta ini bisa dilihat dari misi PBB dalam menyelesaikan krisis Suriah yang dijalankan Annan bisa dikatakan ‘gagal’ karena Annan mundur sebelum masa tugasnya selesai yang kemudian digantikan oleh Brahimi. Setali tiga uang dengan Annan, Brahimi juga dianggap tidak bisa berkutik dalam mencari terobosan dalam kasus Suriah sehingga pergolakan masih berlanjut hingga saat ini.
Berpijak dari tidak optimalnya misi Annan dan Brahimi di Suriah, maka pihak internasional mendesak kepada PBB untuk mengimplementasikan R2P di Suriah. Misi ini pernah dijalankan PBB melalui NATO terhadap Libya dalam rangka melindungi rakyat sipil Libya. Tetapi R2P di Libya akhirnya mengundang pro-kontra karena komunitas internasional menganggap bahwa apa yang dilakukan NATO lebih ke arah pergantian rejim Khadafi daripada perlindungan terhadap rakyat sipil Libya.
Untuk kasus Suriah, sebenarnya Dewan Keamanan PBB telah berupaya untuk melakukan R2P dalam menyelesaikan masalah Suriah, tetapi rencana tersebut harus kandas di tengah jalan karena mendapatkan veto sebanyak dua kali dari China dan Rusia. Kedua negara tersebut lebih memilih cara-cara dialog daripada upaya militer dalam menuntaskan  krisis Suriah.
Keinginan China dan Rusia yang lebih suka mengedepankan cara-cara dialog dalam masalah Suriah segendang penarian dengan sikap Sekjen PBB, Ban Ki-moon, yang berjanji tidak akan menggunakan kekuatan militer dalam merespon krisis Suriah. Di pihak yang lain, NATO berencana mengoperasikan rudal patriot di perbatasan Suriah dan Turki dalam rangka mengamankan posisi Turki jika ketegangan kembali muncul antara kedua negara.
Pesan penting yang bisa dibaca dari upaya pengoperasian rudal patriot yang di-back up sekitar 400 pasukan NATO mengindikasikan bahwa krisis Suriah telah membuat stabilitas keamanan Turki menjadi terganggu. Hal ini sekaligus menjadi sebuah prasyarat perlunya dilakukan R2P di Suriah karena telah mengganggu stabilitas negara lain seperti yang termaktub dalam piagam PBB terkait dengan international peace and security.
Meski kondisi di Suriah telah memenuhi prasyarat untuk diberlakukannya R2P, tetapi untuk tingkat implementasinya telah beberapa kali mengalami ganjalan. Ganjalan yang pertama berangkat dari sekutu Suriah yakni China dan Rusia. Hal ini dilakukan oleh China dan Rusia karena kedua negara tersebut tidak ingin kehilangan pengaruhnya di Timur Tengah. Ganjalan berikutnya adalah munculnya R2P terkadang menjadi alat legitimasi bagi negara besar (AS) untuk mengganti rejim yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Berpijak dari paparan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa tersendatnya implementasi R2P di Suriah tidak hanya menggambarkan pertarungan pengaruh antara AS dengan Rusia dan China, tetapi juga mendeskripsikan munculnya resistensi dari sebagian negara karena R2P hanya menjadi label negara besar (AS) dalam menumbangkan sebuah rejim tertentu. 
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       

[1] Dosen Hubungan Internasional, Fisipol, UGM, Yogyakarta. Penulis buku “ Isu dan Realita Konflik Kawasan (2010)”.