Agresi Israel
Oleh : Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]
Agresi Israel ke Jalur Gaza telah
menewaskan 90 orang yang kebanyakan adalah warga sipil Gaza. Tidak hanya itu,
Israel juga telah menewaskan kepala sayap militer Hamas,Ahmed Said Khalil
al-Jabari, lewat serangan udara ketika mobil Jabari tengah melaju di jalanan
Jalur Gaza. Dalam agresi kali
ini, Israel selain melakukan serangan udara dan laut, Israel juga tengah
menyiapkan operasi serangan darat yang diperkirakan akan melibatkan 75,000
tentara. Jumlah ini tujuh kali lebih besar jika dibandingkan dengan agresi Israel
di pengujung tahun 2008.
Pada agresi empat tahun yang
lalu, Israel telah menewaskan kurang lebih 1,400 warga Palestina. Dari jumlah
korban tewas itu, diperkirakan sekitar 300 orang adalah anak-anak dan 90 orang
adalah wanita. Jumlah korban tewas ini merupakan tragedi kemanusiaan yang
angkanya melebihi jumlah korban tewas akibat kerusuhan politik (political
unrest) baik yang terjadi di Libya maupun Suriah semenjak Arab Spring
bergulir dua tahun yang lalu.
Dalam agresi kali ini,
diperkirakan jumlah korban tewas di Gaza akan meningkat karena Israel enggan
untuk menghentikan agresinya. Bahkan Israel telah menyiapkan serangan yang
lebih mematikan terhadap Hamas demi mengamankan kepentinngan nasionalnya
termasuk warga negaranya dari sasaran roket-roket Hamas. Setidak-tidaknya ada tiga warga negara Israel
yang tewas akibat serangan Hamas.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya
adalah mengapa Israel di bawah kendali Netanyahu melakukan agresi di Jalur
Gaza?. Pertanyaan ini sangat penting untuk kita diskusikan di tengah banyak
pihak menginginkan keduanya bisa hidup berdampingan secara damai.
Agresi Israel ke Jalur Gaza telah
menuai banyak kecaman dari kalangan aktivis perdamaian baik yang terjadi di AS,
Perancis, Korea Selatan, maupun Indonesia. Tidak hanya itu, Mesir, Iran, Liga
Arab, China, dan Rusia juga mengecam Israel atas agresinyaa yang telah menelan
banyak korban sipil Gaza. Tetapi, Israel tetap bergeming atas banyaknya protes
tersebut. Setidak-tidaknya ada dua hal penting yang bisa menjelaskan mengapa
Israel tetap diam dan terus menjalankan agresinya ke Jalur Gaza.
Motif Politik
Keinginan Netanyahu untuk maju lagi
dalam pemilihan perdana menteri tahun depan menjadi salah satu faktor utama mengapa
Natanyahu melakukan agresi ke Gaza. Netanyahu ingin menunjukkan bahwa Israel di
bawah kepemimpinannya tidak lemah terhadap Hamas. Selain itu, Netanyahu juga
ingin membangun image bahwa Israel di bawah kendalinya mampu memberikan
rasa aman bagi warga negaranya.
Sosok pemimpin yang kuat sekaligus
tidak kenal kompromi terhadap Palestina adalah dambaan bagi masyarakat Israel.
Fakta membuktikan bahwa terpilihnya Netanyahu menjadi perdana menteri Israel
pada tahun 1996-1999 adalah akibat sikap pendahulunya yakni Yithak Rabin yang
mau berdamai dengan Palestina dengan terbitnya Perjanjian Oslo. Terkait dengan
kebijakan ini, membuat Rabin dibunuh oleh Yigal Amir seorang aktivis sayap
kanan yang tidak setuju dengan kebijakan Rabin.
Kekecewaan publik Israel terkait
kebijakan Rabin yang akomodatif dengan Palestina membuat sosok Netanyahu
sebagai sebuah pilihan yang tepat. Hal itu dibuktikan Netanyahu dengan
kebijakan Protokol Hebron-nya dan pembangunan pemukiman
Har Homa yang terletak antara Yerusalem Timur dan Bethlehem.
Hal yang sama juga terjadi ketika Netanyahu terpilih
menjadi perdana menteri tahun 2009 yang memanfaatkan kegagalan Olmert dalam
agresinya ke Gaza di akhir tahun 2008 sampai dengan awal tahun 2009. Di pemilu
parlemen yang rencannya akan di gelar 22 Januari 2013, Netanyahu dipastikan
akan menang telak melawan Olmert yang rencananya akan maju menantang Netanyahu.
Dukungan Obama
Keberanian Netanyahu dalam
melakukan agresi ke Gaza tidak bisa dilepaskan dari dukungan Obama yang
diberikan ke Netanyahu melalui sambungan telpon menjelang agresi ke Gaza. Dukungan
Obama ini bisa kita lacak dari gelontoran dana ratusan juta dolar AS dari dana-dana yang digalang oleh lobby
Yahudi di AS dalam kampanye Obama
pada tahun 2008 dan 2012. Selain itu juga, pengaruh AIPAC (American-Israel Public Affairs Committee)
dan CPMJO (the Conference of Presidents of Major Jewish Organizations)
begitu sangat kuat dalam men-drive langkah Obama.
Posisi dan Pengaruh lobby Yahudi
sangat luar biasa dalam kontestasi politik domestik AS. Pengaruhnya tidak hanya
di level Kongres dan Eksekutif, tetapi juga memanipulasi berita di media dan
membangun think thank (WINEP) yang bertujuan menyukseskan agenda Israel
dalam merebut tanah-tanah Palestina. Hal tersebut bisa kita lihat bahwa AS
sering kali membuat kebijakan yang menyudutkan Palestina dan menganakemaskan
Israel.
Kemenangan Obama pada pilpres AS
yang digelar 6 November lalu tidak bisa dilepaskan dari jaringan lobby Yahudi.
Hal ini tentu akan membuat hutang budi Obama ke Isarel agar mengikuti apa yang
diinginkan oleh negara Yahudi tersebut. Politik hutang budi Obama ini akan
membuat langkah politik AS khususnya kebijakan terkait dengan penyelesaian
konflik Israrel-Palestina tidak akan pernah adil.
Ketidakadilan Obama dalam
menyelesaikan konflik Israel-Palestina akan membuat jalan terjal bagi
terjadinya proses perdamaian antar keduanya. Hal ini tentu akan menorehkan luka
bagi negara-negara dunia internasional yang menginginkan Obama bisa meniru
langkah yang pernah diambil Clinton dalam memediasi Israel dan Palestina dalam
payung Perjanjian Oslo pada tahun 1993.
Berdasarkan analisa di atas,
bisa kita simpulkan bahwa agresi Israel di Jalur Gaza tidak bisa dilepaskan
dari keinginan Netanyahu untuk memenangkan pemilu parlemen tahun depan. Selain
itu, dukungan kuat Obama seolah menjadi katalisator bagi Netanyahu untuk
melakukan agresi meski dikecam banyak negara. Wallahu A’alam.
[1] Dosen Hubungan
Internasional UGM Yogyakarta. Penulis buku “Pemanasan Global dan Lobang Ozon : Bencana Masa Depan (Media Wacana, 2009)".