Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Sabtu, 24 November 2012



Instabilitas Kawasan Akibat Krisis Suriah
Oleh : Fatkurrohman,S.IP,M.Si[1]

Ekskalasi konflik antara pemerintahan Bassar al-Assad dengan para pemberontak telah masuk ke kondisi yang sangat memprihatinkan. Tiap hari korban jiwa yang berjatuhan hampir mencapai 40-100 orang. Berdasarkan data yang diperoleh PBB, jumlah korban tewas sejak revolusi bergulir telah mencapai 30,000 orang.
Jumlah korban akan terus menanjak selama belum ada langkah-langkah yang efektif untuk menghentikan kekejaman rejim Assad. Pihak-pihak yang bertikai yakni pihak rejim Assad dan pihak pemberontak sama-sama mengklaim diri sebagai pihak yang benar. Pihak Assad menyatakan bahwa pihaknya ingin menumpas kelompok teroris (pemberontak) karena dianggap mengganggu stabilitas negara. Sementara di pihak yang lain, kelompok pemberontak ingin menumbangkan rejim Assad karena dianggap koruptif dan nepotisme.
Suriah merupakan sebuah negara bekas koloni Perancis yang mempunyai jumlah penduduk kira-kira 22 juta jiwa. Gerakan perlawanan terhadap Assad mulai terjadi seiring dengan munculnya Arab Spring yang melanda Tunisia, Libya, dan Mesir. Setidaknya ada 15 negara yang mengalami gejolak politik (political turmoil) di Timur Tengah pasca gelombang protes terhadap pemerintahan Ben Ali yang terjadi di Tunisia 18 Desember 2010.
Salah satu dampak dari revolusi yang terjadi di Tunisia dua tahun lalu, membuat Suriah berada di titik kritis yang bisa memicu terjadinya perang saudara. Pertumpahan darah antara rejim penguasa dengan pihak pemberontak tidak hanya merusak tatanan ekonomi domestik Suriah, tetapi juga memicu instabilitas keamanan di Timur Tengah.
Turki dan Lebanon
Sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Suriah di sebelah utara, Turki ikut menanggung “beban” akibat terjadinya krisis yang melanda Suriah. Selain ribuan pengungsi Suriah yang mengalir ke Turki, pihak Turki juga terlibat adu kekuatan militer (show of force) di perbatasan. Hal itu terlihat ketika pihak Turki menuduh Suriah telah berkonspirasi dengan militan PKK (Partai Pekerja Kurdi) dalam serangan bom mobil yang terjadi di Gaziantep, Turki yang menewaskan 9 orang. Tidak hanya itu, hubungan ketegangan  Suriah dan Turki juga bisa kita lihat pasca serangan meriam Suriah yang menewaskan lima warga Turki yang kemudian dibalas dengan serangan militer Turki ke Suriah.
Memanasnya hubungan Suriah dan Turki  berawal ketika Suriah mencurigai adanya pelatihan militer untuk para pemberontak Suriah di Turki yang di-back up oleh pihak AS. Selain pelatihan militer, pihak pemberontak di Suriah juga mendapatkan pasokan senjata dari AS dan NATO melalui perbatasan Suriah dan Turki. Dalam hal ini, Suriah menganggap Turki ikut andil dalam kerusuhan politik di Suriah yang berkepanjangan.
Ketegangan Suriah dengan tetangganya tidak hanya dengan Turki, tetapi juga dengan Lebanon. Suriah dianggap berada di belakang terjadinya bom mobil di Beirut yang menewaskan pejabat tinggi inteljen keamanan domestik Lebanon Wissam al-Hassan. Hassan merupakan sosok pengikut Sunni yang sangat keras menentang rejim Assad di Suriah.
Hubungan Suriah dan Lebanon mulai memanas ketika Suriah dituding berada di belakang ledakan bom mobil yang menewaskan PM Rafiq Hariri pada tahun 2005. Sejak saat itu, hubungan kedua negara selalu diwarnai kecurigaan dan sikap saling tidak percaya yang bisa memicu ketegangan baru di kawasan Timur Tengah. Padahal di era sebelum Perang Dunia I, keduanya hidup rukun dalam payung Suriah Raya.
Instabilitas kawasan
Pasca pengunduran diri Kofi Annan sebagai utusan PBB dan Liga Arab untuk krisis Suriah, Brahimi yang seorang mantan menteri luar negeri Aljazair kemudian ditunjuk oleh PBB dan Liga Arab untuk menggantikan posisi Annan. Pada saat itu, publik internasional mengharapkan bahwa Brahimi bisa berbuat lebih banyak dalam menyelesaikan krisis Suriah. Tetapi, harapan publik internasional kelihatannya belum terpenuhi secara optimal mengingat krisis Suriah hingga saat ini masih membara.
Salah satu instrumen penting yang ingin ditekankan oleh Brahimi dalam menyelesaikan krisis Suriah adalah dengan mengedepankan pentingnya gencatan senjata antara pihak rejim Assad dengan pemberontak. Tetapi, gencatan senjata selama empat hari dalam rangka menghormati datangnya hari raya Idul Adha gagal total karena adanya bom mobil di Damaskus yang menewaskan 5 orang dan 30 orang mengalami luka-luka.
Gagalnya gencatan senjata antara pihak yang bertikai di Suriah menyebabkan proses menuju perdamaian menjadi sangat berliku. Hal ini diindikasikan dengan adanya jumlah korban tewas tiap hari terus berjatuhan dan bahkan cenderung mengalami peningkatan. Dalam menyikapi hal ini, Brahimi harus mencari jalan alternatif dalam memediasi kedua pihak agar mau meninggalkan cara-cara militer untuk menuju jalur dialog.
Tetapi, jalur dialog kelihatannya tidak mudah karena pihak pemberontak dan rejim Assad tidak terlalu tertarik dengan jalur tersebut. Ketika jalur dialog dianggap tidak bisa dilalui maka Brahimi harus melakukan introspeksi atas keberadaannya di Suriah. Seperti halnya yang dilakukan Annan, ketika Annan merasa tidak mampu menuntaskan krisis Suriah maka Annan tidak memperpanjang mandatnya lagi di Suriah.
Munculnya aksi kekerasan yang tak kunjung usai dan bahkan merambat ke negara tetangga seperti Turki dan Lebanon tidak bisa dielakkan. Bahkan selain itu, ada potensi Irak dan Jordania juga akan ikut terkena imbas dari Krisis Suriah. Hal ini bisa dipahami karena posisi Irak yang berada di timur dan Yordania berada di selatan Suriah.
Ketika negara-negara yang berbatasan langsung dengan Suriah mulai terkena imbas akibat krisis Suriah yang berlarut-larut maka hal ini akan berdampak kepada instabilitas kawasan. Untuk itu pihak PBB harus secara tegas mengambil kebijakan-kebijakan strategis berikutnya demi menjaga kawasan Timur Tengah agar tidak bergejolak. Wallhu A’lam Bishowab.

[1] Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sekaligus penulis buku “ Isu dan Realita Konflik Kawasan (Gama Press, 2010)”.