Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Senin, 24 September 2012



Tantangan Protokol Montreal di Indonesia
Oleh : Fatkurrohman, M.Si[1]

Banyaknya jumlah penderita katarak di Indonesia patut mendapatkan perhatian yang sangat serius. Data pada tahun 2011 menunjukkan bahwa jumlah penderita katarak telah mengalami peningkatan sebesar 200,000 per tahun. Hal ini tentu sangat menyedihkan di tengah pemerintah Indonesia yang sedang gencar untuk mengimplementasikan Protokol Montreal.
Kemudian apa saja tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengimplementasikan Protokol Montreal?.
Pada tanggal 16 September 2012 adalah hari ulang tahun Protokol Montreal yang ke-25. Munculnya Protokol Montreal dilatarbelakangi oleh adanya persoalan lubang ozon (ozone hole) di benua Antartika yang sangat membahayakan bagi kehidupan mahluk hidup di dunia. Untuk itu dibentuklah Konvensi Wina pada tahun 1985 yang  kemudian diimplementasikan dalam bentuk Protokol Montreal pada tanggal 16 September 1987.
Protokol Montreal mengatur zat-zat yang dapat menipiskan lapisan ozon (ozone layer) seperti CFC (Chloroflurocarbon), Bromoflurocarbon, Methyl chloroform, Carbon tetrachloride, Methyl bromide, dan Hydrochloroflurocarbon (HCFC). Zat-zat tersebut memiliki kontribusi besar dalam menipiskan lapisan ozon yang sangat berpotensi menyebabkan kanker, katarak, penurunan imunitas tubuh, dan bahkan bisa merusak biota laut.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina, Protokol Montreal, dan Amandemen London melalui keputusan presiden Nomor 23 tahun 1992. Tidak hanya itu Indonesia juga meratifikasi amandemen Kopenhagen pada tahun 1998, Beijing pada tahun 2005, dan Montreal pada tahun 2005. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi ini Indonesia harus mampu mengawasi dan mengendalikan konsumsi ODS (ozone depletion substances) dan melakukan upaya dalam penanganan penipisan lapisan ozon.
Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia telah menjadi tuan rumah (host) dalam penyelenggaraan Konferensi Protokol Montreal yang dihadiri oleh kurang lebih 500 delegasi dari 150 negara, organisasi internasional, dan masyarakat sipil. Dalam konferensi ini, Indonesia mendaptkan pujian dari Marco Gonzales, executive secretary of the ozone secretariat, tentang keberhasilan Indonesia menekan jumlah ODS seperti CFC, CTC, dan Halon dua tahun lebih awal dari jadwal yang ditentukan.
Prestasi Indonesia dalam menurunkan angka ODS perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi dalam rangka penanganan beragam dampak negatif dari penipisan lapisan ozon. Hal ini tentu tidak hanya membahagiakan bagi pemerintah Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat Indonesia secara luas.
Di tengah kegembiraan dalam perolehan prestasi penurunan jumlah ODS, Indonesia setidak-tidaknya menghadapi tiga tantangan besar ke depan. Pertama adalah penyediaan bahan alternatif HCFCs. Dalam hal ini pemerintah Indonesia harus bisa mencari bahan alternatif pengganti HCFCs yang ramah lingkungan dengan tanpa mengabaikan sektor industri yang menggunakan HCFCs sebagai bahan produksinya. Tentu hal ini bukan merupakan pekerjaan yang ringan bagi pemerintah Indonesia. Untuk itu, pihak pemerintah harus mengumpulkan seluruh pemangku kepentingan dan menggandeng pihak perguruan tinggi untuk memecahkan masalah tersebut.
Sebagai sebuah gambaran besar, pihak pemerintah AS di era pemerintahan Ronald Reagan membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk menyakinkan pihak DuPont, perusahaan penghasil CFC, untuk mau menghentikan produksi CFC-nya dan menggantikannya dengan HFC,HC, dan PFC yang lebih ramah lingkungan. Hal ini tentu perlu dicontoh oleh pemerintah Indonesia dalam mengimplemnetasikan Protokol Montreal secara baik meskipun itu akan mendapatkan tentangan dari para pelaku industri.  
Tantangan yang kedua adalah penurunan HCFCs. Protokol Montreal telah mengingatkan bahwa negara-negara berkembang harus menghentikan produksi dan konsumsi HFCs-nya pada tahun 2013. Penggunaan HFCs-biasanya bisa ditemukan sebagai pendingin AC, pelarut, maupun kulkas. HFCs sangat berbahaya bagi lapisan stratosfer karena sinar ultraviolet akan langsung memancar ke bumi yang berakibat fatal bagi mahluk hidup yang ada di bumi.
Untuk itu diperlukan sebuah mekasnisme yang tepat untuk mereduksi HFCs di Indonesia secara berkala. Dalam mekanisme ini, pemerintah Indonesia mendapatkan bantuan sebesar 13 juta dolar AS dari Indonesia’s HCFC Phase-out Management Plan untuk periode 2013 dan 2015. Ke depan, pemerintah Indonesia harus bisa mengatur phase-out HFCs-nya sampai ke titik terendah agar mendapatkan dana bantuan yang lebih besar lagi.
Ketiga adalah impor ilegal. Pihak pemerintah harus mengawasi secara ketat terkait dengan kemungkinan adanya impor ilegal yang dilakukan oleh pihak pelaku industri dan adanya ’main mata’ dengan oknum instansi pemerintah.
Para broker akan menggunakan beragam cara untuk melakukan impor ilegal terkait dengan ODS dengan para pelaku industri yang nakal. Munculnya banyak broker di sektor industri  kaitannya dengan impor barang ilegal kerap kali terjadi di Indonesia. Tidak hanya ODS, tetapi juga terjadi di sektor industri perdagangan senjata dan bahkan industri elektronik.
Ketiga tantangan tersebut di atas harus bisa dilalui oleh pemerintah Indonesia dalam upaya menyukseskan amanah Protokol Montreal. Untuk itu, dengan spirit ulang tahun Protokol Montreal kali ini, pemerintah Indonesia harus bisa membuat kebijakan-kebijakan yang signifikan dalam mengefektifkan pelaksanaan Protokol Montreal sehingga terbebas dari bencana penipisan lapisan ozon. Walluhu alam bishawab.

[1] Dosen Hubungan Internasional, UGM Yogyakarta. Sekaligus penulis buku ”Pemanasan Global dan Lubang Ozon: Bencana Masa Depan”.