Tantangan Protokol Montreal di Indonesia
Oleh : Fatkurrohman, M.Si[1]
Banyaknya jumlah penderita katarak di Indonesia patut mendapatkan
perhatian yang sangat serius. Data pada tahun 2011 menunjukkan bahwa jumlah
penderita katarak telah mengalami peningkatan sebesar 200,000 per tahun. Hal
ini tentu sangat menyedihkan di tengah pemerintah Indonesia yang sedang gencar
untuk mengimplementasikan Protokol Montreal.
Kemudian apa saja tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia dalam
mengimplementasikan Protokol Montreal?.
Pada tanggal 16 September 2012 adalah hari ulang tahun Protokol Montreal
yang ke-25. Munculnya Protokol
Montreal dilatarbelakangi oleh adanya persoalan lubang ozon (ozone hole) di benua Antartika yang
sangat membahayakan bagi kehidupan mahluk hidup di dunia. Untuk itu dibentuklah
Konvensi Wina pada tahun 1985 yang
kemudian diimplementasikan dalam bentuk Protokol Montreal pada tanggal
16 September 1987.
Protokol Montreal mengatur
zat-zat yang dapat menipiskan lapisan ozon (ozone layer) seperti CFC (Chloroflurocarbon), Bromoflurocarbon, Methyl
chloroform, Carbon tetrachloride,
Methyl bromide, dan Hydrochloroflurocarbon (HCFC). Zat-zat
tersebut memiliki kontribusi besar dalam menipiskan lapisan ozon yang sangat
berpotensi menyebabkan kanker, katarak, penurunan imunitas tubuh, dan bahkan
bisa merusak biota laut.
Pemerintah Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Wina, Protokol Montreal, dan Amandemen London melalui
keputusan presiden Nomor 23 tahun 1992. Tidak hanya itu Indonesia juga
meratifikasi amandemen Kopenhagen pada tahun 1998, Beijing pada tahun 2005, dan
Montreal pada tahun 2005. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi ini Indonesia
harus mampu mengawasi dan mengendalikan konsumsi ODS (ozone depletion
substances) dan melakukan upaya dalam penanganan penipisan lapisan ozon.
Pada tahun 2011, pemerintah
Indonesia telah menjadi tuan rumah (host) dalam penyelenggaraan
Konferensi Protokol Montreal yang dihadiri oleh kurang lebih 500 delegasi dari
150 negara, organisasi internasional, dan masyarakat sipil. Dalam konferensi
ini, Indonesia mendaptkan pujian dari Marco Gonzales, executive secretary of
the ozone secretariat, tentang keberhasilan Indonesia menekan jumlah ODS seperti
CFC, CTC, dan Halon dua tahun lebih awal dari jadwal yang ditentukan.
Prestasi Indonesia dalam
menurunkan angka ODS perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi dalam rangka
penanganan beragam dampak negatif dari penipisan lapisan ozon. Hal ini tentu
tidak hanya membahagiakan bagi pemerintah Indonesia, tetapi juga bagi
masyarakat Indonesia secara luas.
Di tengah kegembiraan dalam
perolehan prestasi penurunan jumlah ODS, Indonesia setidak-tidaknya menghadapi
tiga tantangan besar ke depan. Pertama adalah penyediaan bahan alternatif
HCFCs. Dalam hal ini pemerintah Indonesia harus bisa mencari bahan alternatif
pengganti HCFCs yang ramah lingkungan dengan tanpa mengabaikan sektor industri
yang menggunakan HCFCs sebagai bahan produksinya. Tentu hal ini bukan merupakan
pekerjaan yang ringan bagi pemerintah Indonesia. Untuk itu, pihak pemerintah
harus mengumpulkan seluruh pemangku kepentingan dan menggandeng pihak perguruan
tinggi untuk memecahkan masalah tersebut.
Sebagai sebuah gambaran besar,
pihak pemerintah AS di era pemerintahan Ronald Reagan membutuhkan waktu yang
sangat panjang untuk menyakinkan pihak DuPont, perusahaan penghasil CFC, untuk
mau menghentikan produksi CFC-nya dan menggantikannya dengan HFC,HC, dan PFC
yang lebih ramah lingkungan. Hal ini tentu perlu dicontoh oleh pemerintah
Indonesia dalam mengimplemnetasikan Protokol Montreal secara baik meskipun itu
akan mendapatkan tentangan dari para pelaku industri.
Tantangan yang kedua adalah
penurunan HCFCs. Protokol Montreal telah mengingatkan bahwa negara-negara
berkembang harus menghentikan produksi dan konsumsi HFCs-nya pada tahun 2013. Penggunaan
HFCs-biasanya bisa ditemukan sebagai pendingin AC, pelarut, maupun kulkas. HFCs
sangat berbahaya bagi lapisan stratosfer karena sinar ultraviolet akan langsung
memancar ke bumi yang berakibat fatal bagi mahluk hidup yang ada di bumi.
Untuk itu diperlukan sebuah
mekasnisme yang tepat untuk mereduksi HFCs di Indonesia secara berkala. Dalam
mekanisme ini, pemerintah Indonesia mendapatkan bantuan sebesar 13 juta dolar
AS dari Indonesia’s HCFC Phase-out Management Plan untuk periode 2013 dan 2015.
Ke depan, pemerintah Indonesia harus bisa mengatur phase-out HFCs-nya sampai ke
titik terendah agar mendapatkan dana bantuan yang lebih besar lagi.
Ketiga adalah impor ilegal. Pihak
pemerintah harus mengawasi secara ketat terkait dengan kemungkinan adanya impor
ilegal yang dilakukan oleh pihak pelaku industri dan adanya ’main mata’ dengan
oknum instansi pemerintah.
Para broker akan
menggunakan beragam cara untuk melakukan impor ilegal terkait dengan ODS dengan
para pelaku industri yang nakal. Munculnya banyak broker di sektor
industri kaitannya dengan impor barang
ilegal kerap kali terjadi di Indonesia. Tidak hanya ODS, tetapi juga terjadi di
sektor industri perdagangan senjata dan bahkan industri elektronik.
Ketiga tantangan tersebut di
atas harus bisa dilalui oleh pemerintah Indonesia dalam upaya menyukseskan
amanah Protokol Montreal. Untuk itu, dengan spirit ulang tahun Protokol
Montreal kali ini, pemerintah Indonesia harus bisa membuat kebijakan-kebijakan
yang signifikan dalam mengefektifkan pelaksanaan Protokol Montreal sehingga
terbebas dari bencana penipisan lapisan ozon. Walluhu alam bishawab.
[1] Dosen Hubungan Internasional, UGM Yogyakarta.
Sekaligus penulis buku ”Pemanasan Global dan Lubang Ozon: Bencana Masa Depan”.