Suriah di Ambang Kehancuran
Oleh : Fatkurrohman,S.IP,M.Si[1]
Ekskalasi konflik antara
pemerintahan Bassar al-Assad dengan para pemberontak telah masuk ke kondisi yang
sangat memprihatinkan. Tiap hari korban jiwa yang berjatuhan hampir mencapai
40-100 orang. Berdasarkan data yang diperoleh PBB, jumlah korban tewas sejak
revolusi bergulir telah mencapai 10,000 orang.
Jumlah korban akan terus menanjak selama
belum ada langkah-langkah yang efektif untuk menghentikan kekejaman rejim
Assad. Pihak-pihak yang bertikai yakni pihak rejim dan pihak pemberontak mengklaim
diri sebagai pihak yang benar. Pihak Assad menyatakan bahwa pihaknya ingin
menumpas kelompok teroris (pemeberontak) karena dianggap mengganggu stabilitas
negara. Sementara di pihak yang lain, kelompok pemberontak ingin menumbangkan
rejim Assad karena dianggap koruptif dan nepotisme.
Suriah merupakan sebuah negara bekas
koloni Perancis yang mempunyai jumlah penduduk kira-kira 22 juta jiwa. Gerakan
perlawanan terhadap Assad mulai terjadi seiring dengan munculnya Arab Spring
yang melanda Tunisia, Libya, dan Mesir. Setidaknya ada 15 negara yang mengalami
gejolak politik (political turmoil) di Timur Tengah pasca gelombang
protes terhadap pemerintahan Ben Ali yang terjadi di Tunisia 18 Desember 2010.
Salah satu dampak dari revolusi
yang terjadi di Tunisia dua tahun lalu, membuat Suriah berada di titik kritis
yang bisa memicu terjadinya perang saudara. Pertumpahan darah antara rejim
penguasa dengan pihak pemberontak telah membuat banyak kerugian bagi Suriah
tidak hanya merusak tatanan ekonomi domestik, tetapi juga menjadi tempat
pertarungan pengaruh di antara negara-negara besar seperti AS dan Rusia.
AS Terjegal
Meskipun Perang Dingin (Cold War)
antara Uni Soviet (Rusia) dengan AS telah berakhir di penghujung tahun 1989,
tetapi sisa-sisa permusuhan masih tetap tercium hingga saat ini. Hal yang
paling nampak dari kuatnya aroma pertarungan antar keduanya bisa kita lihat di
Suriah. Protes politik (political revolt) yang melanda Suriah hampir
lebih dari satu tahun belum menampakkan tanda-tanda akan berakhirnya gejolak
politik di negara tersebut.
Salah satu hal yang menyebabkan
rejim Assad sulit untuk dijatuhkan oleh AS dan para sekutunya karena Rusia dan
China tidak ingin kecolongan lagi dalam menangkal pengaruh AS di Timur Tengah.
Dalam konteks ini, Rusia dan China telah gagal dalam menahan laju AS di Libya
yang mengakibatkan jatuhnya rejim Khadafi. Invasi AS dan para sekutunya ke
Libya merupakan pukulan telak bagi Rusia dan China di Timur Tengah.
Belajar dari pengalaman Libya,
Rusia dan China tidak akan pernah merekomendasikan Dewan Keamanan PBB untuk
mengeluarkan resolusi militer atas Suriah. Maka tidak mengherankan jika Rusia
dan China telah dua kali melakukan veto atas keinginan AS yang ingin menggunakan
kekuatan militer untuk menyelesaikan masalah Suriah.
Relasi Suriah dengan Rusia dan
China tidak terkait secara langsung dengan masalah minyak yang dimiliki Suriah
karena cadangan minyak Suriah menurut The World Factbook 2011 hanya sekitar
2,500,000,000 (bbl) atau di posisi ke-33 dunia. Cadangan minyak Suriah masih
kalah jauh jika dibandingkan dengan Arab Saudi dan Iran yang berada di posisi
ke-1 dan ke-4 dunia.
“ Kegagalan “ Annan
Enam poin rencana utusan khusus
Liga Arab dan PBB Kofi Annan untuk meredakan kondisi di Suriah belum
terimplementasi secara baik. Salah satu dari poin tersebut adalah perlunya
kedua belah pihak untuk menghentikan kekerasan dan penarikan tentara ke barak.
Hal itu ditunjukkan dengan semakin meningkatnya tingkat kekerasan yang terjadi
antara rejim Assad dengan para pemberontak khususnya di wilayah Homs, al-Haffa,
dan Idlib.
Ketatnya perlawanan dari para
pemberontak terhadap rejim Assad tidak bisa dilepaskan dari pasokan senjata
dari AS dan NATO. Tidak hanya itu, pihak AS juga disinyalir melatih para
pemberontak di Turki. Di pihak yang lain, Iran, China, dan Rusia juga diduga
berada di belakang rejim Assad dalam menyediakan persenjataan militer.
Sikap saling mendukung yang
dilakukan oleh negara-negara di luar Suriah telah sedikit banyak memberikan
kontribusi yang besar bagi instabilitas politik dan keamanan di Suriah. Maka
tidak mengherankan jika korban-korban jiwa tidak berdosa terus berjatuhan. Hal
ini mengakibatkan keprihatinan masyarakat internasional atas terjadinya hal
tersebut di Suriah.
Salah satu bentuk keprihatinan yang
dilakukan oleh masyarakat dunia adalah dengan mengutuk dan menarik perwakilan
diplomatiknya dari Damaskus. Upaya tersebut dilakukan agar pemerintah rejim
Assad mau menghentikan tindakan brutalnya terhadap warga sipil dan suksesi
kepemimpinan di Suriah bisa berjalan dengan baik.
Suksesi kepemimpinan akan terasa
sulit di Suriah jika permintaan pemerintah Suriah dan Rusia tidak direspon oleh
PBB. Permintaan tersebut adalah terkait dengan pentingnya dialog dalam
menyelesaikan masalah internal di Suriah. Pihak-pihak yang sedang berkonflik
harus duduk satu meja dalam menyelesaikan masalah Suriah.
Dialog bagi rejim Assad adalah hal
yang urgen untuk segera dilakukan. Untuk itu pihak Assad mengajak pihak
pemberontak untuk menghentikan tindakan terornya dan mau berdialog dengan
pemerintahannya. Tetapi, pihak AS dan sekutunya lebih menginginkan penggunaan
kekuatan militer daripada dialog. Hal itu bisa dibuktikan dengan fakta bahwa AS
lewat DK PBB beberapa kali mengusulkan opsi invasi ke Suriah tetapi opsi
tersbut kemudian diveto oleh Rusia dan China.
Berpijak dari paparan di atas, kita
bisa menyimpulkan bahwa jika kondisi di Suriah tidak segera dicarikan solusi
efektif, maka kehancuran Suriah tidak akan bisa dielakkan.