Korupsi telah menjadi penyakit yang sangat kronis di negeri ini. Korupsi tidak mengenal usia, jabatan, dan bahkan agama. Korupsi seolah-olah telah mendarah daging dan bahkan menjadi ‘agama’ bagi para aparat birokrasi, legislatif, dan masyarakat umum. Banyak mantan menteri, gubernur, bupati/wali kota, dan anggota dewan yang melakukan korupsi mulai dari ratusan juta sampai miliaran rupiah. Bagi mereka, bertindak korupsi tentunya sangat mudah. Kemudahan tersebut bergaris lurus dengan jabatan strategis yang disandangnya. Dengan jabatanya tersebut, mereka dengan mudah melakukan penyelewengan dana atau melakukan manipulasi dengan menggunakan data-data fiktif yang berorientasi pada memperkaya diri sendiri.
Melihat persoalan korupsi yang sangat akut tersebut KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan berlandaskan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK diberikan kewenangan yang sangat luar biasa dalam penanganan perkara korupsi. Yakni, penyelidikan dan penyidikan seperti kepolisian dan pengajuan tuntutan seperti yang dilakukan oleh kejaksaan. Legitimasi perundangan ini tentunya menjadi ujung tombak bagi KPK untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Hasil konkret dari kerja KPK selama ini adalah keberhasilan KPK dalam memenjarakan para koruptor. Prestasi besar ini juga diimbangi dengan kembalinya uang negara yang mencapai 25,7 milyar. Di tengah-tengah keberhasilan KPK dalam memenjarakan para koruptor dan mengembalikan uang negara dari tangan para koruptor, KPK mendapatkan sorotan negatif dari para anggota dewan dan para pengamat hukum.
Pandangan-pandangan negatif tersebut diantaranya adalah KPK dianggap melakukan tebang pilih karena hanya berani menangkap para koruptor yang jauh dari kekuasaan, sementara yang dekat dengan kekuasaan jauh dari incaran KPK. Pandangan negatif yang lainya adalah KPK dianggap hanya mampu mengembalikan uang negara yang jumlahnya relatif kecil yaitu 25, 7 milyar dibandingkan dengan jumlah uang yang digunakan oleh KPK dalam proses penyelidikan dan penyidikanya yang mencapai 600 milyar.
Di tengah sorotan negatif ini, tentunya akan mempunyai dampak psikologis yang besar bagi KPK. Dampak tersebut adalah KPK terus bekerja menuntaskan kerjanya dalam menangkap para koruptor dengan tanpa menghiraukan pandangan-pandangan negatif tersebut atau kah KPK justru mlempem karenanya.
Menurut pandangan saya, memberantas korupsi adalah sesuatu yang sangat mendesak yang harus dilakukan oleh KPK karena korupsi dalam sejarahnya telah mempunyai daya rusak yang sangat luar biasa bagi pembangunan bangsa Indonesia tiga dekade terakhir ini. Daya rusaknya tersebut bisa kita lihat dalam tiga sektor utama, yaitu sektor politik, ekonomi, dan sektor budaya.
Sektor politik. Meminjam ungkapan Lord Acton, seorang ilmuan politik Inggris, bahwa power tends to corrupt, absolutely power tends to corrupt absolutely. Berangkat dari ungkapan tersebut dinyatakan bahwa kekuasaan cenderung untuk korup, sementara kekuasaan yang absolut cenderung untuk korup secara absolut. Berpijak dari sana, maka kita ketahui bersama bahwa para aparat birokrasi pemerintahan, legislatif adalah para insan politik yang secara relatif mempunyai kans besar untuk melakukan korupsi secara masif.
Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya aparat birokrasi, legislatif yang telah di’hotel prodeo’kan oleh KPK dan aparat penegak korupsi yang lain. Mulai dari para gubernur dan bupati/wali kota yang telah menyalahgunakan dana APBD sampai pada anggota dewan yang me’makan’ dana negara. Selain para koruptor yang sudah dipenjarakan karena penilepan uang negara, KPK dan aparat yang berkecimpung dalam penegakan korupsi juga masih terus melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap para koruptor lain untuk di bawa ke meja pengadilan.
Akibat tindakan para koruptor tersebut ternyata mempunyai dampak politik yang yang sangat besar bagi masyarakat. Dampak politik tersebut terjadi karena para koruptor adalah para aparat birokrasi, dan legislatif yang memegang jabatan politis bagi terciptanya sebuah kebijakan-kebijakan yang besinggungan dengan masyarakat secara umum. Jika para aparat negara dan wakil rakyat hanya berorientasi pada diri sendiri atau kelompoknya maka kebijakan atau perundangan (legislasi) yang diambil adalah kebijakan atau perundangan yang jauh dari mensejahterakan masyarakat. Hal ini tentunya masyarakat akan mendeligetimasi mereka sehingga mengakibatkan tersendatnya proses pembangunan politik (political building) bangsa Indonesia ke depan.
Sektor ekonomi. Berlandaskan pada kesimpulan Kwik Kian Gie, pentolan PDI Perjuangan, dan Prof Dr. Sumitro Joyohadikusumo sebelumnya bahwa telah terjadi kebocoran uang negara sekitar 30-40 % akibat korupsi yang dilakukan oleh aparat birokrasi negara. Besaran angka kebocoran ini tentunya sangat ironis di tengah-tengah kesulitan masyarakat untuk hidup layak.Banyak masyarakat yang terpaksa harus hidup di bawah standar garis kemiskinan karena tindakan para koruptor.
Pandangan yang lebih miris lagi adalah banyak anak yang terpaksa tidak bisa sekolah dan bahkan tidak sedikit warga negara yang melakukan bunuh diri karena sulitnya hidup akhir-akhir ini. Dampak sektor ekonomi dari tindakan koruptor ini sedikit banyak telah memperlambat laju pertumbuhan ekonomi masyarakat untuk bisa hidup berkecukupan dan sejahtera.
Sektor Budaya. Mental korup para aparat birokrasi pemerintahan, anggota dewan, dan masyarakat secara umum seolah-olah telah membudaya sejak lama. Bahkan ironisnya, pasca bergulirnya reformasi pertengahan 1998, mental korup tersebut ternyata tidak hanya di pusat saja, tetapi juga telah mewabah ke daerah-daerah. Fakta ini sekaligus mengantarkan bangsa Indonesia pada kategori negara korup kisaran lima besar menurut versi Transparency International (TI), sebuah lembaga independen yang menyoroti tingkat korupsi suatu negara. Kondisi budaya korup yang akut ini jika tidak ditangani secara serius oleh aparat penegak korupsi maka untuk menjadi bangsa yang anti korupsi adalah sesuatu yang mustahil.
Berpijak dari dampak yang sangat luar biasa bagi sektor politik, ekonomi, dan budaya tersebut maka tindakan KPK dan para aparat penegak hukum yang lain untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya adalah sesuatu yang sangat mendesak karena hanya dengan pembenahan politik, penataan ekonomi, dan perbaikan budaya bangsa Indonesia bisa berharap banyak untuk menjadi bangsa yang maju sekaligus bermartabat.
Melihat persoalan korupsi yang sangat akut tersebut KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan berlandaskan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK diberikan kewenangan yang sangat luar biasa dalam penanganan perkara korupsi. Yakni, penyelidikan dan penyidikan seperti kepolisian dan pengajuan tuntutan seperti yang dilakukan oleh kejaksaan. Legitimasi perundangan ini tentunya menjadi ujung tombak bagi KPK untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Hasil konkret dari kerja KPK selama ini adalah keberhasilan KPK dalam memenjarakan para koruptor. Prestasi besar ini juga diimbangi dengan kembalinya uang negara yang mencapai 25,7 milyar. Di tengah-tengah keberhasilan KPK dalam memenjarakan para koruptor dan mengembalikan uang negara dari tangan para koruptor, KPK mendapatkan sorotan negatif dari para anggota dewan dan para pengamat hukum.
Pandangan-pandangan negatif tersebut diantaranya adalah KPK dianggap melakukan tebang pilih karena hanya berani menangkap para koruptor yang jauh dari kekuasaan, sementara yang dekat dengan kekuasaan jauh dari incaran KPK. Pandangan negatif yang lainya adalah KPK dianggap hanya mampu mengembalikan uang negara yang jumlahnya relatif kecil yaitu 25, 7 milyar dibandingkan dengan jumlah uang yang digunakan oleh KPK dalam proses penyelidikan dan penyidikanya yang mencapai 600 milyar.
Di tengah sorotan negatif ini, tentunya akan mempunyai dampak psikologis yang besar bagi KPK. Dampak tersebut adalah KPK terus bekerja menuntaskan kerjanya dalam menangkap para koruptor dengan tanpa menghiraukan pandangan-pandangan negatif tersebut atau kah KPK justru mlempem karenanya.
Menurut pandangan saya, memberantas korupsi adalah sesuatu yang sangat mendesak yang harus dilakukan oleh KPK karena korupsi dalam sejarahnya telah mempunyai daya rusak yang sangat luar biasa bagi pembangunan bangsa Indonesia tiga dekade terakhir ini. Daya rusaknya tersebut bisa kita lihat dalam tiga sektor utama, yaitu sektor politik, ekonomi, dan sektor budaya.
Sektor politik. Meminjam ungkapan Lord Acton, seorang ilmuan politik Inggris, bahwa power tends to corrupt, absolutely power tends to corrupt absolutely. Berangkat dari ungkapan tersebut dinyatakan bahwa kekuasaan cenderung untuk korup, sementara kekuasaan yang absolut cenderung untuk korup secara absolut. Berpijak dari sana, maka kita ketahui bersama bahwa para aparat birokrasi pemerintahan, legislatif adalah para insan politik yang secara relatif mempunyai kans besar untuk melakukan korupsi secara masif.
Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya aparat birokrasi, legislatif yang telah di’hotel prodeo’kan oleh KPK dan aparat penegak korupsi yang lain. Mulai dari para gubernur dan bupati/wali kota yang telah menyalahgunakan dana APBD sampai pada anggota dewan yang me’makan’ dana negara. Selain para koruptor yang sudah dipenjarakan karena penilepan uang negara, KPK dan aparat yang berkecimpung dalam penegakan korupsi juga masih terus melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap para koruptor lain untuk di bawa ke meja pengadilan.
Akibat tindakan para koruptor tersebut ternyata mempunyai dampak politik yang yang sangat besar bagi masyarakat. Dampak politik tersebut terjadi karena para koruptor adalah para aparat birokrasi, dan legislatif yang memegang jabatan politis bagi terciptanya sebuah kebijakan-kebijakan yang besinggungan dengan masyarakat secara umum. Jika para aparat negara dan wakil rakyat hanya berorientasi pada diri sendiri atau kelompoknya maka kebijakan atau perundangan (legislasi) yang diambil adalah kebijakan atau perundangan yang jauh dari mensejahterakan masyarakat. Hal ini tentunya masyarakat akan mendeligetimasi mereka sehingga mengakibatkan tersendatnya proses pembangunan politik (political building) bangsa Indonesia ke depan.
Sektor ekonomi. Berlandaskan pada kesimpulan Kwik Kian Gie, pentolan PDI Perjuangan, dan Prof Dr. Sumitro Joyohadikusumo sebelumnya bahwa telah terjadi kebocoran uang negara sekitar 30-40 % akibat korupsi yang dilakukan oleh aparat birokrasi negara. Besaran angka kebocoran ini tentunya sangat ironis di tengah-tengah kesulitan masyarakat untuk hidup layak.Banyak masyarakat yang terpaksa harus hidup di bawah standar garis kemiskinan karena tindakan para koruptor.
Pandangan yang lebih miris lagi adalah banyak anak yang terpaksa tidak bisa sekolah dan bahkan tidak sedikit warga negara yang melakukan bunuh diri karena sulitnya hidup akhir-akhir ini. Dampak sektor ekonomi dari tindakan koruptor ini sedikit banyak telah memperlambat laju pertumbuhan ekonomi masyarakat untuk bisa hidup berkecukupan dan sejahtera.
Sektor Budaya. Mental korup para aparat birokrasi pemerintahan, anggota dewan, dan masyarakat secara umum seolah-olah telah membudaya sejak lama. Bahkan ironisnya, pasca bergulirnya reformasi pertengahan 1998, mental korup tersebut ternyata tidak hanya di pusat saja, tetapi juga telah mewabah ke daerah-daerah. Fakta ini sekaligus mengantarkan bangsa Indonesia pada kategori negara korup kisaran lima besar menurut versi Transparency International (TI), sebuah lembaga independen yang menyoroti tingkat korupsi suatu negara. Kondisi budaya korup yang akut ini jika tidak ditangani secara serius oleh aparat penegak korupsi maka untuk menjadi bangsa yang anti korupsi adalah sesuatu yang mustahil.
Berpijak dari dampak yang sangat luar biasa bagi sektor politik, ekonomi, dan budaya tersebut maka tindakan KPK dan para aparat penegak hukum yang lain untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya adalah sesuatu yang sangat mendesak karena hanya dengan pembenahan politik, penataan ekonomi, dan perbaikan budaya bangsa Indonesia bisa berharap banyak untuk menjadi bangsa yang maju sekaligus bermartabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar