Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Kamis, 31 Mei 2012

Merebutkan Golkar

Pemilihan presiden putaran kedua 20 September 2004 sudah ada di depan mata. Para pasangan kandidat calon presiden dan calon wakil presiden yang lolos putaran kedua sudah ditentukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) pada tanggal 26 Juli 2004. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla serta Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi berhak mengantogi tiket untuk terus melaju ke putaran berikutnya.
Untuk memenangkan pertarungan politik ke depan, para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden sudah mulai melakukan lobi-lobi politik untuk mengantarkan mereka menuju kekuasaan RI 1. Banyak cara yang ditempuh oleh para kandidat untuk memuluskan jalanya meniti karpet merah istana, salah satunya adalah melakukan pendekatan untuk berkoalisi dengan partai-partai besar seperti Golkar.

Kemudian yang mejadi pertanyaan kita adalah mengapa para kandidat calon presiden dan calon wakil presiden merebutkan Golkar ?. Pertanyaan ini tentu mengusik hati kita dan sangat menarik untuk kita diskusikan karena partai Golkar adalah merupakan partai politik warisan orde baru yang penuh dengan dosa-dosa politik di masa pemerintahan rezim Soeharto.

Golkar adalah sebuah kekuatan politik (partai politik) yang didirikan oleh Soeharto pada tahun 1966. Partai ini berkembang menjadi alat legitimasi untuk menopang eksistensi rezim orde baru. Menjadi mesin politik kekuasaan otoriter selama kurang lebih tiga dekade orde baru dengan menempatkan partai lain saat itu-PPP (Patai Persatuan Pembangunan) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia) hanya sebagai penggembira kontestan pemilu.

Sedangkan sebenarnya yang terjadi adalah Golkar (Golongan Karya) dihadirkan dalam pentas pertarungan politik dengan lawan-lawan yang sudah dijinakkan dan dibonsai secara terorganisir dan sistematis. Golkar pun menjadi single fighter. Tidak ada lawan yang bisa menjegal dan mengganggu langkah Golkar untuk terus melaju menjadi the winner of competitions.

Mungkin saja, posisi sebagai mesin otoriterisme itu masih mempunyai good will. Bahkan, kemungkinan masih mempunyai usaha sarat moral bahwa dengan bermain tunggal dan selalu dimenangkan, tanpa rival politik yang sebanding, partai beringin akan mudah merealisasikan janji-janji politiknya. Tanpa diganggu oleh kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatis partai-partai rival politiknya.

Permasalahanya, sudah menjadi lumrah, partai yang berkuasa tanpa kontrol, tanpa oposisi yang sepadan, tanpa ada distribusi kekuasaan, selalu mendominasi, dan hegemonik akan sangat mudah tergelincir menjadi begitu mudah ingkar janji. Seandainya dengan model pemerintahan otoriter hegemoik masih mempunyai niat baik, maka niat baik itu pun perlu dikaji kembali dan diragukan dapat diwujudkan karena janji politik mustahil dapat direalisasikan sendirian.

Celakanya, di satu pihak Golkar terus saja memikul beban sendirian harapan masyarakat Indonesia yang sangat berat. Sedangkan di pihak lain tahun demi tahun selama tiga dekade berkuasa, semakin sarat orang yang menggelantungkan tanganya hanya kepada partai berlambang pohon beringin ini.

Saat ambruk pun tinggal menunggu waktu. Pada tanggal 21 Mei 1998, bersamaan dengan lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaanya, partai Golkar mengalami krisis moral (demoralisasi) dan krisis legitimasi (delegitimasi) yang luar biasa. Puncaknya terjadi pada pemilu yang digelar pada awal era reformasi yang merupakan pemilu pertama kali yang relatif demokratis dan jujur tahun 1999. Golkar yang pertama kalinya dalam sejarah konstelasi perpolitikan nasional kalah dalam pemilu. Hanya menjadi pemenang kedua pemilu.
Tetapi, Golkar sudah terlanjur memiliki akar-akar serta jaringan politik yang amat kuat dalam politik di negeri ini. Akar-akarnya bahkan menembus sampai ke pelosok-pelosok desa di seluruh Indonesia. Manakala partai ini tak lagi ada dalam puncak tampuk kekuasaan seperti pada masa lalu serta ketika kekuasaan partai saat ini tak mungkin tunggal seperti masa orde baru karena sistem multipartai (banyak partai) hampir memustahilkan ada pemenang mayoritas pemilu. Justru ia memperoleh reposisi politik yang sangat diperhitungkan dalam kancah perpolitikan saat ini.

Elite politik rival politiknya boleh mengecam habis-habisan dan bahkan melontarkan kata-kata yang memojokkan partai Golkar yang sarat dengan KKN tetapi pada saat yang hampir bersamaan, ketika partai-partai ingin mencalonkan kadernya dalam perebutan posisi dan jabatan-jabatan politik, mereka justru membutuhkan Golkar sebagai tandem dan sekaligus ujung tombak untuk memenangkan partainya.

Kecenderungan seperti itu sangat mencolok terjadi pasca pemilihan presiden putaran pertama (the first round) saat ini. Ketika dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang lolos ke putaran kedua 20 September nanti, tidak ada satu pun calon yang dijagokan oleh Golkar. Suka atau tidak, saat ini partai berlambang pohon beringin itu menjadi rebutan para kandidat calon pesiden dan wakil presiden yang lolos seleksi untuk ditarik menjadi ujung tombak yang dalam terminologi politik disebut sebagai ‘pekawinan politik’ atau koalisi.

Pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, misalnya, merapatkan diri ke partai Golkar melalui jalur ketua umum Golkar yaitu Akbar Tandjung. Sementara pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla tanpa lelah dan putus asa terus berusaha menarik Golkar melalui jalur kader per kadernya di tingkat pimpinan pusat dan sejumlah pimpinan daerah.

Golkar ditarik ke sana ke mari. Maksudnya kurang lebih serupa; ingin mendapatkan dukungan besar dari partai yang mempunyai wakil terbesar kedua di parlemen tersebut. Dan tentuya, Golkar akan menjadi energi baru bagi siapa saja dari para calon presiden dan calon waki presiden untuk memenangkan putaran kedua (the second round) pada tanggal 20 September 2004 dan mengantarkan mereka menuju tampuk kekuasaan RI 1.







Tidak ada komentar: