Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Kamis, 31 Mei 2012

Politik Olimpiade Beijing

Tanggal 8 Agustus 2008 merupakan tanggal yang bersejarah bagi Cina. Pada tanggal tersebut Cina menghelat ajang empat tahunan, Olimpiade, yang dikemas secara spektakuler. Untuk itu, pemerintah Cina telah menganggarkan dana kurang lebih 641 triliun rupiah demi berjalannya acara tersebut. Selain itu, persiapan selama tujuh tahun yang dilakukan oleh Cina juga menjadi hal penting yang mengiringi suksesnya acara pembukaan Olimpiade.

Kesuksesan pembukaan Olimpiade Beijing setidaknya telah menumbuhkan ekonomi Cina. Hal itu dibuktikan dengan masuknya investasi asing ke Cina yang mencapai 2.567 triliun rupiah. Dari catatan investasi asing tersebut, Cina telah mendapatkan keuntungan sebesar 18.336 triliun rupiah. Pendapatan yang sangat fantastis ini tentunya akan mengantarkan Cina selain sukses membangun citra kesusksesan Olimpiade, juga sukses dalam meningkatkan perekonomian.

Fakta lain yang lepas dari sorotan kita adalah legitimasi politik yang terkandung dalam perhelatan Olimpiade Beijing. Kemudian yang menjadi pertanyaanya adalah bagaimana Beijing memanfaatkan arena Olimpiade sebagai sebuah kekuatan untuk kepentingan politik?. Pertanyaan ini sangat penting karena saat ini Beijing sedang gencar mencari legitimasi politik dunia di tengah munculnya sikap anti-Cina.

Olimpiade Beijing yang dibuka di Stadion Nasional Beijing yang juga disebut Sarang Burung (Bird’s Nest) rencananya akan berlangsung selama 16 hari, yakni mulai tanggal 8 sampai dengan tanggal 24 Agustus 2008. Olimpiade Beijing kali ini tidak hanya menghadirkan adu cepat, adu tinggi, dan adu kuat (citius, altius, fortius) antaratlet seluruh dunia, tetapi juga pertunjukkan sebagai sebuah negara ketiga di Asia setelah Korea selatan dan Jepang yang sukses menyelenggarakan Olimpiade.

Olimpiade Beijing telah dihadiri oleh 80 kepala negara. Mulai dari Presiden Amerika Serikat George W. Bush hingga Presiden Timor Leste Ramos Horta. Kehadiran para kepala negara tersebut tentunya memiliki keuntungan tersendiri bagi Beijing. Salah satu bentuk keutunganya adalah adanya legitimasi politik yang diberikan oleh para kepala negara tersebut ke Cina.

Legitimasi politik yang diberikan oleh para kepala negara tersebut sangat berarti bagi Cina di tengah gelombang aksi protes anti-Cina. Aksi anti-Cina jika kita telusuri lebih jauh adalah persoalan Taiwan yang mencoba memisahkan diri dengan Cina sampai dengan persoalan HAM (Hak Asasi Manusia) di Tibet yang menerpa Cina menjelang dihelatnya Olimpiade.

Persoalan kemerdekaan Taiwan telah menghiasi perjalanan Cina selama enam dekade. Perang saudara antara Partai Komunis dengan Partai Koumintang (KMT) pada tahun 1949, telah mengakibatkan KMT yang dipimpin Chiang Kai-Shek lari menuju Pulau Formusa (Taiwan). Berangkat dari sejarah tersebut hubungan antara Taiwan dan Cina sering mengalami pasang surut.

Keinginan Taiwan yang ingin memerdekan diri dari Cina telah membuat pemerintah Cina harus membuat instrumen politik yang berguna untuk mendelegitimasi upaya kemerdekaan Taiwan tersebut. Upaya instrumen politik yang dibuat oleh Cina adalah dengan mengeluarkan kebijakan One China Policy (Kebijakan Satu Cina). Kebijakan tersebut diharapkan mampu meredam keinginan Taiwan untuk merdeka dan menarik dukungan internasional terhadap Kebijakan Satu Cina tersebut.

Untuk mengefektifkan One China Policy, pemerintah Cina mencoba membangun hubungan yang baik dengan negara-negara di kawasan Asia dan bahkan di luar Asia. Salah satu negara yang mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mengukuhkan kebijakan One China Policy adalah Amerika Serikat. Pihak AS selalu memainkan kartu Taiwan dan HAM Cina ketika kepentingan nasionalnya terganggu dengan keberhasilan Cina. Hal ini bisa dilihat ketika Cina yang memiliki anggaran militer 520 triliun (2008) dianggap AS sebagai hal yang berbahaya bagi stabilitas politik dan keamanan di Asia.

Hal yang sama juga dimainkan oleh AS adalah persoalan Tibet. Tibet merupakan wilayah otonomi khusus di bawah kendali Cina. Kekerasan disinyalir kerap terjadi di wilayah Tibet. Akumulasi dari kekerasan yang melanggar hak asasi manusia terjadi dua bulan sebelum dilaksanakan Olimpiade. Sehingga Cina mendapatkan beragam kecaman dari negara-negara dunia internasional. Salah satu negara yang mengecam adalah Amerika Serikat.

Kecaman-kecaman yang datang ke Cina ditanggapi secara serius oleh pihak pemerintah Beijing. Salah satu langkah strategis yang diambil oleh Cina adalah dengan melakukan diplomasi dengan negara-negara yang bersangkutan dan menyakinkan bahwa Cina tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Tibet. Sikap yang ditunjukkan pemerintah Cina hanya ingin mengondisikan Tibet tetap dalam pangkuan Cina.
Keinginan Taiwan dan Tibet untuk memerdekan diri adalah isu yang sangat sensitif bagi pemerintah Cina. Untuk itu, Beijing mengerahkan seluruh kekuatan nasionalnya untuk meredam keinginan dua wilayah tersebut. Salah satu langkah untuk mencari dukungan legitimasi politik dari negara-negara dunia adalah dengan menampilkan kekuatan ekonomi yang dibingkai dengan pembukaan Olimpiade yang dikemas secara kolosal dan spektakuler.

Pembukaan Olimpiade Beijing yang diekspos oleh media cetak dan disiarkan oleh televisi-televisi internasional dengan jumlah pemirsa yang mencapai 5 milyar menjadikan ajang ini sebagai arena yang sangat cocok untuk menampilkan yang terbaik bagi pembangunan legitimasi politik.
Kehadiran 80 kepala negara khusunya George W. Bush dalam acara pembukaan Olimpiade Beijing dan ekspos yang luar biasa dari media akan menjadi keuntungan tersendiri bagi Cina untuk mengukuhkan kekuatan politiknya di panggung internasional sebagai sebuah entitas negara yang bisa meredam upaya Taiwan dan Tibet untuk merdeka.