Perhelatan internasional yang membicarakan tentang pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) masih berlangsung di Nusa Dua, Bali, Indonesia. Para delegasi dari berbagai negara anggota UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) telah hadir guna mengikuti COP (The Conference of the Parties) Ke-13 yang membahas fenomena pemanasan global dan perubahan iklim yang telah mengancam makhluk hidup di bumi ini.
Indonesia merupakan salah satu di antara 189 negara anggota UNFCCC yang sangat penting dalam meminimalisasi meningkatnya pemanasan global dan perubahan iklim. Sebab, Indonesia memiliki ribuan hektare hutan yang mampu menyerap CO2 (karbondioksida) sebagai zat utama penyebab terjadinya global warming and climate change. Sebagai negara yang mempunyai peran signifikan sebagai the defender of the earth, Indonesia akan banyak diharapkan oleh negara-negara maju untuk menjaga dan melindungi hutannya.
Selain hal tersebut, ada hal lain yang sangat signifikan tapi sedikit lepas dari pengamatan kita di tengah-tengah maraknya orang-orang berdiskusi mengenai ancaman pemanasan global dan perubahan iklim, yakni mengenai keuntungan besar Indonesia sebagai tuan rumah COP Ke-13 di Bali. Pertanyaannya adalah, keuntungan apa saja yang diperoleh Indonesia dengan diselenggarakannya COP Ke-13 di Bali?
Pertanyaan itu sangat menarik untuk didiskusikan, mengingat saat ini para anggota UNFCCC tengah membahas masalah mengenai emisi CO2 serta pencegahannya di Bali, porvinsi yang pernah terkoyak oleh peristiwa ledakan bom pada 2002.Menurut saya, ada beberapa keuntungan mendasar yang diperoleh Indonesia dengan berlangsungnya COP Ke-13 UNFCCC di Nusa Dua, Bali. Keuntungan tersebut saya bagi menjadi dua kategori besar, yakni keuntungan secara ekonomi dan keuntungan secara politik.
Untuk keuntungan ekonomi, pertama, meraup devisa miliaran rupiah. Tamu undangan dari banyak negara yang jumlanya ratusan bahkan ribuan orang, secara langsung telah memberikan keuntungan devisa tersendiri bagi pemerintah Indonesia.Banyaknya kunjungan dari para wakil negara anggota pertemuan internasional tersebut, masih ditambah dengan kehadiran perwakilan NGO (Non-Government Organization) dari seluruh dunia yang concern terhadap persoalan lingkungan, khususnya pemanasan global. Fakta itu juga sekaligus bisa dimanfaatkan oleh Indonesia, khususnya Pemerintah Provinsi Bali, untuk mengembalikan citra pulau tersebut sebagai kota wisata setelah sempat tercoreng oleh peristiwa "teror bom" 2002. Jika upaya rebranding tersebut berhasil, maka peluang memperoleh keuntungan devisa sudah berada di depan mata.
Kedua, menghidupkan usaha kecil dan menengah (UKM). Dengan diselenggarakanya pertemuan lingkungan internasional tersebut, secara langsung telah menggerakkan sektor ekonomi kecil dan menengah di Bali. Usaha kecil dan menengah meliputi penjual merchandise, barang-barang kerajinan, serta benda-benda antik khas yang dijajakkan oleh warga Bali.
Ketiga, wisata Bali. Kota Denpasar dan sekitarnya memiliki banyak tempat wisata yang menjadi tempat jujukan para wisatawan, baik mancanegara maupun domestik, baik yang berupa keindahan panorama pantai maupun situs peninggalan sejarah.
Di tengah padatnya agenda para anggota UNFCCC membahas persoalan standar emisi CO2 dan upaya penyerapan karbon yang harus dilakukan oleh negara berkembang lewat mekanisme clean development mechanism (CDM), tentunya para tamu setelah selesainya konferensi internasional tersebut membutuhkan tempat wisata untuk sekadar rehat dari kesibukan sebelumnya yang sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran.
Fakta itu juga sekaligus bisa dimanfaatkan oleh Indonesia, khususnya Pemerintah Provinsi Bali, untuk mengembalikan citra pulau tersebut sebagai kota wisata setelah sempat tercoreng oleh peristiwa "teror bom" 2002. Jika Pemprov Bali bisa memanfaatkan momen tersebut secara baik dengan membuka akses wisata sebesar-sebesarnya, maka keuntungan ekonomi akan diperoleh dengan mudah.
Legitimasi Internasional
Untuk keuntungan politik, tidak hanya bersinggungan dengan persoalan pengalokasian nilai-nilai secara autoritatif (authoritative allocation of values) seperti yang dikemukakan oleh David Easton, tetapi juga akan berbicara tentang who gets what, when, and how (siapa mendapatkan apa, kapan, dan di mana).
Konsep politik yang dikemukakan oleh Harold D Lasswell itu sangat terkenal dalam kancah literatur ilmu politik. Jika ditarik lebih jauh kosep itu ke pembahasan mengenai keuntungan politik atas diselenggarakanya pertemuan UNFCCC di Bali, maka jawabanya adalah adanya legitimasi internasional yang diperoleh Indonesia sebagai pihak penyelenggara COP Ke-13.
Keberhasilan Indonesia mendapatkan legitimasi internasional, tentunya harus dijaga secara baik. Maksudnya, Indonesia harus betul-betul memastikan acara pertemuan tingkat internasional tersebut bisa berjalan awal sampai akhir tanpa gangguan.
Selain itu, Indonesia sebagai tuan rumah harus bisa memainkan peran kunci (key role) mengenai dana adaptasi, transfer teknologi, kerangka pasca-2012, dan REDD (reducing emission from deforestasion in developing countries).
Keempat hal tersebut tentunya sangat berarti bagi Indonesia. Dana adaptasi merupakan dana insentif yang diberikan negara maju ke negara berkembang; sementara transfer teknologi adalah berkaitan dengan transfer teknologi untuk mengurangi emisi CO2 di negara berkembang.Untuk membuat terobosan yang lebih berani adalah Indonesia harus bisa menegosiasikan kerangka pasca-2012 lebih dari 5,2% dalam pengendalian emisi CO2 di negara maju. Untuk REDD, yang merupakan dana pelestarian hutan di negara berkemabang, Indonesia telah mendaptakan 25 juta Euro dari Jerman dan 30 juta dolar Australia.
Keuntungan secara ekonomi itu harus mampu memberikan nilai positif bagi motor pembangunan ekonomi, khususnya di Bali. Sementara itu untuk keuntungan politik berupa legitimasi internasional, diharapkan bisa membangun branding Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya, yang dicitrakan sebagai negara yang tidak aman karena maraknya terorisme.
Indonesia merupakan salah satu di antara 189 negara anggota UNFCCC yang sangat penting dalam meminimalisasi meningkatnya pemanasan global dan perubahan iklim. Sebab, Indonesia memiliki ribuan hektare hutan yang mampu menyerap CO2 (karbondioksida) sebagai zat utama penyebab terjadinya global warming and climate change. Sebagai negara yang mempunyai peran signifikan sebagai the defender of the earth, Indonesia akan banyak diharapkan oleh negara-negara maju untuk menjaga dan melindungi hutannya.
Selain hal tersebut, ada hal lain yang sangat signifikan tapi sedikit lepas dari pengamatan kita di tengah-tengah maraknya orang-orang berdiskusi mengenai ancaman pemanasan global dan perubahan iklim, yakni mengenai keuntungan besar Indonesia sebagai tuan rumah COP Ke-13 di Bali. Pertanyaannya adalah, keuntungan apa saja yang diperoleh Indonesia dengan diselenggarakannya COP Ke-13 di Bali?
Pertanyaan itu sangat menarik untuk didiskusikan, mengingat saat ini para anggota UNFCCC tengah membahas masalah mengenai emisi CO2 serta pencegahannya di Bali, porvinsi yang pernah terkoyak oleh peristiwa ledakan bom pada 2002.Menurut saya, ada beberapa keuntungan mendasar yang diperoleh Indonesia dengan berlangsungnya COP Ke-13 UNFCCC di Nusa Dua, Bali. Keuntungan tersebut saya bagi menjadi dua kategori besar, yakni keuntungan secara ekonomi dan keuntungan secara politik.
Untuk keuntungan ekonomi, pertama, meraup devisa miliaran rupiah. Tamu undangan dari banyak negara yang jumlanya ratusan bahkan ribuan orang, secara langsung telah memberikan keuntungan devisa tersendiri bagi pemerintah Indonesia.Banyaknya kunjungan dari para wakil negara anggota pertemuan internasional tersebut, masih ditambah dengan kehadiran perwakilan NGO (Non-Government Organization) dari seluruh dunia yang concern terhadap persoalan lingkungan, khususnya pemanasan global. Fakta itu juga sekaligus bisa dimanfaatkan oleh Indonesia, khususnya Pemerintah Provinsi Bali, untuk mengembalikan citra pulau tersebut sebagai kota wisata setelah sempat tercoreng oleh peristiwa "teror bom" 2002. Jika upaya rebranding tersebut berhasil, maka peluang memperoleh keuntungan devisa sudah berada di depan mata.
Kedua, menghidupkan usaha kecil dan menengah (UKM). Dengan diselenggarakanya pertemuan lingkungan internasional tersebut, secara langsung telah menggerakkan sektor ekonomi kecil dan menengah di Bali. Usaha kecil dan menengah meliputi penjual merchandise, barang-barang kerajinan, serta benda-benda antik khas yang dijajakkan oleh warga Bali.
Ketiga, wisata Bali. Kota Denpasar dan sekitarnya memiliki banyak tempat wisata yang menjadi tempat jujukan para wisatawan, baik mancanegara maupun domestik, baik yang berupa keindahan panorama pantai maupun situs peninggalan sejarah.
Di tengah padatnya agenda para anggota UNFCCC membahas persoalan standar emisi CO2 dan upaya penyerapan karbon yang harus dilakukan oleh negara berkembang lewat mekanisme clean development mechanism (CDM), tentunya para tamu setelah selesainya konferensi internasional tersebut membutuhkan tempat wisata untuk sekadar rehat dari kesibukan sebelumnya yang sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran.
Fakta itu juga sekaligus bisa dimanfaatkan oleh Indonesia, khususnya Pemerintah Provinsi Bali, untuk mengembalikan citra pulau tersebut sebagai kota wisata setelah sempat tercoreng oleh peristiwa "teror bom" 2002. Jika Pemprov Bali bisa memanfaatkan momen tersebut secara baik dengan membuka akses wisata sebesar-sebesarnya, maka keuntungan ekonomi akan diperoleh dengan mudah.
Legitimasi Internasional
Untuk keuntungan politik, tidak hanya bersinggungan dengan persoalan pengalokasian nilai-nilai secara autoritatif (authoritative allocation of values) seperti yang dikemukakan oleh David Easton, tetapi juga akan berbicara tentang who gets what, when, and how (siapa mendapatkan apa, kapan, dan di mana).
Konsep politik yang dikemukakan oleh Harold D Lasswell itu sangat terkenal dalam kancah literatur ilmu politik. Jika ditarik lebih jauh kosep itu ke pembahasan mengenai keuntungan politik atas diselenggarakanya pertemuan UNFCCC di Bali, maka jawabanya adalah adanya legitimasi internasional yang diperoleh Indonesia sebagai pihak penyelenggara COP Ke-13.
Keberhasilan Indonesia mendapatkan legitimasi internasional, tentunya harus dijaga secara baik. Maksudnya, Indonesia harus betul-betul memastikan acara pertemuan tingkat internasional tersebut bisa berjalan awal sampai akhir tanpa gangguan.
Selain itu, Indonesia sebagai tuan rumah harus bisa memainkan peran kunci (key role) mengenai dana adaptasi, transfer teknologi, kerangka pasca-2012, dan REDD (reducing emission from deforestasion in developing countries).
Keempat hal tersebut tentunya sangat berarti bagi Indonesia. Dana adaptasi merupakan dana insentif yang diberikan negara maju ke negara berkembang; sementara transfer teknologi adalah berkaitan dengan transfer teknologi untuk mengurangi emisi CO2 di negara berkembang.Untuk membuat terobosan yang lebih berani adalah Indonesia harus bisa menegosiasikan kerangka pasca-2012 lebih dari 5,2% dalam pengendalian emisi CO2 di negara maju. Untuk REDD, yang merupakan dana pelestarian hutan di negara berkemabang, Indonesia telah mendaptakan 25 juta Euro dari Jerman dan 30 juta dolar Australia.
Keuntungan secara ekonomi itu harus mampu memberikan nilai positif bagi motor pembangunan ekonomi, khususnya di Bali. Sementara itu untuk keuntungan politik berupa legitimasi internasional, diharapkan bisa membangun branding Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya, yang dicitrakan sebagai negara yang tidak aman karena maraknya terorisme.