Gelombang protes telah mengalir deras ke arah
wajah pemerintah Demak yang dianggap lamban dalam menyelesaikan pembangunan
pasar Bintoro pasca terbakarnya pasar tersebut pada tahun 2006. Protes yang
masih fresh terjadi di penghujung
bulan Maret yang melibatkan puluhan orang terkait belum adanya kepastian yang
jelas terkait kapan para pedagang harus menempati kios-kiosnya.
Protes keras tidak hanya kali ini saja, tetapi
juga pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan oleh sekelompok
masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Peduli Demak
(AMP2D) yang menginginkan diusutnya adanya dugaan kasus korupsi sebesar 400
juta yang mengiringi proses pembangunan pasar.
Hal yang sangat penting terkait nasib pasar
Bintoro adalah pemerintah Demak harus membuat langkah-langkah strategis dalam
meresopon kegundahan para pedagang yang hampir enam tahun keleleran di pinggir-pinggir jalan dengan kondisi sanitasi yang
memprihatinkan. Hal ini sangat penting untuk menjaga relasi yang harmonis antara
pemerintah dengan para pedagang.
Kegundahan para pedagang pasar Bintoro bisa
dipahami karena dua faktor penting. Pertama adalah proses pembangunan.
Perjalanan pembangunan pasar yang memakan waktu hampir enam tahun merupakan
waktu yang sangat lama karena para pedagang perlu hidup layak pasca harta dan
daganganya ludes akibat kebakaran. Maka tidak mengherankan jika pihak pedagang
selalu menagih janji pemerintah Demak untuk secepatnya mengijinkan mereka
menempati kios-kios yang sudah ditentukan.
Friksi-friksi antara pihak pedagang dengan pemerintah
Demak tidak akan terjadi jika ada komunikasi intensif antara kedua belah pihak.
Hal ini tentu menjadi tanggung jawab penuh pihak pemerintah Demak selaku
regulator untuk aktif melakukan sosialisasi ke para pedagang jika ada hal-hal
yang harus diketahui para pedagang terkait kapan kios-kios bisa ditempati.
Salah satu hal yang mungkin harus dikomunikasikan lagi terkait hal tersebut
adalah adanya perubahan jadwal penempatan kios akibat meninggalnya Tafta Zani beberapa
bulan yang lalu.
Dalam konteks ini, pihak Kepala Bidang (Kabid)
Pasar Bintoro harus mengambil peran aktif dalam memberikan informai ke para
pedagang terkait jadwal penempatan kios-kiosnya serta regulasi apa yang harus
dipatuhi oleh para pedagang terkait rencana pemerintah Demak untuk mendesain
pasar Demak bernuansa islami yang akan menutup pasar Bintoro di kala waktu
sholat dzuhur tiba.
Faktor yang kedua adalah persoalan korupsi.
Adanya kejanggalan terkait proses pembangunan pasar yang mencapai ratusan juta harus
diusut tuntas. Hal ini harus menjadi agenda utama Kejaksaan Negeri Demak untuk
membuktikan bahwa pihak kejaksaan memiliki good
will dalam penegakan hukum (law
enforcement).
Sikap tegas atas tindakan koruptif akan menjadi
stimulan bagi proses pembangunan ekonomi serta akan menjadi magnet bagi para
investor untuk menanamkan modalnya di Demak. Untuk itu, diperlukan upaya keras
dalam mendorong perlunya akuntabilitas publik dalam setiap diskresi agar tidak
ada monopoli kekuasaan yang cenderung untuk koruptif (Robert Klitgaard,1998).
Komunikasi dua arah antara pihak pemerintah
Demak dengan para pedagang harus terus dibangun terkait kapan pasar Bintoro
bisa ditempati agar nasib para pedagang tidak terkatung-katung. Hal ini
mengingat sudah banyak para pedagang yang terjerat hutang dan tidak sedikit
yang terserang penyakit dan bahkan meninggal dunia akibat jeleknya sanitasi
lingkungan. Selain itu,penyelesaian kasus korupsi harus segera dituntaskan agar
terwujud good and clean governance
demi terciptanya kota Demak yang sejahtera. (local issue/intermezzo).