Tensi politik domestik Mesir
semakin memanas menjelang pemilu presiden yang akan dilaksanakan tanggal 23-24
Mei. Puluhan ribu demonstran dari beragam partai politik dan kelompok kepentingan
telah memenuhi Tahrir Square untuk
memprotes pencoretan tiga kandidat dari daftar calon presiden. Tiga kandidat
tersebut adalah Omar Suleiman (mata-mata era Mubarak), Khairat al-Shater
(Ikhwanul Muslimin), dan Hazem Abu Ismail (Salafi).
Ketiga kandidat tersebut merupakan
bagian dari sepuluh kandidat yang telah didiskualifikasi oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Mesir karena dianggap tidak memenuhi syarat (ineligible). Hal ini mengakibatkan para pendukung dari ketiga
kandidat menjadi marah dan berupaya menentang keputusan yang dianggap kontroversial
tersebut.
Fenomena munculnya gelombang protes
terjadi karena pihak KPU tidak menjelaskan secara detil terkait pencoretan
ketiga kandidat di tengah meroketnya popularitas mereka. Ketua KPU, Farouk
Sultan, hanya menjelaskan bahwa kandidat yang terelimininasi diberi waktu 48
jam untuk melakukan banding. Merespon hal tersebut, kemudian Ikhwanul Muslimin
mengganti Shater dengan Mohamed Moursi yang popularitasnya di bawah Shater.
Setelah Mubarak terjungkal dari
kekuasaannya setahun yang lalu, Mesir mencoba bangkit dengan semangat baru yang
mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan melepaskan cara-cara represif dalam
tata kelola pemerintahan. Untuk itu, diperlukan
sebuah sistem yang kuat dalam mengawal demokrasi agar tidak mengalami gangguan
yang berarti di tengah jalan.
Fondasi pertama yang dibangun oleh
pemerintah Mesir terkait penataan kembali di lini politik adalah dengan
menyelenggarakan pemilu parlemen yang telah digelar di pertengahan Januari 2012
yang mengukuhkan kemenangan Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), Ikhwanul
Muslimin, dari partai-partai yang lain dengan 47,18 persen atau sekitar 235
kursi dari total 498 kursi yang ada di parlemen.
Pelaksanaan pemilu parlemen yang
relatif sukses harus bisa menjadi acuan dalam penyelenggaran pemilu presiden
satu bulan yang akan datang. Tetapi, melihat apa yang terjadi dalam proses
penyeleksian kandidiat presiden, nampaknya perjalanan pemilu presiden (pilpres)
tidak mudah dan akan menemukan banyak batu sandungan. Salah satu masalahnya
adalah transparansi seleksi kandidat presiden.
Transparansi menjadi hal yang
sangat urgent dalam lembaga publik khususnya
terkait lembaga penyelenggara pemilu. Jika transparansi diabaikan maka akan
menimbulkan kecurigaan tertentu bahwa KPU tidak independen. Ada kemungkinan ada
calon-calon tertentu yang didukung oleh KPU sehingga harus mengabaikan spirit
objektivitas. Kondisi ini tentu akan membahayakan legitimasi lembaga yang akan
mengarah pada sengketa pemilu dan berhilir pada political chaos di ranah horisontal.
Ada beragam kepentingan yang
dibangun pihak KPU yang saat ini dikontrol oleh militer. Salah satu dari motif
tersebut adalah untuk mengganjal kelompok Islam untuk memegang jabatan presiden
di Mesir. Ikhwanul Muslimin dan kelompok Salafi merupakan dua kelompok yang mendominasi
di pemilu parlemen. Pihak-pihak yang pro dengan rejim Mubarak tidak ingin kedua
kelompok tersebut menguasai Mesir dan melakukan balas dendam terkait tindakan
represi militer yang pernah mereka alami di era Mubarak. Tercoretnya Suleiman
yang merupakan mantan mata-mata dan pengganti Mubarak sebelum lengser keprabon adalah hanya dalih untuk
menutupi praktek-praktek penjegalan terhadap Ikhwanul Muslimin dan Salafi.
Penerimaan pemerintahan baru dalam
masa transisi memang agak sulit dilakukan bagi kelompok-kelompok yang telah
memegang kekuasaan sekian lama. Hal seperti itu tidak hanya terjadi di Mesir,
tetapi juga terjadi di negara-negara seperti Thailand, Pakistan, dan bahkan
Indonesia. Untuk itu, dalam konteks ini, militer Mesir harus benar-benar legowo untuk menyerahkan kekuasaan ke
sipil pasca digelarnya pemilu nanti.
Meminjam istilah Eric Nordlinger,
milter sebaiknya menempatkan diri sebagai guardian
regime dan tidak masuk dalam kategori ruler
regime. Kategori yang pertama, militer lebih menempatkan diri sebagai
fasilitator dalam penyelenggaraan pemilu kemudian kekuasaan diserahkan ke
sipil. Sementara tipe yang kedua, militer mengambil kekuasaan secara paksa
(kudeta) dan membangun pemerintahan yang militeristik.
Untuk itu, sebagai penyelenggara
pemilu, militer (supreme council of the
armed forces) harus menjaga kredibiltas kelembagaan agar tetap berjalan on the track sesuai dengan harapan
masyarakat dan membawa Mesir jauh legih baik daripada era-era sebelumnya.
Tetapi, jika militer bermain di dua kaki, yakni militer menjagokan calon
tertentu dan membuat kecurangan atas lawan politiknya, maka hal ini akan
menjadi bumerang bagi terwujudnya pemilu yang free and fair.
Berpijak dari analisa di atas, maka
spirit transparansi seleksi kandidat serta semangat free and fair adalah hal yang wajib dilakukan oleh KPU Mesir agar
tidak terjadi gejolak pasca terselenggaranya pemilu dan tercipta Mesir ke depan
yang lebih baik.