Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Kamis, 31 Mei 2012

Gejolak Pilpres Mesir


Tensi politik domestik Mesir semakin memanas menjelang pemilu presiden yang akan dilaksanakan tanggal 23-24 Mei. Puluhan ribu demonstran dari beragam partai politik dan kelompok kepentingan telah memenuhi Tahrir Square untuk memprotes pencoretan tiga kandidat dari daftar calon presiden. Tiga kandidat tersebut adalah Omar Suleiman (mata-mata era Mubarak), Khairat al-Shater (Ikhwanul Muslimin), dan Hazem Abu Ismail (Salafi).
Ketiga kandidat tersebut merupakan bagian dari sepuluh kandidat yang telah didiskualifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mesir karena dianggap tidak memenuhi syarat (ineligible). Hal ini mengakibatkan para pendukung dari ketiga kandidat menjadi marah dan berupaya menentang keputusan yang dianggap kontroversial tersebut.
Fenomena munculnya gelombang protes terjadi karena pihak KPU tidak menjelaskan secara detil terkait pencoretan ketiga kandidat di tengah meroketnya popularitas mereka. Ketua KPU, Farouk Sultan, hanya menjelaskan bahwa kandidat yang terelimininasi diberi waktu 48 jam untuk melakukan banding. Merespon hal tersebut, kemudian Ikhwanul Muslimin mengganti Shater dengan Mohamed Moursi yang popularitasnya di bawah Shater.
Setelah Mubarak terjungkal dari kekuasaannya setahun yang lalu, Mesir mencoba bangkit dengan semangat baru yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan melepaskan cara-cara represif dalam tata kelola pemerintahan. Untuk itu,  diperlukan sebuah sistem yang kuat dalam mengawal demokrasi agar tidak mengalami gangguan yang berarti di tengah jalan.
Fondasi pertama yang dibangun oleh pemerintah Mesir terkait penataan kembali di lini politik adalah dengan menyelenggarakan pemilu parlemen yang telah digelar di pertengahan Januari 2012 yang mengukuhkan kemenangan Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), Ikhwanul Muslimin, dari partai-partai yang lain dengan 47,18 persen atau sekitar 235 kursi dari total 498 kursi yang ada di parlemen.
Pelaksanaan pemilu parlemen yang relatif sukses harus bisa menjadi acuan dalam penyelenggaran pemilu presiden satu bulan yang akan datang. Tetapi, melihat apa yang terjadi dalam proses penyeleksian kandidiat presiden, nampaknya perjalanan pemilu presiden (pilpres) tidak mudah dan akan menemukan banyak batu sandungan. Salah satu masalahnya adalah transparansi seleksi kandidat presiden.
Transparansi menjadi hal yang sangat urgent dalam lembaga publik khususnya terkait lembaga penyelenggara pemilu. Jika transparansi diabaikan maka akan menimbulkan kecurigaan tertentu bahwa KPU tidak independen. Ada kemungkinan ada calon-calon tertentu yang didukung oleh KPU sehingga harus mengabaikan spirit objektivitas. Kondisi ini tentu akan membahayakan legitimasi lembaga yang akan mengarah pada sengketa pemilu dan berhilir pada political chaos di ranah horisontal.
Ada beragam kepentingan yang dibangun pihak KPU yang saat ini dikontrol oleh militer. Salah satu dari motif tersebut adalah untuk mengganjal kelompok Islam untuk memegang jabatan presiden di Mesir. Ikhwanul Muslimin dan kelompok Salafi merupakan dua kelompok yang mendominasi di pemilu parlemen. Pihak-pihak yang pro dengan rejim Mubarak tidak ingin kedua kelompok tersebut menguasai Mesir dan melakukan balas dendam terkait tindakan represi militer yang pernah mereka alami di era Mubarak. Tercoretnya Suleiman yang merupakan mantan mata-mata dan pengganti Mubarak sebelum lengser keprabon adalah hanya dalih untuk menutupi praktek-praktek penjegalan terhadap Ikhwanul Muslimin dan Salafi.
Penerimaan pemerintahan baru dalam masa transisi memang agak sulit dilakukan bagi kelompok-kelompok yang telah memegang kekuasaan sekian lama. Hal seperti itu tidak hanya terjadi di Mesir, tetapi juga terjadi di negara-negara seperti Thailand, Pakistan, dan bahkan Indonesia. Untuk itu, dalam konteks ini, militer Mesir harus benar-benar legowo untuk menyerahkan kekuasaan ke sipil pasca digelarnya pemilu nanti.
Meminjam istilah Eric Nordlinger, milter sebaiknya menempatkan diri sebagai guardian regime dan tidak masuk dalam kategori ruler regime. Kategori yang pertama, militer lebih menempatkan diri sebagai fasilitator dalam penyelenggaraan pemilu kemudian kekuasaan diserahkan ke sipil. Sementara tipe yang kedua, militer mengambil kekuasaan secara paksa (kudeta) dan membangun pemerintahan yang militeristik.
Untuk itu, sebagai penyelenggara pemilu, militer (supreme council of the armed forces) harus menjaga kredibiltas kelembagaan agar tetap berjalan on the track sesuai dengan harapan masyarakat dan membawa Mesir jauh legih baik daripada era-era sebelumnya. Tetapi, jika militer bermain di dua kaki, yakni militer menjagokan calon tertentu dan membuat kecurangan atas lawan politiknya, maka hal ini akan menjadi bumerang bagi terwujudnya pemilu yang free and fair.
Berpijak dari analisa di atas, maka spirit transparansi seleksi kandidat serta semangat free and fair adalah hal yang wajib dilakukan oleh KPU Mesir agar tidak terjadi gejolak pasca terselenggaranya pemilu dan tercipta Mesir ke depan yang lebih baik.