Hubungan Iran dan Israel kembali
menjadi sorotan dunia internasional setelah dua peristiwa penting menyulut
keduanya untuk saling mengintai dan mengancam. Peristiwa yang pertama adalah
terbunuhnya ilmuan Iran Mostafa Ahamdi Rosha, yang merupakan ilmuan kelima Iran
yang diduga dibunuh oleh Mossad dan CIA (Central
Intelligence Agency). Sementara peristiwa yang kedua adalah tiga ledakan
bom yang terjadi di India, Georgia, dan Thailand yang diklaim oleh Israel
dilakukan oleh Iran dan Hizbullah.
Dua peristiwa itu membuat ekskalasi
konflik Iran dan Israel akan semakin menegangkan di tengah fenomena Arab Spring yang menyapu satu per satu
negara-negara yang dikenal dengan “emas hitam-nya” tersebut. Kemudian yang
menjadi pertanyaannya adalah mungkinkah perang terbuka antara Iran dan Israel
akan betul-betul meletus tahun ini?. Pertanyaannya ini sangat penting untuk
kita diskusikan karena banyaknya batu sandungan dan hambatan yang mengiringi
perjalanan hubungan keduanya di Timur Tengah.
Pasca Perang Dingin (Cold War), hubungan Iran dan Israel
secara umum mengalami pasang surut. Hubungan keduanya mulai menunjukkan
fase-fase menegangkan ketika Iran di bawah kendali Ahamadinejad dan Israel di
bawah komando Netanyahu. Kedua pemimpin tersebut memiliki kesamaan sikap yakni,
sama-sama keras dalam memegang ideologi-ideologi politiknya.
Ahamadinejad dikenal sebagai sosok bersahaja
yang dibesarkan dari keluarga tukang besi di desa Aradan, 120 kilometer arah
tenggara Teheran. Ahamadinejad meniti karir politiknya pertama kali sebagai
walikota Teheran pada tahun 2003 dan akhirnya memegang kendali kepresidenan
Iran pada tahun 2005 menggantikan Muhammad Khatami yang telah memimpin Iran
selama dua periode (1997-2005). Ahamadinejad dikenal sangat keras terhadap Israel
terkait dua pernyataan poltiknya yang menganggap Holocaust adalah mitos dan
Israel harus dihapus dari peta dunia.
Netanyahu lahir di Tel Aviv, Israel
dari keluarga akademisi yang mapan. Ayahnya, Ben-Zion Netanyahu, adalah seorang
profesor mengenai sejarah Yahudi. Netanyahu mengawali karir politiknya di
partai Likud pada tahun 1988 dan mengantarkannya menjadi Perdana Menteri Israel
pada tahun 1996-1999 dan kemudian terpilih kembali pada tahun 2009. Netanyahu
dikenal sangat keras dan tegas terhadap Palestina dan Iran karena ideologi
partai politiknya, Likud, yang sangat liberal
conservatism.
Karakter yang sangat keras dari
Ahmadinejad dan Netanyahu akan memainkan peran yang signifikan bagi munculnya
instabilitas di Timur Tengah. Sikap saling mengecam kedua pemimpin tersebut
membuat kedua negara siap untuk saling serang dengan beragam alasan, khususnya
terkait tentang kemanan dalam negeri masing-masing negara. Dalam konteks ini,
Israel sudah melakukan uji coba penembakan roket di pangkalan militer
Palmachim. Di sisi yang lain, Iran juga telah menyiapkan kekuatan terbaiknya
dalam menghadang Israel.
Keberanian Israel yang ingin
melakukan pre-emptive military strike
terhadap Iran tidak bisa dilepaskan dari keyakinannya untuk menentukan
takdirnya sendiri. Hal itu disampaikan oleh Netanyahu di tengah pertemuan AIPAC
(American Israel Public Affairs Committee)
yang digelar awal bulan ini di Washington di tengah kegagalan Netanyahu dalam
membujuk Obama untuk ikut serta dalam rencana penyerangannya atas Iran.
Sementara itu, Obama memiliki
pertimbangan lain atas Iran dalam menyelesaikan program nuklirnya. Orang nomor
satu di AS itu lebih mengedepankan diplomasi dan tidak menggunakan opsi perang
saat ini karena terkait dengan akan digelarnya pemilu presiden AS di bulan
November. Tetapi, jika jalur diplomasi nanti dianggap gagal, ada kemungkinan
Obama akan mengambil jalan invasi.
Panasnya hubungan AS dan Iran bisa
kita lacak dari proyek nuklir pemerintahan Ahmadinejad yang dianggap oleh AS akan
dijadikan tempat pengayaan uranium untuk pembuatan bom nuklir. Hal tersebut
sudah pernah dibantah oleh Iran bahwa proyek nuklirnya bukan diproyeksikan
untuk pembuatan bom nuklir, tetapi digunakan untuk tujuan-tujuan damai seperti
pembangunan industri listrik serta perekonomian.
Klaim-klaim yang dikemukakan oleh Iran
terkait program nuklirnya ternyata ditanggapi secara dingin oleh Barat. Kondisi
ini membuat pihak Barat menjatuhkan sanksi baru bagi Iran dan membekukan aset-aset
Iran di luar negeri. Untuk menyikapi hal tersebut, kemudian Iran mengancam akan
menutup Selat Hormuz jika Barat masih tetap tidak bisa diajak kompromi.
Selat Hormuz merupakan selat yang
memainkan peran vital bagi perdagangan dunia dan hampir 20 persen atau sekitar
17 juta barel per hari pasokan minyak dari belahan negara-negara Timur Tengah
melewati selat ini. Hal ini mengakibatkan ancaman Iran untuk menutup Selat
Hormuz tentunya akan merugikan pasokan minyak ke sekutu-sekutu AS baik yang ada
di Asia maupun Eropa.
Kalkulasi yang memungkinkan akan
meletusnya perang di tahun ini adalah Israel melakukan serangan awal ke Iran meskipun
tanpa restu AS. Rencana penyerangan Israel ini sudah pernah disampaikan oleh
Netanyahu di depan parlemen Israel, Knesset.di awal tahun 2012. Ancaman
penyerangan Israel ke Iran mendapatkan tanggapan dari Iran bahwa Iran akan
menyambut serangan Israel dengan serangan yang lebih mematikan.
Sikap saling mengancam antara
Israel dan Iran bisa mengakibatkan semakin memanasnya tensi keamanan di wilayah
regional Timur Tengah di tengah upaya banyak negara untuk menyerukan pentingnya
spirit perdamain dalam membangun tata dunia global yang lebih harmoni. Untuk itu, dalam
mengatasi hal tersebut, semua pihak khususnya Iran dan Isarel harus bisa
mengedepankan sikap saling memahami (mutual
understanding) dan saling percaya (mutual
trust) agar tercipta stabilitas keamanan yang konkret.
Berpijak dari analisa di atas maka perang
terbuka antara Israel dan Iran akan meletus atau tidak, tergantung bagaimana goodwill kedua belah pihak dalam
memahami satu sama lain. AS sebagai negara super
power harus bisa ikut menjaga
stabilitas di Timur Tengah karena dampak perang akan berakibat fatal bagi
sendi-sendi kehidupan, tidak hanya sendi ekonomi dan politik, tetapi juga kemanusiaan.