Momentum Mediasi Dua Korea
Perhelatan tahunan akan segera diselenggarakan di Bali. Forum tersebut adalah Bali Democracy Forum (BDF) yang akan dilangsungkan selama dua hari yakni tanggal 9-10 Desember. Forum ini mengundang 52 negara dari Asia Pasifik termasuk 15 kepala negara atau pemerintahan dan 39 negara atau organisasi internasional sebagai peninjau. Forum yang telah memasuki usia ketiga ini terasa sangat istimewa karena akan dihadiri oleh Presiden Korea Selatan Lee Myung-Bak yang menyempatkan hadir di tengah memanasnya konflik di Semenanjung Korea yakni antara Korea Selatan dan Korea Utara yang telah memakan korban jiwa baik dari kalangan militer maupun sipil Korea Selatan. Kehadiran Lee di BDF, selain karena perhatiannya yang sangat besar terkait upaya pembangunan dan demokrasi bagi perdamaian, Lee juga akan diplot sebagai Co-Chairman yang akan mendampingi SBY dalam mempromosikan pentingnya kerja sama regional dalam masalah demokrasi dan pembangunan politik. Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana cara Indonesia mengimplementasikan substansi BDF terkait konflik di Semenanjung Korea?. Pertanyaan ini sangat penting untuk kita diskusikan karena posisi dan peluang Indonesia dalam penyelesaian masalah dua Korea sangat menentukan jika kita bandingkan dengan negara lain seperti China maupun Jepang. BDF merupakan forum yang digagas oleh Indonesia pada tahun 2008 yang bertujuan untuk memperkenalkan pentingnya relasi demokrasi dan pembangunan dalam mewujudkan perdamaian dunia. Forum ini bersifat inklusif bagi tiap negara dalam berbagi pengalaman dan pelatihan guna memperkuat demokrasi di sebuah negara. Pada forum kali ini, tema yang akan diangkat adalah mengenai “Democracy and the Promotion of Peace and Stability”. Dalam tema tersebut bisa digambarkan mengenai pentingnya demokrasi dalam menciptakan perdamaian dan stabilitas kawasan khususnya di Asia. Fakta pentingnya demokrasi dalam tatanan bernegara yang dimaksudkan sebagai katalisator pembangunan dan perdamaian sebuah negara inilah yang kemudian jadi pijakan Indonesia dalam menggelar forum tahunan dengan tajuk BDF. Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dunia tentunya ingin membagi pengalaman demokrasinya ke negara lain dengan tujuan ikut serta dalam menciptakan stabilitas global. Mediator Dua Korea Kesediaan Lee datang dalam BDF yang akan diselenggarakan beberapa hari ke depan harus menjadi hal yang tepat bagi Indonesia dalam ikut serta mengawal perdamaian di Semenanjung Korea. Dalam konteks memanasnya hubungan Korea Utara dan Korea Selatan, Indonesia punya peluang yang sangat besar dalam meminimalisasikan aroma konflik di dua Korea. Sejarah telah membuktikan bahwa Indonesia di bawah Soekarno memiliki kedekatan dengan pemimpin Korea Utara, Kim Ill Sung, terkait dengan sikap bersamanya menentang dominasi Barat di kawasan Asia. Eratnya hubungan Soekarno dan Kim Ill Sung ini kemudian berlanjut ke anaknya masing-masing yakni Megawati dari Soekarno dan Kim Jong-il dari Kim Ill Sung. Hal ini tentunya menjadi informasi penting bagi peran Indonesia dalam memecahkan kebuntuan mengenai konflik antara Korea Selatan dan Korea Utara. Momen tahunan BDF yang akan segera digelar di Bali harus bisa dimanfaatkan oleh pemerintahan SBY untuk menawarkan jasa baik Indonesia sebagai mediator dalam penyelesain konflik dua Korea. Hal ini mengingat posisi Indonesia bisa dikatakan netral karena sama-sama memiliki hubungan yang harmonis baik dengan Korea Selatan maupun dengan Korea Utara. Pemerintah Indonesia bisa meminta Megawati untuk menjadi delegasi Indonesia dalam menjembatani memburuknya hubungan Korut dan Korsel. Kapasitas Megawati sangat tepat karena beberapa kali Megawati diundang oleh Korut terkait dengan sejarah perayaan “diplomasi bunga” dan Korsel baik kapasitasnya sebagai presiden maupun mantan presiden. Peluang ini harus segera diambil oleh Indonesia karena manfaat damainya dua Korea akan mempunyai dampak yang baik bagi stabilitas keamanan dan politik khususnya di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, jika stabilitas keamanan dan politik terjaga secara baik maka pertumbuhan ekonomi negara-negara kawasan Asia akan terdongkrak secara baik pula. Ganjalan Kurang baiknya hubungan Megawati dan SBY yang sudah berjalan kurang lebih tujuh tahun akan sedikit banyak menjadi halangan bagi pemerintahan SBY untuk memerankan diri sebagai mediator dalam masalah konflik di Semenanjung Korea. Fenomena ini tentu dibutuhkan pembuktian karakter keduanya sebagai negarawan yang mampu memisahkan antara masalah pribadi dengan masalah kepentingan nasional negara. Tentunya hal ini tidak mudah karena keduanya memiliki pandangan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk itu dibutuhkan sikap negarawan yang arif dan bijaksana dan mengesampingkan masalah pribadi dan lebih mengutamakan kepentingan bangsa Indonesia yang lebih besar. Dalam konteks ini, SBY, sebagai kepala negara dan pemerintahan perlu meminta secara resmi ke Megawati untuk menjadi delegasi Indonesia dalam memediasi konflik Korea. Berpijak dari paparan di atas maka bisa disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia harus bisa memanfaatkan momen BDF secara baik dalam upaya menawarkan jasa baik sebagai mediator dalam penyelesaian konflik Korea. Tentu hal ini pihak Indonesia harus bisa menghilangkan ganjalan-ganjalan domestik dalam mewujudkan tujuan mulia tersebut.Wallahu A’lam.*) Fatkurrohman SIP MSi, Dosen Hubungan Internasional, Fisipol, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.