Insiden berdarah telah terjadi di
sekolah Ozar Hatorah yang merupakan lembaga untuk mendidik anak-anak Yahudi di
Toulouse, Prancis. Dalam peristiwa tersebut, tiga murid dan satu guru tewas
dalam aksi penembakan yang dilakukan oleh Mohammed Merah.
Tindakan brutal yang dilakukan oleh
Merah terhadap warga sipil Yahudi dan militer mengindikasikan bahwa pelaku memiliki
tujuan-tujuan tertentu. Hal ini bisa kita telusuri dari latar belakangnya yang
pernah bersinggungan dengan kelompok Islam radikal al-Qaeda baik di Afghanistan
maupun di Pakistan.
Kemudian yang menjadi pertanyaan
pentinganya adalah apa sebetulnya motif penembakan Merah atas pengikut Yahudi
dan militer Prancis?. Mohammed Merah adalah warga negara Prancis keturunan
Aljazair yang pernah menjadi bagian dari pasukan elit Resimen Lintas Udara
Prancis pada tahun 2008 dan kemudian dipecat dari dinas militer karena pose
fotonya yang memberikan penghormatan pada logo swastika. Selain itu, Merah juga
disinyalir pernah berkunjung ke Afghanistan dan Pakistan dalam rangka mengikuti
pelatihan militer yang didanai oleh al-Qaeda.
Rekam jejak Merah di domestik
Prancis juga memiliki catatan hitam terkait dengan tindakan kriminalnya
melakukan perampokan di tahun 2009. Rentetan aksi kriminalnya semakin lengkap
ketika melakukan aksi penembakan yang menyasar anggota militer dan warga sipil
Yahudi. Sebagai akibat dari tindakannya tersebut, kemudian tim elit RAID (French Police Special Unit) menyergapnya di sebuah apartemen di dekat
Toulouse.
Motif Merah
Ada dua motif utama yang dibeberkan
oleh Merah terkait aksinya. Pertama adalah pembelaan terhadap anak-anak
Palestina. Dalam konteks ini, sang pelaku ingin membalas dendam terkait
kekejaman Israel atas pembunuhan anak-anak Palestina. Jamak diketahui bahwa
agresi militer Israel di Gaza yang terjadi di penghujung tahun 2008 telah
mengakibatkan ribuan warga sipil terbunuh dan mayoritas korbannya adalah
anak-anak.
Sikap represif dan agresif Israel
atas warga sipil Palestina yang mengakibatkan banyak korban tidak berdosa
Palestina telah memicu banyaknya perlawanan atas Barat sebagai pelindung
Israel. Hal ini kemudian mengakibatkan tumbuh suburnya aksi terorisme baik yang
dilaksanakan secara berkelompok (organization)
maupun sendirian (lone wolf).
Data konkret yang memperkuat
aksi-aksi teror atas nama korban anak-anak Palestina oleh Israel bisa kita lihat
dari testimoni Imam Samudera dalam bukunya “Aku Melawan Teroris”. Imam Samudera
yang merupakan anggota JI (Jamaah Islamiyah)
bisa menjadi salah satu contoh pelaku teror di level kelembagaan dan sementara
Merah bisa mewakili aksi teror di level perseorangan.
Motif kedua yang tidak kalah
pentingnya adalah kekecewaan Merah atas intervensi Prancis di luar negeri
khususnya di Afghanistan. Prancis merupakan salah satu negara yang tergabung
dalam NATO (North Atlantic Treaty
Organization) yang ikut berkontribusi dalam memporak-porandakan Afghanistan
dalam agresi penyerangan AS terhadap Afghanistan pada tahun 2001.
Pasca agresi yang melanda
Afghanistan dan demokrasi mulai bergulir secara terseok-seok, perlawanan
Taliban dan jaringan al-Qaeda secara masif melakukan gerilya dalam mengusir
NATO dan mencoba merebut kembali simpati masyarakat Afghanistan. Di tengah perlawanan
al-Qaeda dan Taliban atas NATO yang semakin sengit muncul peristiwa pembakaran
al-Quran yang dilakukan oleh tentara NATO kemudian menuai protes yang menewakan
30 warga sipil Afghanistan.
Keberadaan pasukan NATO di
Afghanistan yang cenderung destruktif telah memantik munculnya perlawanan baik
secara tertutup maupun terbuka dari al-Qaeda terhadap negara-negara anggota
NATO. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan Merah melakukan aksi
terorismenya di Prancis.
Merespon agar peristiwa yang sama
tidak terjadi lagi di Prancis, maka di tengah ekskalasi politik yang memanas
menjelang pemilu presiden yang rencananya akan digelar rentang Mei-April tahun
ini membuat para kandidat presiden baik Sarkozy maupun Hollande menjadikan isu
keislaman, imigran, dan penarikan pasukan Prancis dari Afghanistan menjadi isu
sentral dalam menarik simpati para pendukungnya.
Perang statement politik secara terbuka antar kandidat mengemuka mengenai
penanganan fundamentalisme Islam, kelompok imigran, dan penarikan pasukan dari
Afghanistan menjadikan isu-isu tersebut sangat vital perannya dalam meraup
suara mayoritas dalam pemilu kali ini. Kandidat yang bisa mengelola dan
memanfaatkan masalah-masalah tersebut bisa dipastikan akan melenggang dengan
mulus menuju karpet merah istana kepresidenan Prancis.
Masalah fundamentalisme Islam dan
kelompok imigran memang sangat rumit untuk ditangani mengingat bahwa saat ini
sikap rasisme dan diskriminasi masih terjadi di domestik Prancis. Kelompok
imigran yang paling merasakan dampaknya adalah mereka yang berasal dari
negara-negara Maghribi seperti Aljazair, Maroko, dan Tunisia. Hal ini
menjadikan mereka merasa terasingkan dan beberapa dari mereka melakukan
tindakan-tindakan kriminal yang mengarah pada aksi terorisme yang kemudian
berafiliasi dengan kelompok-kelompok fundamentalis seperti al-Qaeda.
Masalah lain yang menghadang Prancis
adalah soal pasukan Prancis yang masih berada di Afghanistan. Untuk merespon
masalah ini, Sarkozy berjanji akan menarik pasukan Prancis dari Afghanistan
awal 2013, sementara lawan politiknya yakni Hollande menyatakan akan melakukan
hal yang sama di tahun 2012.
Berpijak dari paparan di atas, bisa
disimpulkan bahwa siapa pun yang akan menjadi presiden Prancis mendatang akan
dihadapkan pada masalah yang tidak ringan. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya
yang holistik dan konkret dalam menyatukan seluruh elemen masyarakat Prancis
agar tercipta integrasi yang kokoh dan tragedi Toulouse tidak terulang lagi.