Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Kamis, 10 Mei 2012

Tragedi Toulouse



Insiden berdarah telah terjadi di sekolah Ozar Hatorah yang merupakan lembaga untuk mendidik anak-anak Yahudi di Toulouse, Prancis. Dalam peristiwa tersebut, tiga murid dan satu guru tewas dalam aksi penembakan yang dilakukan oleh Mohammed Merah.
Tindakan brutal yang dilakukan oleh Merah terhadap warga sipil Yahudi dan militer mengindikasikan bahwa pelaku memiliki tujuan-tujuan tertentu. Hal ini bisa kita telusuri dari latar belakangnya yang pernah bersinggungan dengan kelompok Islam radikal al-Qaeda baik di Afghanistan maupun di Pakistan.
Kemudian yang menjadi pertanyaan pentinganya adalah apa sebetulnya motif penembakan Merah atas pengikut Yahudi dan militer Prancis?. Mohammed Merah adalah warga negara Prancis keturunan Aljazair yang pernah menjadi bagian dari pasukan elit Resimen Lintas Udara Prancis pada tahun 2008 dan kemudian dipecat dari dinas militer karena pose fotonya yang memberikan penghormatan pada logo swastika. Selain itu, Merah juga disinyalir pernah berkunjung ke Afghanistan dan Pakistan dalam rangka mengikuti pelatihan militer yang didanai oleh al-Qaeda.
Rekam jejak Merah di domestik Prancis juga memiliki catatan hitam terkait dengan tindakan kriminalnya melakukan perampokan di tahun 2009. Rentetan aksi kriminalnya semakin lengkap ketika melakukan aksi penembakan yang menyasar anggota militer dan warga sipil Yahudi. Sebagai akibat dari tindakannya tersebut, kemudian tim elit RAID (French Police Special Unit)  menyergapnya di sebuah apartemen di dekat Toulouse.
Motif Merah
Ada dua motif utama yang dibeberkan oleh Merah terkait aksinya. Pertama adalah pembelaan terhadap anak-anak Palestina. Dalam konteks ini, sang pelaku ingin membalas dendam terkait kekejaman Israel atas pembunuhan anak-anak Palestina. Jamak diketahui bahwa agresi militer Israel di Gaza yang terjadi di penghujung tahun 2008 telah mengakibatkan ribuan warga sipil terbunuh dan mayoritas korbannya adalah anak-anak.
Sikap represif dan agresif Israel atas warga sipil Palestina yang mengakibatkan banyak korban tidak berdosa Palestina telah memicu banyaknya perlawanan atas Barat sebagai pelindung Israel. Hal ini kemudian mengakibatkan tumbuh suburnya aksi terorisme baik yang dilaksanakan secara berkelompok (organization) maupun sendirian (lone wolf).
Data konkret yang memperkuat aksi-aksi teror atas nama korban anak-anak Palestina oleh Israel bisa kita lihat dari testimoni Imam Samudera dalam bukunya “Aku Melawan Teroris”. Imam Samudera yang merupakan anggota JI (Jamaah Islamiyah) bisa menjadi salah satu contoh pelaku teror di level kelembagaan dan sementara Merah bisa mewakili aksi teror di level perseorangan.
Motif kedua yang tidak kalah pentingnya adalah kekecewaan Merah atas intervensi Prancis di luar negeri khususnya di Afghanistan. Prancis merupakan salah satu negara yang tergabung dalam NATO (North Atlantic Treaty Organization) yang ikut berkontribusi dalam memporak-porandakan Afghanistan dalam agresi penyerangan AS terhadap Afghanistan pada tahun 2001.
Pasca agresi yang melanda Afghanistan dan demokrasi mulai bergulir secara terseok-seok, perlawanan Taliban dan jaringan al-Qaeda secara masif melakukan gerilya dalam mengusir NATO dan mencoba merebut kembali simpati masyarakat Afghanistan. Di tengah perlawanan al-Qaeda dan Taliban atas NATO yang semakin sengit muncul peristiwa pembakaran al-Quran yang dilakukan oleh tentara NATO kemudian menuai protes yang menewakan 30 warga sipil Afghanistan.
Keberadaan pasukan NATO di Afghanistan yang cenderung destruktif telah memantik munculnya perlawanan baik secara tertutup maupun terbuka dari al-Qaeda terhadap negara-negara anggota NATO. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan Merah melakukan aksi terorismenya di Prancis.
Merespon agar peristiwa yang sama tidak terjadi lagi di Prancis, maka di tengah ekskalasi politik yang memanas menjelang pemilu presiden yang rencananya akan digelar rentang Mei-April tahun ini membuat para kandidat presiden baik Sarkozy maupun Hollande menjadikan isu keislaman, imigran, dan penarikan pasukan Prancis dari Afghanistan menjadi isu sentral dalam menarik simpati para pendukungnya.
Perang statement politik secara terbuka antar kandidat mengemuka mengenai penanganan fundamentalisme Islam, kelompok imigran, dan penarikan pasukan dari Afghanistan menjadikan isu-isu tersebut sangat vital perannya dalam meraup suara mayoritas dalam pemilu kali ini. Kandidat yang bisa mengelola dan memanfaatkan masalah-masalah tersebut bisa dipastikan akan melenggang dengan mulus menuju karpet merah istana kepresidenan Prancis.
Masalah fundamentalisme Islam dan kelompok imigran memang sangat rumit untuk ditangani mengingat bahwa saat ini sikap rasisme dan diskriminasi masih terjadi di domestik Prancis. Kelompok imigran yang paling merasakan dampaknya adalah mereka yang berasal dari negara-negara Maghribi seperti Aljazair, Maroko, dan Tunisia. Hal ini menjadikan mereka merasa terasingkan dan beberapa dari mereka melakukan tindakan-tindakan kriminal yang mengarah pada aksi terorisme yang kemudian berafiliasi dengan kelompok-kelompok fundamentalis seperti al-Qaeda.
Masalah lain yang menghadang Prancis adalah soal pasukan Prancis yang masih berada di Afghanistan. Untuk merespon masalah ini, Sarkozy berjanji akan menarik pasukan Prancis dari Afghanistan awal 2013, sementara lawan politiknya yakni Hollande menyatakan akan melakukan hal yang sama di tahun 2012.
Berpijak dari paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa siapa pun yang akan menjadi presiden Prancis mendatang akan dihadapkan pada masalah yang tidak ringan. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya yang holistik dan konkret dalam menyatukan seluruh elemen masyarakat Prancis agar tercipta integrasi yang kokoh dan tragedi Toulouse tidak terulang lagi.