UE dan AS Ancam Israel
Relasi Israel dan Palestina ke depan diyakini akan banyak diwarnai suasana konflik daripada hidup berdampingan secara damai. Hal ini terkait dengan dicabutnya moratorium pembangunan perumahan di Tepi Barat oleh Israel. Fenomena ini kemudian memantik reaksi keras dari banyak negara khususnya AS dan Uni Eropa (UE).
Tingginya perhatian AS dan UE terkait perdamaian antara Palestina dan Israel menunjukkan bahwa hal tersebut menjadi agenda penting mereka dalam mengawal terwujudnya perdamaian dan keamanan dunia.
Maka tidak mengherankan jika AS dan UE begitu sangat gusar ketika Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak mau memperpanjang moratorium yang telah berjalan 10 bulan dan menganggap Israel tidak punya goodwill dalam penyelesaian yang telah beberapa kali melakukan perundingan namun masih belum optimal. Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa AS dan Uni Eropa mengancam Israel terkait pencabutan moratorium?. Pertanyaan ini sangat menarik untuk kita diskusikan karena jarang sekali AS dan UE mengancam Israel dalam konteks permasalahannya dengan Palestina.
Perdana Menteri Israel secara resmi telah mencabut moratorium yang telah habis masanya pada tanggal 29 September 2010 dan tidak memperpanjangnya lagi dengan alasan-alasan yang dianggapnya sangat urgen yakni memberikan perumahan yang memadahi bagi warga Yahudi di Tepi Barat. Hal ini tentu merupakan preseden bagi terciptanya kondisi instabilitas keamanan di Timur Tengah khususnya antara Israel dan Palestina.
Sikap tidak mau kompromi Netanyahu terkait moratorium merupakan karakter politik yang sangat melekat dalam dirinya. Karakter inilah yang kemudian pernah mengantarkan Netanyahu dalam jabatan perdana menteri Israel periode pertamanya (1996-1999) dan periode kedua (2010-2012). Pada periode pertama pemerintahannya, Netanyahu seolah mendapatkan “duren runtuh” dari sikap Yitzhak Rabin dari Partai Buruh yang dianggap terlalu lembek terhadap Palestina karena menggagas Perjanjian Oslo.
Sikap Rabin yang akomodatif terhadap Palestina kemudian membuat ektremis kanan yahudi, Yigal Amir, membunuhnya. Hal ini sekaligus menorehkan fakta bahwa Rabin merupakan perdana menteri pertama Israel yang terbunuh dan kedua yang meninggal karena masih menjabat perdana menteri setelah Levi Eshkol.
Fenomena akomodatifnya Rabin atas permasalahannya dengan Palestina ternyata tidak linear dengan publik domestik Israel yang membutuhkan karakter pemimpin yang tegas dan tak kenal kompromi.
Dalam kondisi seperti itu, Netanyahu menjadi jawaban bagi publik domestik Israel untuk memimpin Israel. Maka tidak mengherankan jika di masa pemerintahannya, Netanyahu membuat Protokol Hebron dan membangun perumahan di Jerusalem dan Bethlehem.
Naiknya Netanyahu di periode kedua pemerintahannya juga tidak bisa dilepaskan karena faktor “accident” yang ditandai kegagalan Ehud Olmert karena dianggap lemah dalam mengamankan kepentingan nasional Israel terkait gagalnya agresinya ke Gaza di penghujung tahun 2009. Hal ini kemudian mengantarkan Netanyahu ke posisi puncak sebagai Perdana Menteri Israel dengan semboyan anti-Palestina.
Perdagangan UE dan Israel
Uni Eropa memberikan warning keras terhadap Israel agar tidak melanjutkan pembangunan perumahan di wilayah Palestina. Jika Israel tetap melanjutkan programnya maka Uni Eropa akan membekukan hubungan kerja samanya dengan Israel. Jika pembekuan kerja sama khususnya dalam hal perdagangan terealisir maka Israel akan menanggung rugi yang sangat besar dalam sejarah berdirinya negara Israel.
Menurut catatan perdagangan Israel ke Uni Eropa pada tahun 2009 mencapai angka yang sangat fantastis yakni 29.8 miliar dolar Amerika Serikat dan nilai ekspornya ke negara-negara Eropa mencapai 12.3 miliar dolar Amerika Serikat. Jumlah yang sangat besar tersebut tentu sangat penting bagi Israel dalam membangun perekonomian domestiknya. Jadi jika Israel benar-benar akan mengabaikan kecaman UE maka kerugian besar sudah menunggu Israel dan dipastikan postur ekonominya ke depan akan sempoyongan.
Popularitas Obama
Upaya Obama dalam mengamankan perdamaian di Timur Tengah dengan mengutus George Mitchell ke Palestina dan Israel bukan tanpa alasan. Ada grand design yang sedang dibangun oleh Obama dalam meningkatkan popularitasnya di domestik Amerika Serikat. Saat ini popularitas Obama di domestik sedang anjlok terkait dengan sikap Obama yang lamban dalam menata ekonomi pasca krisis global dan menguatnya sentimen anti-Obama terkait persetujuannya dalam pembangunan masjid di Ground Zero, WTC. Untuk itu, Obama ingin mengembalikan popularitasnya dengan menggaet kelompok masyarakat AS yang pro terhadap perdamaian Israel dan Palestina.
Berpijak dari analisis di atas maka bisa disimpulkan bahwa sikap tegas UE dan Obama terkait terwujudnya perdamaian Israel dan Palestina memiliki tujuan yang mulia yakni mengawal perdamaian di Timur Tengah. Tetapi, jika sikap UE dan AS tersebut tidak disambut baik oleh Israel maka Israel akan merasakan kerugian yang besar . Wallahu A’lam. q - k. (1803-2010).
*) Fatkurrohman SIP MSi,
Dosen HI UGM. Penulis buku “Isu dan Realita Konflik Kawasan (2010)” .