Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Senin, 05 Juli 2010

Gagalnya Demokrasi Irak
Oleh : Fatkurrohman, S.IP, M.Si

Pada tanggal 6 Mei 2010, saya mendapatkan undangan dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dalam rangka Pertemuan Kelompok Ahli di Surabaya yang membicarakan masalah “Islam dan Demokrasi di Timur Tengah”. Dalam konteks ini hal yang difokuskan adalah pembahasan mengenai berkembangnya pengaruh demokrasi di negara-negara Timur Tengah yang gaungnya semakin kuat dalam satu dekade terakhir ini.
Berbicara mengenai demokrasi di Timur Tengah tentu sangat menarik jika kita merujuk ke Irak yang kita sebut juga sebagai negeri 1001 malam. Irak merupakan negara yang memiliki histori panjang era keemasan Islam di era dinasti Abbasiyah.Tetapi, era keemasan tersebut, sekarang hanya menjadi sebuah cerita di tengah perang saudara yang tidak kunjung henti pasca invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003.
Amerika Serikat bersama sekutu-sekutunya telah melakukan doktrinasi ideologi demokrasi sebagai ganti kepemimpinan yang otoriter Saddam Hussein yang sampai saat ini masih menimbulkan masalah besar dalam politik domestik Irak karena memunculkan instabilitas berupa goncangan bom-bom bunuh diri yang sampai saat ini belum tahu kapan bom-bom bunuh diri itu berhenti menyalak.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa demokrasi di Irak mengalami kegagalan?. Pertanyaan ini sangat menarik untuk kita diskusikan karena Irak yang dulu dikenal sebagai sebuah negara yang relatif aman meski dalam payung otoritarianisme Saddam, sekarang seolah-olah telah menjadi killing field bagi kelompok Syiah atau Sunni.
Ambisi seorang Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, yang ingin menancpakan dominasinya di Timur Tengah telah mengubah peta kekuatan dan stabilitas Irak. Bush dengan segala cara telah melakukan provokasi yang masif ke dunia internasional agar upayanya dalam melengserkan Saddam Hussein yang telah menjadi ”anak nakal” bisa menjadi kenyataan.
Perjalanan seorang Saddam Hussein dalam kontestasi politik kawasan di Timur Tengah bisa kita lihat sangat fluktuatif. Dalam hal tertentu mengalami masa keemasan dan hal tetentu lagi mengalami masa kemunduran. Masa keemasan Saddam dalam hal ini bisa kita maknai terjadi ketika Saddam Hussein menjadi ”anak manis” bagi Amerika Serikat dalam konteks bahwa Saddam diberi ”asupan gizi” oleh Amerika Serikat baik berupa pasokan senjata, pelatihan militer (military training), maupun bantuan ekonomi.
Hal tersebut dilakukan oleh Amerika Serikat hanya dengan tujuan untuk menghadang popularitas Iran pasca jatuhnya rezim kesayangan Amerika Serikat yakni rejim Pahlevi. Pasca jatuhnya rejim Pahlevi dan berdirinya Republik Islam Iran di bawah komando Khomenei telah menjadi ancaman serius bagi Amerika Serikat sehingga Amerika Serikat perlu menangkal kekuatan Iran dengan menciptakan lawan bagi Iran. Dalam hal ini, Amerika Serikat memilih Saddam Hussein sebagai sosok yang harus menjalankan misi tersebut.
Skenario besar Amerika Serikat akhirnya menjadi kenyataan dengan meletusnya Perang Teluk I (1980-1988) yang dipicu invasi Irak ke Iran yang telah menewaskan banyak korban jiwa baik di kubu Irak maupun di kubu Iran. Dalam hal ini, kecerdasan Amerika Serikat dalam memicu konflik antara Iran dan Irak bisa dikatakan sangat taktis. Ibarat komandan perang, Amerika Serikat tahu betul mana wilayah yang bisa disulut dan mana wilayah yang tidak bisa disulut.
Perbedaan pandangan antara Iran yang Syiah dan Irak di bawah kendali Saddam Hussein yang Sunni inilah yang kemudian disulut Amerika Serikat untuk dimainkan dalam rangka menghantam Iran yang dikenal sangat anti terhadap Amerika Serikat. Maka dalam konteks ini, Amerika Serikat selalu mem-back up Saddam meski Saddam melakukan despotisme dalam pemerintahannya.
Pasca Perang Teluk I usai dan meletuplah Perang Teluk II (1990-1991) membuat citra Saddam merosot di mata AS yang klimaksnya adalah invasi AS ke Irak dengan dalih Saddam mengembangkan senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction) yang akhirnya menurut investigasi CIA ternyata tidak terbukti.
Pasca tumbangnya Saddam Hussein dari tampuk kekuasaannya pada tahun 2003, sistem demokrasi kemudian menggantikan otoritarianisme yang diharapkan bisa menata ulang sistem pemerintahan di Irak. Tetapi, ternyata sistem demokrasi tersebut sampai saat ini bisa kita katakan telah mengalami kegagalan.
Ada dua faktor utama penyebab kegagalan demokrasi di Irak. Pertama adalah faktor kebencian antara kelompok Syiah dan Sunni. Dua paham yang berbeda ini selalu saling intai antara yang satu dengan yang lain sehingga mengakibatkan serangan bom baik di wilayah Sunni maupun Syiah. Fenomena ini kemudian mengantarkan pada munculnya instabilitas baik di pemerintahan maupun kewilayahan. Kedua adalah faktor Al Qaidah Irak (AQI) yang sampai saat ini masih tidak bisa dikendalikan oleh pihak keamanan Irak sehingga teror-teror bom masih berlanjut.
Berpijak dari analisa di atas maka bisa disimpulkan bahwa kegaglan demokrasi Irak disebabkan oleh masih kuatnya aroma kebencian antara Syiah dan Sunni di Irak serta masih kuatnya kelompok Al Qaida Irak sehingga mengakibatkan instabilitas politik dan keamanan yang tidak kunjung usai. Walluhu A’lam.