Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Sabtu, 24 April 2010

Kegagalan Demokrasi Thailand

Gelombang protes terhadap pemerintahan Abhisit Vejjajiva yang dilakukan oleh massa Kaus Merah akhir-akhir ini telah menyita perhatian internasional. Dalam gelombang protes tersebut setidak-tidaknya telah mengakibatkan 21 orang tewas dan 874 orang luka-luka. Hal ini tentu mengindikasikan bahwa keinginan para demonstran Kaus Merah, massa pendukung Thaksin Shinawatra, tidak main-main untuk menuntut Vejjajiva turun dari kursi perdana menteri.
Keseriusan pendukung Thaksin tidak hanya dilakukan satu atau dua hari saja, tetapi sudah sejak Vejjajiva naik tahta di kursi perdana menteri pada tahun 2008. Kejadian yang telah menewaskan puluhan orang yang oleh media domestik Thailand disebut sebagai “the Battle of Bangkok” adalah titik klimaks perjuangan berat mereka dalam mewujudkan keinginannya untuk mengganti Vejjajiva.
Fenomena pergantian kepala pemerintahan (perdana menteri) pasca terkudetanya Thaksin oleh pihak militer pada tahun 2006 merupakan fenomena yang sangat miris. Dikatakan miris karena sejak tergulingnya Thaksin sudah dua perdana menteri yang harus turun tahta sebelum selesai masa jabatannya. Ini menunjukkan rotasi kepemimpinan di Thailand tidak bisa berjalan secara baik.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa Thailand gagal dalam mengimplementasikan demokrasi?. Pertanyaan ini sangat penting untuk kita diskusikan karena stabilitas politik dan keamanan Thailand saat ini betul-betul dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan.
Thailand merupakan sebuah negara yang menggunakan sistem pemerintahan parlementer dengan bentuk pemerintahan monarki konstitusional. Hal ini kemudian mengantarkan pada sebuah image bahwa jika perdana menteri ingin kuat dan mendapatkan legitimasi yang memadahi maka sang perdana menteri tersebut harus bisa mengambil hati sang raja, yakni Bhumibol Adulyadej. Fenomena ikatan kepala pemerintahan dengan pihak Yang Dipertuan Agung di Thailand secara substansi adalah sama dengan apa yang terjadi di Iran.
Iran menempatkan ketokohan dari Vilayat-e Faqih sebagai sosok yang mempunyai penguruh luar biasa dalam domestik Iran, maka tidak mengherankan jika para kandidat presiden akan terus mendekati pihak pemimpin Vilayat-e Faqih agar bisa mempermulus jalannya dalam menuju tampuk kursi kepresidenan seperti yang dilakukan oleh Ahamadinejad untuk mengalahkan rival-rival politiknya.
Rotasi kepemimpinan merupakan salah satu pilar adanya demokrasi di sebuah negara. Substansi dari rotasi kekuasaan ini adalah agar sebuah negara tidak terjebak pada praktek-praktek munculnya sistem pemerintahan yang oligarkis yang berujung pada despotisme. Rotasi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pemilu inilah yang kemudian menurut Weber disebut sebagai pihak yang memiliki legitimasi yang cukup untuk menjalankan pemerintahan.
Pemilu demokratis di Thailand telah dilakukan sejak tahun 1997 yang menempatkan sosok Thaksin Sinawatra sebagai perdana menteri. Prosesi pemilu ini juga mengakhiri tradisi kudeta di Thailand yang sejak 1930 sampai dengan 1997 setidak-tidaknya telah terjadi 18 kali kudeta militer.
Terkudetanya Thaksin pada tanggal 19 September 2006 oleh pihak militer yang dipimpin oleh Jenderal Surrayud Chulanot seolah-olah mengulang memori kelam Thailand sebelum tahun 1997. Pasca terkudetanya Thaksin sampai saat ini setidak-tidaknya telah tiga kepala pemerintahan yang mendapatkan tekanan massa yang sangat luar biasa.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa rotasi kepemimpinan melalui proses legal formal yakni pemilu di Thailand tidak berjalan sesuai dengan koridornya. Ada berepa hal yang menyebabkan terjadinya kegagalan demokrasi di Thailand pasca terkudetanya Thaksin.
Legitimasi Politik
Menurut Dolf Strenberger legitimasi dimaknai sebagai dasar kekuasaan pemerintah untuk mengatur rakyatanya. Jika makna legitimasi ini kita aplikasikan dalam situasi politik domestik Thailand saat ini maka posisi Abhisit kurang memiliki legitimasi yang cukup untuk mengatur rakyatnya karena sampai saat ini para pendukung Thaksin terus melakukan gerakan masif untuk melawan kekuasaan Vejjajiva.
Untuk mengembalikan kondisi Thailand yang stabil maka seluruh elemen masyarakat harus duduk satu meja dalam menyelesaikan krisis politik yang berkepanjangan di Thailand. Jika hal ini tidak dilakukan secepatnya maka dikhawatirkan Thailand akan terperosok dalam kubangan masalah domestik yang lebih parah.
Fatsun Politik
Munculnya demonstrasi terhadap pemerintah di Thailand baik di era Thaksin, Samak Sundaravej, Somchai Wongsawat, maupun Vejjajiva adalah karena tidak menaati fatsun politik yang ada. Thaksin dikudeta karena dianggap melakukan korupsi dan menjual aset negara, Samak dianggap melakukan rangkap jabatan, dan Somchai dan Vejjajiva dianggap melakukan kecurangan pemilu.
Fenomena ini mengakibatkan ketegangan politik dan keamanan yang luar biasa di domestik Thailand sehingga mengakibatkan kerugian tidak hanya di level ekonomi, tetapi juga di level pariwisata yang keduanya berujung pada tersendatnya kemajuan Thailand di tengah negara-negara ASEAN melakukan konsolidasi kekuatan internal dalam menyiapkan pasar bebas dengan pemerintah Cina.
Berpijak dari paparan di atas maka persoalan legitimasi dan fatsun politik menjadi masalah yang pelik sehingga mengakibatkan gagalnya proses demokratisasi yang sudah susah payah didirikan pada tahun 1997. Kegagalan demokratisasi ini jika tidak direspon secara baik maka bisa mengantarkan Thailand menjadi sebuah negara yang gagal (failed state).