Kegagalan Mengintai Yaman
Umar Farouk Abdulmutallab merupakan pelaku upaya peledakan pesawat Nortwest Airlines di Detroit, Amerika Serikat pada tanggal 25 Desember 2009. Saat ini, Abdulmutallab sedang menjalani proses pemeriksaan dari pemerintahan Obama untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang ingin menjalankan sebuah aksi yang dianggapnya sebagai sebuah misi “suci”.
Abdulmutallab adalah orang yang dikirim oleh Al Qaidah di Semenanjung Arab (AQAP) untuk mengganggu stabilitas keamanan domestik Amerika Serikat. Hal ini juga dimaksudkan untuk menaikkan posisi tawarnya (bargaining position) di depan rejim Yaman, Ali Abdullah Saleh, dalam hal dukungan AQAP terhadap Yaman Selatan terkait keinginannya melawan tirani rejim Saleh.
Selain masalah resistensi dari Yaman Selatan, rejim Saleh juga menghadapi gangguan stabilitas keamanan di Yaman Utara yang dilakukan oleh kelompok yang menganut paham (firqoh) Syiah yang dianggap sebagai warga “kelas dua” di Yaman yang mayoritas penganut paham Sunni. Dua paham ini, yakni Syiah dan Sunni selalu berhadap-hadapan dan saling mengintai antara satu dengan yang lainnya.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah masalah-masalah besar apa yang sedang melanda Yaman?. Pertanyaan ini sangat menarik untuk kita diskusikan karena akhir-akhir ini Yaman sedang dilanda instabilitas ekonomi, politik, dan keamanan yang setali tiga uang dengan rejim Karzai di Afghanistan.
Yaman merupakan negara yang berada di Semenanjung Arab yang memiliki jumlah penduduk kurang lebih mencapai 23 juta dengan luas wilayah 527 kilometer persegi. Jumlah penduduk yang sangat besar ini pernah mengalami sebuah memori buruk yakni dilanda perang saudara yang tak kunjung berhenti dan memakan ribuan korban jiwa dan luka-luka.
Korban yang berjatuhan di antara dua pihak yakni Yaman Selatan dan Yaman Utara akhirnya bisa disatukan dalam sebuah konsep unifikasi pada tanggal 20 Mei 1990 atas jasa Abdelrahman al-Marwani. Tokoh yang dikenal sebagai pendiri “rumah perdamaian” (Dar al-Salam) tersebut kini dikenang secara baik atas kerja kerasnya dalam menyelamatkan Yaman dalam konflik yang berkelanjutan.
Tetapi, kenangan manis pasca unifikasi, Yaman sedang mendapatkan ujian yang tidak ringan. Ujian-ujian terhadap eksistensi Yaman meliputi semakin merebaknya praktek-praktek korupsi di lingkaran kekuasaan, tumbuh suburnya bibit-bibit nepotisme, munculnya gerakan separatisme dari Yaman Selatan, dan yang terkahir adalah mulai berkembangnya gerakan perlawanan kelompok Syiah terhadap rejim Sunni yang saat ini sedang berkuasa.
Korupsi dan Nepotisme
Akhir-akhir ini, rejim Saleh sedang mendapatkan sorotan tajam dari masyarakatnya terkait munculnya budaya korupsi dan nepotisme di lingkaran istana. Budaya korupsi ini telah mendarah daging sejak berkuasanya rejim Saleh pada tahun 1978. Selain masalah korupsi yang menggurita dalam tiga dekade dalam pemerintahan Saleh, rejim ini juga dilanda masalah munculnya nepotisme.
Aroma nepotisme dalam pemerintahan Saleh semakin menyengat ketika Saleh menempatkan para keluarga besarnya dan kerabatnya dalam lingkaran pemerintahan serta menyiapkan putra kesayangannya, yakni Ahmed, untuk menggantikan posisinya sebagai pemimpin Yaman ke depan. Hal ini tentu mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat dan kelompok oposisi yang sudah lama kurang menyukai gaya pemerintahan Saleh.
Praktek-praktek korupsi dan nepotisme tersebut setidak-tidaknya akan menjadi sebuah energi baru bagi masyarakat dan kelompok oposisi untuk segera melengserkan rejim Saleh dari tampuk kekuasaannya. Jika praktek-praktek tersebut tidak segera mendapatkan respon dari rejim Saleh maka kebencian dan bibit-bibit disintegrasi akan membayangi Yaman.
Separatisme dan Syiah
Gerakan separatisme di Yaman Selatan mulai muncul sejak rejim Saleh berkuasa sekitar tiga dekade yang lalu. Kebencian masyarakat Yaman Selatan berakar pada praktek-praktek diskriminasi yang dilakukan oleh rejim Saleh yang lebih mengutamakan Yaman Utara. Praktek-praktek diskriminasi bisa kita lihat di level pembagian dari eksplorasi ladang-ladang minyak yang berada di Selatan yang aliran uangnya hanya dinikmati oleh Utara dan tidak diberikan secara proporsional ke Selatan. Hal ini mengakibatkan munculnya kemiskinan yang luar biasa di Selatan.
Selain masalah pembagian yang tidak adil dalam hal minyak, pemerintahan Saleh juga melakukan praktek-praktek diskriminasi dalam hal perekrutan anggota militer, pendidikan, dan distribusi kekuasaan. Hal ini kemudian memunculkan gerakan separatisme Selatan untuk menentang rejim Saleh, keluar dari tekanan Saleh, dan keinginan untuk mendirikan negara sendiri.
Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh AQAP untuk menjatuhkan rejim Saleh yang notabene sangat akrab dengan pemerintahan Amerika Serikat. Maka tidak mengherankan jika dalam satu tahun terakhir ini muncul aksi-aksi yang dilakukan oleh AQAP dan gerilyawan Selatan untuk melakukan aksi pembunuhan secara intensif terhadap pejabat-pejabat Yaman dan aset-aset yang dimiliki oleh pemerintah Amerika Serikat di Yaman.
Selain masalah Yaman Selatan, pemerintahan rejim Saleh juga sedang dilanda kemelut besar terkait dengan gerakan kelompok Syiah di Utara dalam menumbangkan pemerintahan Saleh. Munculnya kebencian kelompok Syiah ini tidak bisa kita lepaskan dari pemerintahan yang diskriminatif yang dilakukan oleh rejim Saleh yang merupakan kelompok Sunni.
Diskriminasi yang dimainkan oleh Saleh adalah tidak memberi akses yang besar terhadap kelompok Syiah dalam hal pendidikan, militer, maupun dalam pemerintahan. Praktek-praktek rejim Saleh ini identik dengan praktek-praktek yang dilakukan oleh Saddam Hussein di Irak sebelum diinvasi oleh pihak Amerika Serikat pada tahun 2003.
Berpijak dari analisa di atas maka bisa disimpulkan bahwa rejim Saleh sedang mengahadapi masalah yang besar baik di level kemiskinan maupun di level keamanan. Jika hal ini tidak segera dicari jalan keluarnya maka kegagalan besar akan terus membayangi Yaman di masa-masa yang akan datang. Wallhu a’lam Bishawab.