Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Senin, 28 Desember 2009

Kegagalan Obama di Kopenhagen
Oleh : Fatkurrohman, S.IP, M.Si[1]
Tanggal 7-18 Desember merupakan tanggal yang sangat menentukan untuk mengurangi dampak terjadinya pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change). Dalam rentang sepuluh hari tersebut, bertempat di Kopenhagen, Denmark, para negara yang masuk dalam keanggotaan Protokol Kyoto (Kyoto Protocol) dan para aktivis lingkungan mencoba merusmuskan hal yang positif bagi terciptanya dunia yang bebas dari bencana akibat pemanasan global dan perubahan iklim.
Upaya untuk membawa ke arah yang posistif tersebut ternyata tidak mudah karena adanya beragam kepentingan yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang dalam merapatkan barisan untuk mengefektifkan fungsi dari Protokol Kyoto. Salah satu negara maju yang sampai saat ini masih enggan untuk meratifikasi Protokol Kyoto adalah Amerika Serikat.
Sebetulnya Amerika Serikat di era pemerintahan Bill Clinton (1993-2001) pada tanggal 12 November 1998 pernah melakukan penandatanganan (signing) terhadap Protokol Kyoto, tetapi pada tahun 2001, penerus Clinton, yakni George W. Bush melakukan penarikan diri (pull out) terhadap Protokol Kyoto.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimanakah dengan sikap Barack Obama dalam merespon Protokol Kyoto?. Bagaimana implikasinya terhadap kredibilitas (credibility) Obama ke depan?. Pertanyaan ini sangat menarik untuk kita diskusikan karena Amerika Serikat di bawah kendali Obama diharapkan oleh banyak pihak bisa menjadi ‘imam’ bagi negara maju yang lain dalam menyukseskan Protokol Kyoto.
Munculnya Protokol Kyoto tidak bisa dilepaskan dari adanya pertemuan Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992 yang menandatangani UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) yang diratifikasi oleh 192 negara. Kemudian pada CoP-3 (Conference of the Parties) UNFCCC, di Kyoto, Jepang pada tahun 1997 menghasilkan implementasi konkret terhadap pengurangan gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global dan akan diikuti oleh perubahan iklim.
Gas Rumah Kaca yang berdampak pada terjadinya pemanasan global adalah gas Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Dinitro Oksida (N2O), Hidrofluorokarbon (HFC), Perfluorokarbon (PFC), dan Sulfur Heksafluorida (SF6). Gas-gas inilah yang akan diturunkan emisinya oleh para anggota Protokol Kyoto dalam menyikapi terjadinya pemanasan global.
Amerika Serikat pada tahun 2002 telah menyumbang emisi gas Karbondioksida (CO2) terhadap dunia sekitar 6000 juta ton atau sekitar 6 milyar ton. Maka tidak mengherankan jika pada saat itu banyak pihak mendesak AS untuk segera menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto. Ada beberapa alasan yang dipakai oleh Bush mengapa tidak segera meratifikasi Protokol Kyoto, pertama karena biaya (cost) yang dkeluarkan untuk pembiayaan energi dalam pelaksanakan Protokol Kyoto mencapai 300 milyar dolar Amerika Serikat dan yang kedua adalah melemahkan kompetisi perusahaan-perusahaan yang berada di Amerika Serikat.
Untuk itu, setelah Bush lengser dari kursi kepresidenan AS, maka harapan besar masyarakat dunia internasional tertuju kepada Obama. Dalam hal ini Obama harus bisa menangkap harapan dunia internasional untuk segera menyikapi masalah terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yang sedang melanda dunia saat ini.
Amerika Serikat sebagai negara yang mempunyai pengaruh yang kuat di level ekonomi, politik, keamanan, dan bahkan budaya di dunia internasional harus bisa mengoreksi dirinya sendiri sebelum mengajak negara lain untuk bergabung dengan Protokol Kyoto. Dua alasan besar baik yang berupa biaya tinggi maupun melemahkan kompetisi perusahaan AS perlu ditinjau kembali kebenarannya. Obama harus bisa mengatakan dan menyakinkan publik domestik AS bahwa opsi untuk meratifikasi (ratifying) Protokol Kyoto merupakan pilihan yang tepat.
Jika Obama bisa mengikuti pendahulunya yakni Clinton yang sama-sama berangkat dari Partai Demokrat dalam menandatangani Protokol Kyoto maka Obama setidak-tidaknya telah melaksanakan agenda partai yang dikenal concern dalam masalah penanganan lingkungan. Setelah itu untuk hal ratifikasi akan sangat mudah bagi Obama karena Kongres AS saat ini lebih banyak didominasi oleh Partai Demokrat daripada Partai Republik.
Jadi sebetulnya tidak ada alasan yang kuat bagi Obama untuk tidak menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto. Tetapi, jika Obama tetap berpegang bahwa bergabung dengan Protokol Kyoto hanya merupakan tindakan yang sia-sia maka implikasinya adalah Obama akan kehilangan kredibilitasnya di mata dunia internasional di tengah kontroversinya mengirimkan 30 ribu pasukan tambahan ke Afghanistan.
Berpijak dari analisa di atas maka bisa disimpulkan bahwa jika Obama tidak bisa memanfaatkan momen Kopenhagen tersebut secara baik maka Obama akan kehilangan kredibilitasnya di mata dunia internasional. Dan hal itu juga akan berdampak pada kegagalan Obama dalam mengawal platform partai yang dikenal concern terhadap masalah-masalah lingkungan khususnya Protokol Kyoto yang pernah diterima secara baik oleh Clinton. Walluhu a’lam bishawab.
[1] Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Penulis buku “Pemanasan Global dan Lubang Ozon : Bencana Masa Depan”.