Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Rabu, 16 September 2009

Resistensi Demokratisasi Afghanistan
Oleh: Fatkurrohman,S.IP,M.Si[1]

Tanggal 20 Agustus 2009 merupakan tanggal yang sangat bersejarah bagi rakyat Afghanistan. Hal ini terkait dengan diselenggarakannya pilpres (pemilu presiden) yang keduakalinya pasca tahun 2004. Dalam pertarungan politik tahun ini, setidak-tidaknya ada kurang lebih 38 calon presiden. Tetapi, di antara kandidat-kandidat tersebut ada tiga tokoh yang disinyalir akan bertarung sangat kuat. Ketiga tokoh tersebut adalah Hamid Karzai, Abdullah Abdullah, danAshraf Gani.
Hamid Karzai adalah mantan agen CIA (Central Intelligence Agency) sekaligus presiden periode 2004-2009. Karzai merupakan sosok yang dianggap memiliki peluang yang sangat besar dalam meneruskan pemerintahannya untuk yang kedua kali karena berangkat dari etnis Pasthun (etnis mayoritas di Afghanistan) dan didukung oleh para mantan komandan perang Mujahidin yang salah satunya adalah Abdul Rashid Dostum.
Abdullah Abdullah diprediksikan akan menjadi sandungan berat bagi Karzai karena posisi Abdullah yang mantan menteri luar negeri di kabinet Karzai dan mendapatkan dukungan yang sangat besar dari kelompok oposisi terbesar dalam peta politik Afghanistan yakni Front Nasional. Hal yang akan sedikit mengganggu jalan Abdullah dalam menapaki karpet merah istana kepresidenan adalah keberadaannya yang berasal dari etnis Tajik. Etnis ini adalah etnis minoritas di Afghanistan.
Ashraf Gani merupakan akademisi brilian alumnus perguruan tinggi ternama di Lebanon dan Amerika Serikat. Gani adalah sosok yang memiliki etos kerja yang luar biasa. Hal tersebut bisa dilihat ketika Gani menjabat sebagai menteri keuangan di kabinet Karzai yang bisa melaksanakan tugas-tugasnya secara efektif dan efisien.
Tulisan ini tidak akan memprediksikan kans ketiga tokoh tersebut untuk menjadi presiden Afghanistan periode 2009-2014, tetapi akan menganalisa munculnya resistensi demokratisasi di wilayah yang pernah diinvasi oleh Amerika Serikat dan para sekutunya tersebut pada tahun 2001.
Nilai-nilai demokrasi muncul di Afghanistan tidak bisa dilepaskan dengan adanya peristiwa besar yang menggoncang politik, ekonomi, dan keamanan Amerika Serikat pada tahun 2001. Pada tahun 2001, tepatnya tanggal 11 September 2001, dua simbol suci (icon) AS yakni WTC (World Trade Centre) dan Pentagon (Departemen Pertahanan) hancur karena disinyalir mendapatkan serangan dari kelompok teroris Al-Qaida yang dipimpin oleh Usamah Bin Laden.
Berpijak dari serangan yang telah mempermalukan AS tersebut maka AS dengan mengajak sekutu-sekutunya di NATO (North Atlantic Treaty Organization) untuk bersama-sama memproklamirkan diri melawan terorisme (war on terrorism). Melalui studi inteljen CIA maka ada kesimpulan besar yang diambil oleh pihak AS dan sekutu-sekutunya bahwa kelompok Taliban memiliki kaitan yang sangat kuat dengan Al-Qaida.
Berangkat dari asumsi yang tingkat kebenarannya juga masih perlu diuji kembali seperti halnya tuduhan AS terhadap Saddam Hussein yang memiliki senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction) tetapi ternyata tidak benar, maka AS yang pada waktu itu dipimpin oleh George W.Bush (2000-2008) dan para sekutunya melakukan invasi secara besar-besaran ke Afghanistan yang pada waktu itu dikuasai oleh kelompok Taliban (1996-2001).
Serangan yang masif dari AS dan sekutunya tersebut akhirnya membuat kelompok Taliban tumbang. Meski secarar ril kelompok Taliban telah tumbang pada tahun 2001, tetapi keberadaannya di Afghanistan kerap kali mengganggu jalannya pesta demokrasi yang ditawarkan oleh AS sebagai ganti produk hukum Islam versi kelompok Taliban.
Resistensi yang dimainkan oleh kelompok Taliban di Afghanistan terhadap proses demokratisasi memiliki beragam cara. Melakukan serangan bom bunuh diri (suicide bomber) dan gerilya di pusat kota-kota seperti Kandahar, Khost, Paktia, Baghlan, dan bahkan Kabul merupakan cara-cara yang sering kali dipakai oleh kelompok yang pernah eksis pada tahun 1996 tersebut.
Nasib pemilu yang digelar pada tahun ini tidak jauh berbeda ketika pemilu pertama kalinya digelar pada tahun 2004. Bahkan tahun ini di antara 32,7 juta penduduk Afghanistan, yang terdaftar sebagai pemilih hanya berkisar 15-17 juta jiwa. Hal ini sangat berbeda jauh ketika pada tahun 2004 angka pemilih mencapai 20 juta jiwa. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan ancaman yang dikemukakan oleh kelompok Taliban yang akan memotong jari setiap warga Afghanistan yang berani berpartisipasi dalam pemilu.
Selain melakukan ancaman potong jari, kelompok Taliban juga telah melakukan serangan-serangan secara masif di beberapa kota besar di Afghanistan menggunakan bom bunuh diri maupun perang gerilnya. Kondisi ini memaksa masyarakat yang mempunyai hak pilih menjadi ketakutan untuk ke luar rumah guna menyukseskan pemilu.
Untuk menekan ancaman yang datang dari kelompok Taliban, maka pihak AS dengan menggunakan kekuatan NATO yang terdiri dari 42 negara telah menempatkan sekitar 100 ribu pasukannya di wilayah-wilayah yang rentan mendapatkan serangan dari kelompok Taliban.
Genderang perang yang terus ditabuh oleh kelompok Taliban yang dikemukakan oleh juru bicara Taliban yakni Zabiullah Mujahid akan terus menggema di Afghanistan selama AS dan para sekutunya masih berada di wilayah yang diklaim miliknya tersebut. Sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari ideologi mereka yang menganggap bahwa nilai-nilai demokrasi yang dibawa oleh AS sangat berbenturan dengan ideologi mereka yang sangat tertutup yang tidak membolehkan adanya kesamaan derajat antara kaum pria dan wanita.
[1] Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.