Terorisme, Globalisasi, dan Kedaulatan Negara
Oleh:Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]
Tanggal 6-8 Agustus 2009, saya mendapakan undangan dari University of Malaya, Malaysia untuk berbicara mengenai “Pengaruh Globalisasi Terhadap Eksistensi Negara”. Dalam forum seminar internasional tersebut, saya memaparkan mengenai eksistensi negara di tengah gelombang globalisasi yang sangat dahsyat terhadap kedaulatan sebuah negara.
Fenomena globalisasi memiliki banyak kontroversi ketika kita hadapkan dengan kedaulatan negara. Menurut pandangan David Held, ada tiga perspektif yang berbeda dalam memahami hal tersebut. Pertama adalah perspektif hiperglobalis yang mengatakan bahwa globalisasi akan mengontrol negara sehingga negara kehilangan kedaulatannya. Kedua adalah perspektif skeptis yang melihat bahwa negara akan tetap eksis meski globalisasi datang bertubi-tubi. Perspektif yang terkakhir adalah transformasionalis yang menjembatani kedua perspektif di atas dengan menempatkan peran negara tidak sama sekali hilang, tetapi jika dibandingkan di masa lalu, peran tersebut sudah jauh berkurang.
Dalam tulisan ini akan menjelaskan tentang makna kedaulatan Indonesia yang pada tanggal 17 Agustus besok akan merayakan ulang tahunnya yang ke-64. Angka di atas 60-an jika diterapkan pada manusia, angka tersebut adalah sudah udzur. Artinya idealnya adalah orang tersebut sudah mengukir prestasi dan menikmati kebahagiaan di usia senja. Tetapi, jika kita terapkan di level negara memang sangat berbeda antara satu negara dengan negara lain, misalnya Malaysia dan India yang merdeka dari Inggris 1957 dan 1947 yang usianya relatif muda bisa dikatakan lebih maju secara ekonomi daripada Indonesia.
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk kurang lebih 210 juta jiwa dengan kekayaan alam yang sangat luar biasa. Tetapi, karena kekayaan tersebut tidak dikelola secara baik maka yang muncul adalah ketimpangan dan kemiskinan.
Munculnya globalisasi yang ditandai dengan kemajuan tiga bidang teknologi yang meliputi teknologi transportasi, teknologi komunikasi, dan teknologi informasi semakin membuat gelombang globalisasi semakin tidak bisa dielakkan.
Perkembangan teknologi yang begitu cepat telah mengakibatkan tidak ada ruang antara satu negara dengan negara lain. Kejadian di suatu negara akan mudah diakses oleh negara yang lainnya. Hal inilah yang kemudian memunculkan istilah ”global village” atau ”perkampungan global”. Begitu juga munculnya tindakan terorisme di Indonesia. Tindakan teror yang dimotori oleh Dr. Azhari (almarhum) dan Noordin M Top di Indonesia tidak bisa kita lepaskan dari fenomena globalisasi.
Tindakan para teroris yang mengatasnamakan agama tertentu seolah-olah menjadi brand bagi mereka untuk melakukan apa yang meraka yakini sebagai jihad. Imam Samudra, salah satu trio bomber Bom Bali I, sangat menyakini bahwa tindakan terornya terhadap Bali disebabkan ketidakadilan Amerika Serikat di Timur Tengah dan kekejaman Israel di Palestina.
Tindakan teror yang terbaru adalah tanggal 17 Juli 2009 yang telah menghancurkan lobi Hotel JW Marriott dan restoran Airlangga, Hotel Ritz-Carlton. Pengeboman kedua hotel tersebut juga disinyalir telah dilakukan oleh Noordin beserta para pengikutnya.
Potret tindakan teror yang terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh Noordin dan para selnya sangat terkait erat dengan adanya perlawanan terhadap AS dan Israel yang telah mengoyak negara-negara di Timur Tengah. Fenomena kelompok Noordin yang masuk lingkaran Jamaah Islamiyah (JI) Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari kuatnya desakan Al-Qaeda agar terus melakukan perlawanan terhadap aset-aset yang dimiliki oleh AS dan sekutu-sekutunya di Indonesia. Maka target-target pembunuhan yang dilakukan oleh para teroris adalah warga negara asing, keduataaan asing, serta ikon-ikon asing yang lain.
Fenomena para teroris yang telah banyak melakukan tindakan pengeboman di Indonesia tentu merupakan pukulan telak bagi negara yang akan memasuki usia ke-64 tersebut. Selain masalah pariwisata yang langsung terpuruk, juga masalah investasi, dan politik-keamanan. Maka tidak mengherankan jika negara-negara lain menerapkan travel warning dan travel advisory kepada setiap warga negaranya.
Fakta tersebut tentu sangat menyakitkan bagi Indonesia. Di tengah upaya pemerintah membangun ekonomi, dan menata politik pemerintahan, hantaman baik dari negara tetangga maupun dari para teroris tidak bisa dianggap sebagai angin lalu. Untuk itu, pemerintah Indonesia harus menyiapkan kerangka kerja yang kuat guna membuktikan bahwa pemerintah bisa mengatasi segala bentuk permasalahan yang ada.
Kemenangan SBY pada pemilu presiden (pilpres) 2009 harus bisa memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap Indonesia daripada periode sebelumnya. Pemilihan presiden yang sangat demokratis membuktikan bahwa SBY-Boediono betul-betul dipilih oleh rakyat. Amanah besar dari rakyat ini harus bisa diemban oleh presiden dan wakil presiden terpilih untuk bisa memberikan kesejateraan, kenyamanan, dan ketentraman bagi rakyat Indonesia.
Untuk itu, di tengah pusaran globalisasi yang sangat kuat dan ancaman teror yang tidak kunjung reda, pihak pemerintah harus menyiapkan langkah-langkah strategis untuk kemajuan negara. Indonesia harus bisa memanfaatkan globalisasi dan harus bisa mengontrol pemerintahan agar tidak diombang-ambingkan oleh aktor-aktor non negara khususnya para pelaku teror agar Indonesia bisa menjadi negara yang makmur, sejahtera, dan sentosa (baldatun toyyibatun warobun ghafur).Dirgahayu Indonesia.
[1] Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta