Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Senin, 20 Juli 2009

Tirani Berwajah Demokrasi
Oleh: Fatkurrohman, S.IP, M.Si
1
Gelombang demokrasi telah bergulir sangat cepat di negara-negara dunia ketiga. Hal itulah yang diprediksikan oleh Samuel P. Huntington bahwa demokrasi akan menjalar pasca runtuhnya pemerintahan tirani di penghujung tahun 1990-an. Tidak terkecuali Indonesia, demokrasi juga semakin menemukan bentuknya di negara yang berpenduduk kurang lebih 210 juta tersebut. Menguatnya demokrasi di Indonesia bisa kita lihat pasca runtuhnya otoritarianisme pemerintahan Soeharto selama tiga dekade, Indonesia telah menggelar pemilu secara demokratis beberapa kali yakni tahun 1999, 2004, dan 2009.
Pemilu tahun 2009, yang jatuh pada tanggal 8 Juli memberikan gambaran kepada kita bahwa pemilu betul-betul berjalan sangat demokratis meski di sana-sini masih banyak kekurangannya. Menurut hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei baik Lembaga Survei Indonesia (LSI), Lingkaran Survei Indonesia (LSI), maupun LP3ES telah menempatkan SBY-Boediono mendaptakan perolehan suara di atas 50 persen. Meski, hasil siapa pemenangnya dalam pemilu kali ini kita harus menunggu pengumuman resmi dari KPU, tetapi setidak-tidaknya inilah hasil sementara versi hitung cepat.
Dalam tulisan ini akan mencoba menganalisa prospek demokrasi di Indonesia dengan mengkomparasikannya dengan negara-negara seperti Rusia, Venezuela, Bolivia, dan Sri Lanka yang menerapkan demokrasi tetapi yang muncul adalah demokrasi semu (pseudo democracy).
Vladimir Putin merupakan sosok politisi yang mendominasi perpolitikan Rusia hampir satu dekade. Sejak terpilih secara demokratis menjadi presiden Rusia pada tahun 2000 dan terpilih lagi pada tahun 2004 menjadikan namanya begitu sangat dikenang dalam percaturan politik domestik Rusia. Meski Putin telah menempati kursi Istana Kremlin dua periode, hal tersebut ternyata tidak membuat mantan agen KGB tersebut merasa puas.
Ketidakpuasan Putin terhadap kekuasaan bisa dilihat ketika sebelum menanggalkan jabatannya sebagai presiden dan beralih menjadi perdana menteri pada tahun 2008, Putin telah sukses mengamandemen konstitusi yang membuatnya bisa maju lagi dalam pemilu presiden 2012. Batasan berkuasa hanya dua periode tidak membuat Putin kehilangan akal, maka Dmitry Medvedev dimasukkan dalam pemerintahan sebagai presiden penggantinya dengan harapan bisa memuluskan jalannya menuju Istana Kremlin lagi.
Hugo Chaves adalah sosok pemimpin yang beraliran sosialis dinegaranya yakni Venezuela. Irama demokrasi yang sedang bergulir di domestik Venezuela tidak membuat mantan perwira tersebut menjadi kehilangan cara dalam melanggengkan kekuasaannya. Salah satu cara yang dibangun Chaves adalah dengan melakukan referendum terhadap konstitusi yang awalnya membatasi kekuasaan hanya dua periode menjadi tidak terbatas.
Hal ini tentu akan mentasbihkan Chaves sebagai calon diktator terlama di dunia. Posisi sebagai presiden di Venezuela yang tanpa batas akan menjadi alat bagi Chaves untuk menyempurnakan revolusi sosialismenya. Salah satu bentuk revolusi yang dilakukannya adalah dengan melakukan nasionalisasi aset-aset negara dan melakukan renegosiasi terhadap perusahaan-perusahaan asing yang ada di negara yang kaya minyak tersebut.
Segendang sepenarian dengan Chaves adalah Evo Morales. Sikap Morales dalam melanggengkan kekuasaannya di tengah arus demokrasi tidak kalah revolusionernya dengan sekutunya di Amerika Latin, yakni Chaves. Morales melakukan aksi mogok makan pada bulan April 2009 guna memuluskan tujuannya yakni melakukan perubahan UU pemilu yang hilirnya adalah diperbolehkannya Morales dalam pemilu presiden bulan Desember 2009. Selain itu, Morales juga berhasil memperjuangkan suku asli Indian Bolivia untuk duduk di parlemen dengan jatah 14 kursi.
Aksi Morales yang bisa menunggangi demokrasi di Bolivia ini tentu tidak bisa dilepaskan dari kepiawaiannya dalam menangkap peluang politik. Artinya dengan label memperjuangkan nasib suku asli Indian Bolivia, kemudian Morales bisa memaksa demokrasi yang bergulir di negaranya agar bisa dijadikan alat agar Bolivia terus berada dalam cengkeramannya.
Mahinda Rajapaksa merupakan presiden Sri Lanka yang memiliki garis politik yang sangat keras. Sikap kerasnya tersebut bisa kita lihat dari caranya dalam menghadapi separatis Macan Tamil. Keberhasilan Rajapaksa dalam menumpas Macan Tamil yang sekaligus menewaskan pemimpin Macan Tamil, Prabhakaran, membuat namanya sangat dipuja-puja oleh rakyat Sri Lanka.
Di tengah euphoria politik masyarakat Sri Lanka, Rajapaksa ingin memanfaatkan keberhasilannya dalam menumpas kelompok separatis. Salah satu yang ingin dimanfaatkannya adalah dengan cara melakukan referendum tahun ini agar pemilu 2010 bisa dihapuskan. Hal tersebut dilakukan dengan alasan penghematan anggaran negara dan siapa pun lawannya di pemilu pasti tidak bisa menandingi popularitasnya.
Munculnya fenomena tirani dengan menggunakan topeng demokrasi sudah mulai marak di negara-negara dunia ketiga dan bahkan negara maju. Rusia, Venezuela, Bolivia, dan Sri Lanka adalah sedikit contoh yang menurut Robert Michels disebut sebagai Hukum Besi Oligarki. Oligarki menurut pandangan Michels adalah sekelompok minoritas (elit) yang menguasai atau mengeksploitasi kelompok mayoritas.
Kelompok-kelompok elit tersebut akan terus menjaga dan melestarikan kekuasaannya agar tidak bisa digoyahkan meski demokratisasi yang berasakan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat terus bergulir. Salah satu cara dalam mengelabuhi demokrasi adalah dengan cara referendum maupun amandemen terhadap konstitusi.
Indonesia sebagai negara yang sedang mekar demokrasinya tentu sangat rentan dalam mengikuti jejak negara-negara seperti Rusia, Venezuela, Bolivia, dan Sri Lanka. Untuk itu agar Indonesia tidak terjerumus dalam praktek oligarki dalam selubung demokrasi, kita harus mengawal jalannya pemerintahan. Terpilihnya SBY-Boediono versi hitung cepat memang belum final. Tetapi, jika pasangan tersebut betul-betul terpilih maka sikap checks and balances harus betul-betul terlaksana secara baik agar tidak memunculkan tirani dengan wajah demokrasi.
1 Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.