Montreal, Kyoto, dan AS
Oleh : Fatkurrohman, M.Si[1]
Bencana kebakaran yang telah melanda negara bagian California beberapa minggu yang lalu merupakan potret adanya ketidakseimbangan alam. Fenomena ini akhirnya membawa bencana demi bencana yang datang silih berganti. Di Amerika Serikat tidak hanya dihantam dengan bencana kebakaran, tetapi juga angina topan mulai dari Alicia, Katrina, Rita, Gustav, Hanna, dan Ike. Topan Ike merupakan topan berkekuatan besar pertama yang menghantam kota metropolitan Amerika Serikat sejak topan Katrina menghancurkan New Orleans, Louisiana pada tahun 2005.
Kemudian yang menjadi pertanyaanya adalah apa yang menyebabkan munculnya bencana kebakaran hingga topan yang terjadi di dunia saat ini khususnya yang terjadi di Amerika Serikat?. Pertanyaan ini sangat menarik di tengah masyarakat dunia saat ini yang sangat mengharapkan AS bisa berperan lebih besar dalam perjanjian internasional mengenai lingkungan seperti Protokol Montreal dan Protokol Kyoto.
Pada tanggal 16 September 2009 adalah hari ulang tahun Protokol Montreal yang ke-22. Munculnya Protokol Montreal dilatarbelakangi oleh adanya persolan lubang ozon (ozon hole) di benua Antartika yang sangat membahayakan bagi kehidupan mahluk hidup di dunia. Untuk itu dibentuklah Konvensi Wina pada tahun 1985 yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk Protokol Montreal pada tanggal 16 September 1987.
Protokol Montreal mengatur zat-zat yang dapat menipiskan lapisan ozon (ozon depletion) seperti CFC (Chloroflurocarbon), Bromoflurocarbon, Methyl chloroform, Carbon tetrachloride, Methyl bromide, dan Hydrochloroflurocarbon (HCFC). Zat-zat tersebut memiliki kontribusi besar dalam menipiskan lapisan ozon yang sangat berpotensi menyebabkan kanker, katarak, dan bahkan bisa merusak biota laut.
Protokol Kyoto merupakan tindak lanjut dari UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) di Kyoto, Jepang pada tahun 1997. Protokol Kyoto ini mengatur tentang pengurangan gas rumah kaca Karbondioksida (CO2) yang terkait dengan pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change).
Sikap Amerika Serikat
Amerika Serikat memiliki sikap yang berbeda dalam menyikapi Protokol Montreal dan Protokol Kyoto. Dalam Protokol Montreal, melalui perjalanan proses politik yang panjang, Amerika Serikat akhirnya menandatangani dan meratifikasi Protokol Montreal pada 21 April 1988. Sikap AS yang telah meratifikasi Protokol Montreal telah membawa keuntungan yang besar bagi penghematan anggaran 2,8 milyar dolar AS dalam penanganan kanker, katarak, dan imunitas tubuh.
Sikap yang berbeda telah diperlihatkan oleh AS terhadap Protokol Kyoto. Jika dalam Protokol Montreal, AS mau meratifikasi Protokol Montreal, dalam Protokol Kyoto, AS masih belum melakukan ratifikasi. Pada tanggal 12 November 1998, AS telah menandatangani Protokol Kyoto, tetapi pada tahun 2001, Amerika Serikat yang waktu itu di bawah pemerintahan George W. Bush mengundurkan diri (pull out) dari Protokol Kyoto.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh pemerintah Amerika Serikat pada saat itu ada tiga hal. Pertama, pelaksanaan Protokol Kyoto akan menghabiskan dana yang sangat besar yang mencapai 300 miliar dolar AS. Kedua, implementasi Protokol Kyoto akan menghancurkan sendi-sendi perekonomian AS khusunya di bidang transportasi yang menjadi primadona di Amerika Serikat. Ketiga adalah pelaksanaan Protokol Kyoto akan melemahkan kompetisi perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat.
Peduli Lingkugan
Sikap Amerika Serikat yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto sedikit banyak telah menyebabkan percepatan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim dunia saat ini. Hal ini terjadi karena AS merupakan penyumbang terbesar gas Karbondioksida (CO2) dunia.
Munculnya bencana alam baik topan, banjir, kebakaran hutan yang melanda negara-negara dunia seperti Inggris, China, India, Bangladesh, Indonesia, dan bahkan Amerika Serikat adalah dampak dari lemahnya masyarakat dunia dalam hal ketaatan (compliance) terhadap perjanjian internasional khususnya Protokol Kyoto.
Ketika kepedulian terhadap persoalan lingkungan telah memudar, maka bencana-bencana alam akan terus mengancam mahluk hidup yang ada di muka bumi. Kerugian-kerugian akibat bencana yang ditimbulkan oleh pemanasan global dan perubahan iklim tentunya akan memiliki dampak yang luar biasa baik finansial maupun psikis (traumatis).
Amerika Serikat sebagai negara yang menjadi korban bagi dampak pemanasan global dan perubahan iklim dunia saat ini adalah bukti konkret besarnya biaya (cost) yang harus ditanggung oleh pemerintah AS untuk pemulihan (recovery) dan terapi warga negaranya yang mengalami cacat mental akibat banjir, kebakaran hutan, dan topan yang berkali-kali melanda AS sejak tahun 1983.
Fakta rusaknya sendi-sendi perekonomian dan beban traumatis warga negara AS akibat pemanasan global dan perubahan iklim mestinya bisa menjadi pijakan bagi pemerintah Amerika Serikat untuk lebih peduli dengan lingkungan internasional. Sikap ini sangat dibutuhkan karena AS selain sebagai negara penghasil Karbondioksida terbesar dunia, AS juga sebagai negara yang diikuti oleh negara-negara lain di dunia karena posisinya sebagai negara adi daya dunia saat ini.
Berpijak dari refleksi 22 tahun Protokol Montreal, setidak-tidaknya Amerika Serikat di bawah pemerintahan Barack Obama bisa bersikap lebih arif dan bijaksana untuk lebih peduli dengan lingkungan. Spirit ratifikasi AS terhadap Protokol Montreal 1988 mestinya bisa memberikan efek limpahan (spill over) terhadap sikapnya untuk segera meratifikasi Protokol Kyoto. Walluhu alam bishawab.
[1] Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional, UGM Yogyakarta. Sekaligus penulis buku ”Pemanasan Global dan Lubang Ozon: Bencana Masa Depan”.