Mahalnya Kemenangan Ahmadinejad
Oleh : Fatkurrohman, S.IP,M.Si[1]
Pesta demokrasi empat tahunan di Republik Islam Iran telah diselenggarakan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh pihak pemerintah Iran yakni 12 Juni 2009. Dalam kontes perebutan jabatan politik tersebut telah menghadirkan kemenangan Mahmoud Ahmadinejad dengan perolehan suara 62,6 %, Mir Hussein Mousavi 33,8 %, Mohsen Rezai 1,7 %, dan Mehdi Karoubi 0,9 %.
Kemenangan Ahmadinejad yang lebih dari 50 % suara tersebut ternyata mendapatkan protes keras dari para pendukung Mousavi yang juga tercatat sebagai mantan perdana menteri di era perang Irak-Iran (1980-1988). Para pendukung Mousavi banyak yang melakukan demonstrasi secara besar-besaran sehingga mengakibatkan suasana pasca pemilu presiden di Iran menjadi sangat mencekam.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa kemenangan Ahmadinejad begitu sangat mahal?. Pertanyaan ini sangat menarik untuk kita bahas karena pemilu di Iran bisa menjadi cermin bagi negara-negara lain yang akan menyongsong pemilu presiden khususnya bagi Indonesia yang akan menyelenggarakan pesta demokrasi besok tanggal 8 Juli 2009.
Iran merupakan sebuah negara yang relatif demokratsi jika kita bandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Timur Tengah (middle east) seperti Mesir, Arab Saudi, Suriah, Yordania, dan bahkan Libya. Pasca revolusi Islam Iran yang dimotori oleh Ayatullah Khomeni (1902-1989) yang berhasil menumbangkan kekuasaan otoriter Shah Reza Pahlevi (1941-1979), Iran memiliki aturan konstitusi bahwa rotasi kepemimpinan tiap empat tahun harus dilaksanakan.
Rotasi kepemimpinan tersebut bisa berjalan mulus dan ada pula yang berjalan penuh dengan onak dan duri. Pemilu presiden kali ini adalah pemilu yang sangat kelabu di Iran pasca revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Kemenangan Ahmadinejad dianggap tidak sah oleh para rivalnya khususnya para pendukung Mousavi. Kelompok penentang kemenangan Ahmadinejad tersebut menganggap bahwa Ahmadinejad selaku incumbent telah melalukan beragam kecurangan pemilu yang berupa penggelembungan surat suara maupun para daftar pemilih tetap.
Hal tersebut kemudian memunculkan bentrok antara para aparat pemerintah dengan para demonstran sehingga menimbulkan korban tewas mencapai 20 orang dan puluhan orang mengalami luka-luka. Fakta ini bisa kita analisa lewat dua hal, yakni eksternal (Barat) dan internal (domestik Iran).
Pihak Barat
Ahamdinejad adalah presiden yang terpilih secara demokratis pada bulan Juni tahun 2005 mengalahkan rival terberatnya yakni mantan presiden Rafsanjani. Dalam rentang kepemimpinan Ahamdinejad (2005-2009), Ahamdinejad tergolong presiden Iran yang sangat ultrakonservatif (garis keras) dalam hal kebijakannya terhadap Amerika Serikat dan para sekutup-sekutunya seperti Inggris, Perancis, dan Jerman. Hal ini tentu sangat berbeda dengan pendahulunya yakni Mohammad Khatami (1997-2005) yang terkenal lebih moderat ketika berhadapan dengan AS.
Sikap yang sangat keras dari Ahmadinejad adalah masalah proyek nuklir Iran. Dalam masalah ini, Ahamdinejad tidak mau berkompromi dengan pihak Barat (AS) untuk menghentikan proyek prestisiusnya tersebut. Ahmadinejad tetap bersikeras bahwa Iran berhak mengembangkan nuklir karena merupakan bagian dari kedaulatan negara dan nuklir Iran diproyeksikan untuk tujuan damai bukan untuk perang.
Fenomena ini akhirnya membuat AS sedikit meradang karena keinginannya tidak bisa dipenuhi oleh Ahmadinejad. Obama kemudian mengirimkan pesan ke Ahamdinejad dan menawarkan ruang untuk saling menghormati antara satu dengan yang lainnya. Tetapi, ajakan Obama tersebut ternyata kurang mendapatkan respon yang baik dari Ahmadinejad.
Fakta ini kemudian membawa persoalan serius bagi Barat untuk tidak mendukung kepemimpinan Ahmadinejad. Hasil pemilu presiden yang dianggap sebagian kalangan sarat dengan manipulasi tersebut kemudian digunakan oleh pihak Barat untuk memprovokasi pihak yang kalah untuk menolak kemenangan Ahmadinejad. Tujuan akhirnya adalah agar Ahamdinejad tidak lagi menjabat presiden rentang empat tahun mendatang.
Domestik Iran
Empat tahun kepemimpinan Ahmadinejad telah banyak memberikan warna dalam domestik di Iran. Sikap keras Ahmadinejad terhadap Barat telah berimbas munculnya embargo bagi Iran. Selama kepemimpinan Ahmadinejad, ada beberapa kelompok masyarakat yang merasakan tingginya harga-harga kebutuhan pokok, aturan keagamaan yang sangat ketat, dan kebebasan yang terpasung.
Selain fenomena embargo yang menghantam Iran, fakta kegagalan Ahmadinejad dalam mengatasi krisis finansial global juga mendapatkan cercaan dari masyarakat. Inflasi yang terus merangkak membuat masyarakat Iran sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Kondisi ini kemudian memantik ketidaksukaan sebagian masyarakat Iran kepada sosok Ahmadinejad. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian memberikan dukungan bagi Mousavi agar bisa menggantikan Ahmadinejad. Tetapi, fakta berbicara bahwa perolehan suara Mousavi ternyata hanya setengah dari perolehan suara Ahmadinejad. Kondisi ini akhirnya membuat pendukung Mousavi melakuakn demonstrasi besar-besaran menuntut agar kecurangan pemilu ditindaklanjuti.
Meski diprotes oleh para pendukung Mousavi, terpilihnya kembali Ahmadinejad akan sangat sulit untuk diubah. Hal ini karena Ahmadinejad telah mengantongi restu dari pemimpin spritual Iran, Ali Khamenei, yang memiliki pengaruh luar biasa dalam struktur pemerintahan Iran. Selain dari Khamenei, Ahmadinejad juga mendapatkan legitimasi dari negara lain seperti Rusia dan Afghanistan.
Berpijak dari analisa di atas maka terpilihnya kembali Ahmadinejad telah menelan harga (cost) yang tidak murah yakni tewasnya puluhan rakyat Iran dan banyaknya korban yang menderita luka-luka. Fenomena tersebut tentunya tidak bisa dilepaskan dari intervensi Barat dan masalah domestik yang mendera Iran.Wallahu a’lam bishawab.
[1] Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.