Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Kamis, 11 Juni 2009

Ganjalan Obama di Timur Tengah
Oleh : Fatkurrohman, S.IP, M.Si
[1]
Tanggal 3-4 Juni 2009 ada hal yang sangat menarik di Timur Tengah. Hal tersebut adalah adanya kunjungan resmi Presiden Amerika Serikat Barack Obama ke Arab Saudi dan Mesir. Di Arab Saudi, Obama disambut sangat istimewa oleh raja Arab Saudi, Raja Abdullah, dan mendapatkan hadiah kalung emas berjuluk King Abdul Aziz Order of Merit. Di Mesir, Obama juga mendapatkan sambutan yang luar biasa dalam pidatonya di Cairo University dan tidak kurang dari 1.000 undangan memberikan aplaus kepadanya.
Fenomena hadirnya Obama di Timur Tengah ini juga tidak bisa kita lepaskan dari upaya pengganti George W. Bush tersebut dalam merajut kembali hubungan yang baik antara Amerika Serikat dengan dunia Islam, khususnya negara-negara di Timur Tengah yang telah terkoyak sejak AS di bawah kendali pendahulunya tersebut.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah apa ganjalan-ganjalan Obama dalam merajut kembali hubungan yang baik antara Amerika Serikat dengan dunia Islam ke depan?. Pertanyaan ini tentu sangat menarik untuk kita kaji karena hubungan yang baik antara AS dan dunia Islam khususnya negara-negara di kawasan Timur Tengah akan menghadirkan suasana yang relatif damai daripada harus saling curiga antara yang satu dengan yang lainnya.
Misi damai Obama dalam membangun hubungan yang baik antara AS dengan dunia Islam sudah mulai diagendakan oleh Obama pasca inagurasinya sebagai presiden ke-44 AS pada tanggal 20 Januari 2009. Obama ingin menghadirkan dan mengapus stigma negatif AS yang pada era pendahulunya sangat kental aroma tindakan militer. Afghanistan dan Irak adalah bukti konkret pendahulunya yang lebih suka menggunakan kekuatan senapan daripada diplomasi.
Agenda Obama yang ingin membangun image yang positif tersebut bisa kita lihat dari upaya-upaya Obama dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di kawasan yang dijuluki sebagai kawasan yang sangat konfliktual dan bisa kita katakan satu maqom (kelas) dengan wilayah Asia Timur. Kasus-kasus tersebut adalah konflik Palestina-Israel, nuklir Iran, dan terorisme.
Netanyahu
Upaya Obama dalam menyelesaikan masalah konflik yang melegenda antara Palestina dan Israel ke depan akan sedikit mendapatkan ganjalan yang berarti. Ganjalan tersebut bisa kita lihat dari sikap keras Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, yang terpilih pada tanggal 10 Februari 2009.
Netanyahu adalah sosok yang sangat keras dan bahkan sangat militeris dalam menyelesaikan masalah Palestina. Sikap tersebut bisa kita lihat dari beberapa fakta yang melengkapi sejarahnya. Pada masa kampanye dalam pemilihan kursi perdana menteri, Netanyahu telah berhasil menyakinkan publik Israel dengan menanam pohon Eucalyptus di Dataran Tingggi Golan, sebagai simbol perlawanannya terhadap negara-negara Arab khusunsya Palestina.
Sikap keras ini tentu sangat berbeda dengan para pendahulnya seperti Yitzhak Rabin dan Ehud Barak yang telah membidani lahirnya Perjanjian Oslo I dan Oslo II. Sikap keras Netanyahu dalam menyelesaikan masalah konflik Palestina-Israel ini juga bisa kita lihat ketika Netanyahu berkunjung ke Washington pada tanggal 18 Mei 2009. Dalam kunjungan tersebut, perdana menteri dari Partai Likud tersebut tidak bisa menerima usulan Obama mengenai solusi dua negara (two-state solution).
Fenomena ini tentu akan menjadi ganjalan yang sangat berat bagi Obama, di tengah-tengah banyaknya negara-negara di dunia internasional yang menantikan kontribusinya dalam menyelesaikan masalah konflik Palestina-Israel. Kekuatan Netanyahu akan terus menghadang langkah Obama dalam membangun solusi dua negara karena dianggap akan merugikan Israel.
Ahmadinejad
Batu ganjalan berikutnya yang akan menghadang langkah Obama dalam merajut hubungan antara AS dengan dunia Islam adalah posisi Mahmoud Ahmadinejad (2005-2009). Presiden Iran tersebut terkenal sebagai sosok yang sangat konservatif dalam mengahadapi AS. Fenomena ini sangat berbeda ketika negara para Mullah tersebut di bawah kekuasaan Mohammad Khatami (1997-2005) yang sangat moderat dan relatif bisa menjembatani hubungan Iran dan AS pasca lahirnya revolusi Islam Iran oleh Khomeini pada tahun 1979.
Masih berkuasanya Ahmadinejad ini tentu akan menjadi masalah serius bagi Obama. Dalam pidato inagurasinya ketika diangkat menjadi Presiden AS, Obama telah mengajak Iran untuk bisa membangun hubungan yang lebih baik atas dasar sikap saling memahami (mutual understanding), saling percaya (mutual trust), dan saling menghormati (mutual respect).
Tetapi, ajakan Obama tersebut kurang begitu ditanggapi oleh Ahamdinejad. Bagi pengganti Khatami tersebut, Obama masih seperti Bush yang suka menebar teror dan selalu ”mendikte” Iran khususnya dalam program nuklirnya. Harapan besar Obama dalam membangun hubungan yang baik dengan Iran mungkin hanya akan terwujud jika dalam pemilu presiden besok tanggal 12 Juni 2009, Ahmadinejad kalah dengan penantangnya yakni Mir Hossein Mousavi.

Usamah Bin Laden
Posisi kelompok teroris versi AS yakni Al Qaeda akan menjadi hambatan bagi Obama dalam mewujudkan misinya dalam membangun relasi yang seimbang dengan dunia Islam. Hal tersebut bisa kita lihat ketika Obama berkunjung ke Arab Saudi, pemimpin Al Qaeda, Usamah Bin Laden, telah menebar ancaman kepada Obama melalui stasiun televisi Al Jazeera.
Dalam pesan tersebut, Usmah akan melakukan perlawanan terhadap Obama karena presiden kulit hitam pertama AS tersebut tidak ubahnya dengan pendahulunya yakni George W. Bush yang suka menebar dendam dan kebencian terhadap dunia Islam. Al Qaeda akan berada pada posisi garda terdepan dalam melawan setiap tindakan AS yang dianggap mengganggu eksistensi Islam di Timur Tengah.
Berpijak dari paparan tersebut, maka agenda Obama dalam merajut kembali hubungan yang baik antara AS dengan dunia Islam (Timur Tengah) akan sedikit mengalami ganjalan karena tokoh-tokoh seperti Netanyahu, Ahmadinejad, dan Usamah, akan terus menjadi penghalang bagi tujuan Obama tersebut. Walluhu a’lam Bishawab.
[1] Sraf Pengajar Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.