Sri Lanka Pasca Prabhakaran
Oleh : Fatkurrohman, S.IP,M.Si
Tanggal 19 Mei 2009 menjadi akhir dari perjuangan LTTE (Liberation Tigers of Tamil Eeelam). Pemimpin Kelompok Pembebasan Macan Tamil, Vellupillai Prabhakaran bersama orang-orang terdekatnya termasuk putranya, Charles Anthony, telah dinyatakan tewas oleh Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapaksa.
Pertempuran yang dahsyat antara kelompok pembebasan dengan militer Sri Lanka terjadi di wilayah yang diklaim milik kelompok Macan Tamil. Pemerintah berhasil ‘menggiring’ kelompok tersebut pada posisi yang terjepit. Kondisi ini akhirnya membuahkan hasil dengan tewasnya tokoh-tokoh kunci kelompok Macan Tamil.
Dalam pertemperuan tersebut setidak-tidaknya telah mengakibatkan 3 ribu warga sipil tewas, 50 ribu warga sipil terjebak dalam zona perang dan mengakibatkan 200 ribu warga Tamil terserak dalam kamp-kamp pengungsian. Selain itu, kondisi tersebut juga membawa ribuan korban trauma dan protes warga minoritas Tamil di luar negeri.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimanakah kondisi stabilitas keamanan dan politik Sri Lanka paska tewasnya Prabhakaran?. Pertanyaan ini tentu sangat menarik untuk kita eksplorasi lebih jauh karena bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi negara-negara lain yang memiliki masalah yang sama dengan Sri Lanka yakni adanya kelompok-kelompok separatis atau gerilyawan di domestik mereka.
Sri Lanka merupakan wilayah yang terletak di Asia Selatan dengan total penduduk kurang lebih 21 juta jiwa. Wilayah ini pernah dijajah oleh Belanda dan Inggris dan merdeka pada tahun 1949. Menurut catatan CIA Factbook, etnis Sinhala (Budha) merupakan salah satu etnis yang sangat dominan di Sri Lanka yang jumlahnya mencapai 73,8 persen. Sementara etnis Tamil (Hindu) menjadi etnis minoritas dengan jumlah 13,9 persen.
Meletupnya persinggungan antara Sinhala dan Tamil disinyalir terjadi karena adanya diskriminasi terhadap etnis Tamil oleh Sinhala. Hal tersebut bisa dilihat dari adanya gerakan nasionalisasi Sinhala yang dilakukan oleh Presiden Sri Lanka Solomon Bandaranaike pada tahun 1950-an. Kebijakan penggunaan bahasa resmi tunggal Sinhala sebagai bahasa negara dan Budha sebagai agama nasional tersebut kemudian dilanjutkan oleh istri Solomon yakni Srimavo Bandaranaike.
Fakta ini kemudian mengakibatkan etnis Tamil tidak terima dengan diskriminasi tersebut. Pada tahun 1975, LTTE terbentuk dan menginginkan etnis Tamil berpisah dari Sri Lanka. Kemudian pada tahun 1983, perang sipil antara etnis Sinhala dan Tamil mulai pecah di Sri Lanka.
Pada tahun 1991, bom bunuh diri Macan Tamil mampu menewaskan PM India Rajiv Gandhi karena India dianggap berkonspirasi dengan pemerintah Sri Lanka. Pada tahun 1993 dan 2005, bom bunuh diri Macan Tamil juga telah menewaskan Presiden Sri Lanka Ranasinghe Premadasa dan Menlu Lakshman Kadirgamar.
Perselisihan antara Tamil dan Sinhala yang berjalan hampir tiga dekade telah mewarnai perjalanan politik, ekonomi, dan keamanan Sri Lanka. Penumpasan kelompok Macan Tamil oleh Rajapaksa yang telah mengakibatkan korban luka-luka kurang lebih 16.700 orang tersebut menjadi angin segar bagi Rajapaksa untuk melakukan rekonsiliasi nasional antara Sinhala dan Tamil.
Rajapaksa ingin melakukan pembagian kekuasaan (power sharing) dengan Tamil. Selain itu, juga ingin melakukan komunikasi yang intens dengan etnis monoritas Tamil dan berjanji tidak melakukan diskriminasi lagi. Janji Rajapaksa ini tentu bisa menjadi harapan baru bagi terciptanya stabilitas di Sri Lanka ke depan. Tetapi, janji-jani yang diungkapkan oleh Presiden Sri Lanka tersebut mendapat respon negatif dari kalangan etnis Tamil yang berada di luar negeri.
Pandangan etnis Tamil tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarah kelam persinggungan antara Tamil dan Sinhala selama seperempat abad yang telah menewaskan kurang lebih 80-100 ribu orang. Di mana Tamil menjadi etnis yang dipinggirkan dan menjadi etnis asing di negeri sendiri.
Selain itu, sikap Rajapaksa yang sangat keras, yakni yang lebih mengedepankan kekuatan militer daripada dialog akan meninggalkan dendam dan kebencian karena telah mengakibatkan ribuan etnis tamil kehilangan keluarga, rumah, dan pekerjaan. Hal ini tentu akan sangat berbeda ketika pemerintah Sri Lanka lebih mengedepankan perjanjian damai lewat dialog dalam menyelesaikan masalah etnis Tamil.
Perjanjian damai yang pernah dirajut oleh kedua belah pihak yakni Tamil dan Sinhala pada tahun 2006 di Swiss dan Norwegia mestinya bisa menjadi alat bagi bersatunya dua etnis tersebut. Tetapi, karena adanya kepentingan dari salah satu pihak yang tidak terakomodasi maka dialog tersebut kemudian mengalami jalan buntu (deadlock).
Rajapaksa mestinya harus bisa belajar dari pengalaman Indonesia dalam menangani GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Dalam hal ini, Indonesia yang dimotori oleh Jusuf Kalla bisa memberikan jalan tengah bagi GAM sehingga pertikaian antara GAM dan Indonesia bisa diselesaikan secara baik.
Ketegasan Rajapaksa dalam menyelesaikan kelompok Macan Tamil yang telah meninggalkan ribuan korban tentu bukan persoalan mudah bagi etnis Tamil untuk melupakannya. Untuk itu, pemerintahan Rajapaksa yang telah berjanji untuk mau melakukan pembagian kekuasaan dengan etnis Tamil dan mengakomodasi kepentingan Tamil setidak-tidaknya akan menjadi penawar bagi luka-luka etnis Tamil.
Tetapi, jika pemerintahan Rajapaksa mengingkari kebijakannya dalam mengakomodasi dan pembagian kekuasaan dengan etnis Tamil, maka akan semakin memunculkan kebencian yang luar biasa di kalangan etnis Tamil dan ujung-ujungnya adalah akan memunculkan instabilitas di Sri Lanka ke depan. Untuk itu, meski Rajapaksa tidak bisa mencontoh Indonesia dalam menyelesaikan kelompok separatis dan lebih memilih jalan penggunaan kekuatan militer, maka satu-satunya cara dalam menjaga stabilitas Sri Lanka adalah dengan merangkul etnis Tamil dalam membangun pemerintahan ke depan yang lebih baik. Walluhu a’lam bishawab.