Korut Menantang Dunia
Tanggal 5 April 2009 merupakan tanggal yang bersejarah bagi Korea Utara (Korut). Hal ini terkait dengan kesuksesan negeri yang sangat tertutup tersebut dalam meluncuran roket Unha-2 dari landasan Musudan-ri yang terletak di wilayah timur laut Korut. Langkah fenomenal Kim Jong-il tersebut tidak bisa dilepaskan dari sikap pemimpin otoriter itu untuk membuktikan eksistensinya di mata dunia dunia internasional.
Upaya Korut dalam hal peluncuran roket sebetulnya telah mendapatkan tekanan dari negara-negara yang tidak sepaham dengan negara komunis tersebut seperti Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Ketidaksepaman ketiga negara tersebut terkait dengan upaya Korut yang menggunakan roket sebagai alat untuk meluncurkan rudal balisitik Taepodong-2 yang secara teori bisa menjangkau wilayah AS.
Untuk menghentikan peluncuran roket Korut, negara tiga serangkai yakni Jepang, Korsel, dan AS telah menyiapkan senjata antirudalnya untuk menembak jatuh roket Korut jika sewaktu-waktu roket jadi diluncurkan. Tetapi, ancaman negara tiga serangkai tersebut ternyata hanya pepesan kosong yang hanya keras dalam retorika. Buktinya adalah roket Korut tetap meluncur tanpa hambatan sama sekali dari musuh-musuhnya.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa Korut menantang dunia dengan tetap meluncurkan roket di tengah tekanan dunia internasional khususnya Jepang, Korsel, dan AS?. Apa motif dibalik peluncuran roket tersebut?. Pertanyaan ini sangat penting untuk kita kupas karena terkait dengan kedaulatan (sovereignty) sebuah negara di tengah komunitas internasional.
Perjalanan Korut dalam hal pembuktian eksistensinya sebagai sebuah negara begitu sangat panjang. Berangkat pada tahun 1965, Korut mulai membangun reaktor nuklir di Yongbyon. Dua dekade berikutnya, yakni pada tahun 1985, Korut menandatangani perjanjian NPT untuk tidak mengembangkan senjata nuklir. Untuk melengkapi perjanjian NPT, maka pada tahun 1992, Korut masuk menjadi anggota badan energi atom internasional (IAEA).
Pada tahun 2002, Korut keluar dari NPT karena merasa tidak nyaman dengan sikap AS yang memasukkan Korut sebagai salah satu negara poros setan (axis of evil). Pada tahun 2005, Korut mendeklarasikan diri memiliki senjata nuklir dan pada tahun 2006 mengujinya. Langkah berikutnya adalah diluncurkannya roket yang diduga mengusung satelit komunikasi Kwangmyongsong-2 pada tanggal 5 April 2009.
Langkah terobosan yang dilakukan Kim Jong-il dalam peluncuran roket tersebut bisa menjadi simbol bahwa setiap negara yang berdaulat memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri-sendiri. Salah satu bentuknya adalah kebebasan dalam hal peluncuran roket meski mendapatkan ganjalan yang sangat kuat dari negara raksasa dunia seperti AS dan sekutu-sekutunya.
Kebebasan berekspresi dalam hal peluncuran roket Korut juga mendapatkan respon yang sangat baik dari Iran. Hal tersebut bisa dilihat dari utusan khusus Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad yang terdiri dari 15 tenaga ahli yang merupakan petinggi senior dari perusahaan pengembang roket dan satelit Iran, Shahid Hemmat Industrial Group, yang bertugas untuk membantu Korut dalam menyukseskan peluncuran roketnya.
Segendang dan sepenarian terhadap dukungan peluncuran roket Korut juga berasal dari China dan Rusia. Posisi ini sangat menguntungkan Korut karena dengan adanya dukungan dua negara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB tersebut posisi Korut akan relatif lebih aman karena bisa mengimbangi sikap AS di DK PBB. Maka tidak mengherankan jika dalam internal DK PBB terbelah ke dalam dua blok, blok yang satu mengecam Korut, sementara blok yang lain menyetujui langkah Korut.
Dukungan yang datang dari Iran, China, dan Rusia terhadap Korut ini bisa menjadi sebuah potret bahwa setiap negara berhak untuk mengambil sikap sendiri dan berhak untuk menentukan kepentingan nasionalnya. Hal ini sekaligus juga bisa menjadi simbol adanya bipolar (dua kutub) dalam panggung dunia internasional.
Ada beragam motif yang ingin diperoleh oleh Kim Jong-il dengan peluncuran roketnya. Motif ekonomi dan politik merupakan motif yang sangat substansial diantara banyak motif yang ingin dicapai oleh Kim.
Motif ekonomi terkait dengan perundingan enam negara seperti AS, Korsel, China, Rusia, Korut, dan Jepang, dalam kerangka Six Party Talks (SPT). Perundingan ini bertujuan untuk melucuti senjata nuklir Korut agar tidak mengganggu situasi keamanan politik khususnya di kawasan Semenanjung Korea dan dunia pada umumnya.
Perundingan tersebut pada awalnya sedikit membuahkan hasil dengan good will Korut yang mau menutup reaktor nuklirnya di Yongbyon dan Korut mendapatkan kompensasi ekonomi dari AS berupa bantuan makanan dan kemanusiaan sebesar 50 ribu ton. Selain itu, AS juga mencairkan dana Korut yang sebelumnya dibekukan sebesar USD 25 juta.
Kali ini, Korut juga akan memainkan kartu peluncuran roket sebagai alat bargaining position di depan AS dan sekutu-sekutunya dalam mewujudkan kepentingan ekonominya. Kita paham bahwa Korut merupakan negara yang sangat miskin dan pernah dilanda kelaparan yang luar biasa sehingga mengakibatkan jutaan warga tewas dengan sia-sia. Maka momen ini adalah waktu yang tepat untuk meminta kompensasi ekonomi ke AS dan sekutu-sekutunya lewat kerangka SPT.
Motif politik akan terkait dengan kekuasaan (power). Hal ini erat kaitannya dengan pandangan Couloumbis dan Wolfe yang memandang power akan bersinggungan dengan wewenang (authority), daya paksa (force), dan pengaruh (influence). Peluncuran roket Korut tentunya tidak bisa dilepaskan dari upaya membangun kekuasaan di panggung dunia internasional di tengah jepitan dominasi AS dan sekutu-sekutunya.
Berpijak dari paparan tersebut di atas maka peluncuran roket yang dilakukan Korut merupakan representasi dari kebebasan dari sebuah negara dalam mewujudkan kedaulatan serta eksistensinya. Sementara perolehan kompensasi berupa bantuan makanan dan pembangunan kekuasaan menjadi motif ekonomi dan politiknya.