Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Kamis, 19 Maret 2009

Hillary Menyulut Konflik Korea
Tanggal 20 Februari 2009 adalah hari lawatan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Rodham Clinton di Korea Selatan. Dalam kunjungannya di Korsel, Hillary Clinton mendapatkan respon yang negatif dari Korea Utara. Berbeda dengan Korut, pemerintah Lee Myung-bak di Korsel menerima dengan tangan terbuka kedatangan sang patron yang nantinya bisa memberikan keamanan yang spesifik jika sewaktu-waktu pecah perang saudara jilid II.
Agenda utama Hillary ke wilayah Semenanjung Korea adalah implementasi dari pesan penting Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang ingin menyelesaikan wilayah-wilayah yang sedang berkonflik. Konflik di Semenanjung Korea telah terjadi pada rentang waktu 1950-1953 yang mengakibatkan ribuan orang harus kehilangan saudara-saudara mereka baik yang tinggal di Korut maupun di Korsel.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa kunjungan Hillary Clinton ke Korsel bisa menyulut terjadinya konflik di antara Korsel dan Korut?. Pertanyaan ini sangat penting untuk kita eksplor lebih jauh karena posisi Amerika Serikat sebetulnya sangat penting dalam meredam tidak terulangnya mimpi buruk bangsa Korea 59 tahun yang lalu.
Sejarah lahirnya Korea Utara dan Korea Selatan tidak bisa dilepaskan dari tindakan Amerika Serikat yang telah menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang pada tahun 1945. Luluh lantahnya Hiroshima dan Nagasaki menandai takluknya Jepang terhadap tentara Sekutu. Ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II maka Amerika Serikat dan Uni Soviet mendarat di Semenanjung Korea. Berdasarkan garis lintang 380 maka Semenanjung Korea dibagi jadi dua. Korea Selatan diduduki oleh AS, sementara Korea Utara menjadi milik Uni Soviet.
Pertarungan dua ideologi antara AS (kapitalisme) dan Uni Soviet (komunisme) yang dikenal sebagai Perang Dingin (cold war) memunculkan perseturuan yang tidak mudah diselesaikan. Hal ini terjadi karena Korsel mengklaim bahwa Korut adalah wilayahnya yang hilang dan harus kembali ke Korsel, sementara Korut berpendapat bahwa Korsel harus dikomuniskan.
Untuk mendukung rencana Korut tersebut maka Uni Soviet pada tahun 1950 telah memberikan training pembuatan nuklir yang kemudian dilanjutkan pada tahun 1965 dengan pembangunan reaktor nuklir di Yongbyon. Pada tahun 1985, sebagai wujud ketaatannya pada perdamain dunia, Korut menjadi anggota NPT (nuclear non proliferation treaty). Selain masuk NPT, Pada tahun 1992, Korut juga menjadi anggota IAEA (International Atomic Energy Agency).
Pada tahun 2002, Korut menyatakan diri keluar dari NPT karena menurut pandangan AS yang waktu itu dipegang oleh George W. Bush telah menganggap Korut mengembangkan senjata nuklir. Untuk meredam Korut, maka pada tahun 2003 terbentuklah Six-Party Talks yang beranggotakan Korut, Korsel, Jepang, China, Rusia, dan AS. Media tersebut ternyata kurang efektif sehingga pada tahun 2006, Korut berhasil menguji nuklirnya di kota Gilju, provinsi Hamgyong yang menimbulkan gempa berkekuatan 6 skala richter.
Keberanian Korut yang terus menunjukkan eksistensinya di mata dunia internasional khususnya di wilayah Asia Timur, membuat negara-negara tetangganya yang memang sejak awal memiliki bibit-bibit konflik menjadi merasa tidak aman. Fakta tersebut betul-betul dirasakan oleh Korsel dan Jepang yang memang memiliki persinggungan sejarah yang kelam.
Bibit-bibit konflik tersebut semakin terbuka lebar dengan kunjungan Hillary Rodham Clinton ke Korsel beberapa minggu yang lalu. Dalam kunjungannya di Korsel, Hillary menekankan kepada Korut agar tidak melakukan provokasi yang mengarah terjadinya perang terbuka. Tetapi, pandangan Hillary tersebut hanya ditanggapi dingin oleh Korut dengan cara menyiagakan 1,19 juta pasukannya dan memutasi sejumlah petinggi militernya.
Selain itu, Korut juga disinyalir akan menguji rudal jarak jauhnya yakni Taepodong-2 yang diprediksikan bisa menjangkau AS. Dari kalkulasi persenjataan, Korut diindikasikan juga mempunyai 1000 buah rudal jarak dekat yakni Scud dan Nodong yang memiliki jangkauan 310 mil (500 km) yang bisa menjangkau Korsel dan Jepang. Selain itu, Korut juga dianggap memiliki 2 senjata nuklir dan mempunyai stok 40 kilogram plutonium.
Posisi ini tentunya membuat wilayah di Semenanjung Korea akan diliputi ketegangan yang tinggi khususnya hubungan antara Korsel dan Korut. Kedatangan Hillary di Kosel mestinya bisa menjembatani bagaimana membangun mekanisme yang baik dalam mendamaikan dua Korea tersebut. Sikap Korut semakin menjadi-jadi ketika pasca kunjungan Hillary dari Korsel, pihak AS dan Korsel akan melakukan latihan gabungan bersama dengan sandi ”Key Resolve/Foal Eagle” yang akan berlangsung 9-20 Maret di wilayah Semenanjung Korea.
Fakta ini akan semakin memanaskan suasana keamanan yang mestinya bisa dibangun pasca kepemimpina George W. Bush yang pernah memasukkan Korut sebagai exis of evil bersama Irak, dan Iran. Menekan Korut dengan model yang dimainkan Bush hanya akan membuat Korut semakin kokoh untuk terus menebar terornya di Semenanjung Korea. Kegagalan Six-Party Talks dan memasukkan Korut dalam poros setan tentu harus menjadi pelajaran penting bagi Hillary agar membuat evaluasi dan terobosan baru dalam menyelesaikan masalah Korea Utara dan Korea Selatan.
Hillary mungkin harus belajar dari Presiden Korsel Kim Dae-Jung dalam membuat sebuah mekanisme pendekatan yang lebih mengedepankan intensitas dialog daripada pendekatan militer. Model pendekatan Kim Dae-Jung yang berlabelkan Sunshine Policy telah membawa dua Kim yakni Kim Dae-Jung dan Kim Jing Il bertemu di Pyongyang, Korea Utara, pada tahun 1999.
Berpijak dari paparan di atas, maka kebijakan Hillary yang kental dengan aroma militer dalam wujud latihan gabungan bersama antara tentara Korea Selatan dan Amerika Serikat selama 11 hari di Semenanjung Korea hanya akan menyulut terjadinya perang terbuka antar dua saudara tersebut. Hillary mestinya bisa belajar dari Kim Dae-Jung sehingga ke depan wilayah Semenanjung Korea bisa stabil dalam bingkai kerukunan antar Korea.Wallohu a’lam.