Konflik Palestina-Israel Agenda Berat Bagi Hillary
Tanggal 2 Maret 2009 adalah momen yang sangat menentukan bagi perdamaian antara Palestina dan Israel karena pada tanggal tersebut Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton dijadwalkan akan bertemu dengan perdana menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Israel dan dilanjutkan dengan mengunjungi Tepi Barat untuk bertemu dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Agenda kunjungan Hillary ke Timur Tengah khususnya di Palestina dan Israel merupakan implementasi dari keinginan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang ingin mewujudkan perdamaian yang konkret antara Palestina dan Israel sejak diproklamasikannya kemerdekaan Israel pada tanggal 15 Mei 1948.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimanakah langkah Hillary dalam menyelesaikan masalah Palestina-Israel? Dan apa saja kendala-kendala yang akan dihadapi Hillary?. Pertanyaan ini sangat menarik untuk kita diskusikan karena dalam masalah inilah kepemimpinan Obama banyak diharapkan bisa berbuat lebih baik bagi terwujudnya wilayah yang stabil di kawasan Palestina.
Hillary Clinton adalah mantan ibu negara ( first lady) saat mendampingi suaminya yakni Bill Clinton yang menjabat sebagai presiden Amerika Serikat ke-42 rentang waktu (1993-2001). Hillary yang juga pernah menjadi senator kemudian mencoba mengambil bagian dalam perebutan calon presiden dari Partai Demokrat dan menjadi rival terberat Obama. Dalam pertarungan perebutan kandidat calon presiden tersebut, akhirnya Hillary harus mengakui keunggulan Obama.
Ketika Obama menjadi presiden, maka Hillary ditunjuk sebagai menteri luar negeri (secretary of state) yang nantinya bisa menjadi komunikator yang baik bagi Obama dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di panggung internasional khususnya yang terkait dengan masalah konflik Palestina dan Israel.
Kunjungan awal Maret Hillary di Israel dan Palestina untuk bertemu dengan tokoh-tokoh penting dari dua kubu tersebut diharapkan bisa memberi lampu penerang bagi terwujudnya perdamaian di kedua belah pihak. Selain bertemu dengan elit-elit Israel dan Palestina, Hillary juga dijadwalkan akan menghadiri acara negara-negara donor di Mesir tentang rekonstruksi Gaza. Dalam hal ini pemerintah Amerika Serikat akan memberikan bantuannya sebesar USD 900 juta (Rp.10,8 triliun).
Langkah Hillary dalam menyelesaikan konflik kewilayahan dan kemanusiaan di wilayah Palestina merupakan langkah konkret yang harus didukung oleh dunia internasional. Langkah tersebut diharapkan bisa mengulang kesuksesan adanya perjanjian damai baik Perjanjian Oslo maupun Perjanjian Annapolis.
Salah satu hal yang yang menyebabkan tidak terimplementasinya setiap perjanjian secara baik adalah adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak dan tidak adanya netralitas dalam mengawal perjanjian damai tersebut. Dalam banyak hal, Israel telah melakukan pelanggaran terhadap gencatan senjata yang diatur dalam setiap perjanjian, tetapi Amerika Serikat tidak pernah memberikan kecaman maupun sanksi terhadap Israel.
Hal yang sangat berbeda terjadi jika Palestina (Hamas) yang melakukan pelanggaran akan langsung mendapatkan reaksi yang keras dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dan bahkan bombardemen dari Israel. Fenomena ini tentunya harus diperbaiki dan dievalusi oleh Hillary jika ingin mewujudkan perdamaian yang nyata dalam konflik Palestina-Israel.
Langkah-langkah Hillary dalam mewujudkan kawasan Palestina yang damai memang agak berliku. Selain harus menata ulang model perjanjian dan netralitas, Hillary harus berhadapan dengan kondisi politik domestik Israel yang sekarang berada dalam genggaman Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan posisi dari Hamas (Harakat Al-Muqawama Al-Islamiyya).
Benjamin Netanyahu resmi mendapatkan kursi sebagai perdana menteri Israel pada tanggal 19 Februari 2009. Ini adalah kursi kedua setelah sebelumnya Netanyahu juga menempatinya pada tahun 1996-1999. Karakter kepemimpinan Netanyahu yang sangat militeris dan tanpa kompromi dalam masalah Palestina tentunya akan sangat menyulitkan bagi agenda Hillary dalam membangun hubungan yang damai antara Palestina dan Israel.
Karakter Netanyahu tersebut bisa dilihat ketika pada tahun 1997, Netanyahu membangun pemukiman Har Homa yang terletak antara Yerussalem Timur dan Bethlehem yang memantik reaksi keras dari Palestina. Selain itu juga dalam kampanye politiknya menjelang pemilu yang digelar pada tanggal 10 Februari 2009, Netanyahu sudah mencanangkan untuk siap melakukan penyerbuan besar-besaran terhadap Hamas yang pada era Olmert dianggap gagal dalam menghabisi Hamas.
Sikap Netanyahu yang sangat keras terhadap Hamas semakin mendapatkan angin segar ketika Tzipi Livni, pemenang pemilu dari Partai Kadima, yang bisa dikatakan lebih moderat tidak mau menerima pinangan Netanyahu dalam membangun koalisi. Maka opsi Netanyahu akan jatuh pada partai-partai ekstrim kanan yang memang satu visi dengan perdanan menteri baru tersebut.
Hamas merupakan organisasi yang bertujuan untuk menegakkan Islam yang sekarang menguasai Jalur Gaza. Organisasi ini pernah memenangkan pemilu di Palestina pada tahun 2006 dengan memperoleh 76 suara parlemen dari total 132 suara. Sementara Fatah hanya mampu memperoleh 43 suara. Kemenangan ini kemudian mengantarkan Ismail Haniya, salah seorang pemimpin Hamas, menjadi perdana menteri Palestina.
Tetapi, karena Hamas dicap sebagai kelompok teroris oleh George W.Bush maka kemenangan Hamas tersebut tidak diakui oleh Amerika Serikat. Untuk mewujudkan perdamaian di Palestina mestinya AS mengakui pemilu yang telah berjalan secara demokratis tersebut dan menghapus cap teroris terhadap Hamas.
Berpijak dari paparan tersebut maka langkah pemerintah Obama dengan mengirimkan Hillary ke Israel dan Palestina merupakan langkah maju dalam mewujudkan perdamaian di wilayah tersebut. Tetapi agenda perdamaian tersebut mendapatkan batu sandungan dengan terpilihnya Netanyahu dan cap teroris yang masih melekat di Hamas.