Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Jumat, 20 Februari 2009

Politik Eucalyptus Netanyahu
Pemilu nasional untuk memilih pengganti Ehud Olmert telah diselenggarakan di Israel pada tanggal 10 Februari 2009. Dalam pesta demokrasi tersebut, posisi teratas diduduki oleh Tzipi Livni dari Partai Kadima yang berhaluan kiri-tengah dengan jumlah kursi 28. Sementara posisi kedua ditempati oleh Partai Likud yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu dengan perolehan 27 kursi. Posisi ketiga dipegang oleh Partai Yisrael Beitenu yang dikendalikan oleh Avigdor Lieberman dengan 15 kursi. Posisi keempat ditempati oleh Partai Buruh yang dipimpin oleh Ehud Barak dengan perolehan 13 kursi.
Melihat konfigurasi perolehan jumlah kursi tersebut, maka untuk mengetahui pengganti Perdana Menteri Ehud Olmert ke depan harus menunggu posisi tawar menawar dan negosiasi antar partai politik agar bisa berkoalisi. Jalan koalisi ini diambil karena tidak ada suara mayoritas yang diperoleh oleh partai-partai yang bertarung dalam pemilu kali ini. Jika partai tidak ingin berkoalisi maka partai tersebut harus bisa memperoleh minimal 61 kursi dari total 120 kursi yang ada di parlemen (Knesset).
Dinamika politik domestik pasca pemilu berjalan sangat cepat, meski Livni memimpin perolehan suara, tetapi untuk mengantarkannya ke tampuk kursi Perdana Menteri Israel sangat sulit. Berpijak dari kalkulasi politik yang berkembang, Netanyahu memiliki kans besar untuk menggantikan Olmert karena mendapatkan banyak dukungan dari partai-partai lain. Bahkan deal-deal politik yang berkembang antara Kadima dan Likud akan menempatkan Netanyahu menjadi perdana menteri dan Kadima yang dipimpin Livni akan mendapatkan posisi-posisi strategis di kementerian.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimanakah politik (kebijakan) yang dimainkan oleh Netanyahu jika nanti menjadi pengganti Olmert terhadap Hamas dan negara-negara Arab?. Pertanyaan ini sangat menarik untuk kita eksplorasi karena menyangkut prospek perdamain khususnya Palestina (Hamas) dan negara-negara Arab pada umumnya.
Benjamin Netanyahu adalah mantan Perdana Menteri Israel tahun 1996-1999. Dalam masa pemerintahannya, hubungan Israel dan Palestina memanas yang ditandai dengan adanya Protokol Hebron yang membagi kota Hebron di Tepi Barat menjadi wilayah Palestina dan Israel. Selain itu juga, Israel memulai pembangunan pemukiman Har Homa yang terletak antara Yerusalem Timur dan Bethlehem.
Karakter kepemimpinan Netanyahu yang sangat suka perang dan ultranasionalis mendapatkan respon yang sangat kuat di dalam domestik Israel pasca agresi 22 hari terhadap Hamas di Jalur Gaza (Gaza Strip) yang telah menewaskan 1.300 jiwa dan 13 jiwa di pihak Israel. Ketidakpuasan publik Israel terhadap agresi tersebut terjadi karena Hamas tidak bisa dimusnahkan dan munculnya gencatan senjata (ceasefire).
Harapan besar masyarakat Israel tersebut segendang sepenarian dengan janji-janji politik Netanyahu yang ingin membasmi Hamas sampai ke akar-akarnya. Sebagai simbol perlawanannya terhadap Hamas dan negara-negara Arab seperti Syria, Iran, dan Lebanon, Netanyahu menanam pohon Eucalyptus di Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi oleh Israel dari Syria pada tahun 1981.
Penanaman pohon tersebut menjadi simbol bahwa mantan perdana menteri tersebut tidak akan pernah berkompromi dengan negara-negara yang dianggap berbahaya bagi eksistensi Israel. Hal tersebut tentu sangat berbeda dengan kepemimpinan Yitzhak Rabin dan Ehud Barak yang lebih mengedepankan negosiasi daripada milterisme sehingga memunculkan Perjanjian Oslo I dan Perjanjian Oslo II.
Penempatan kekuatan militer sebagai panglima dalam kebijakan Netanyahu tentunya akan membawa preseden buruk bagi terciptanya perdamaian di kawasan Timur Tengah khususnya masalah Palestina (Hamas). Sikap keras Netanyahu tersebut tentu akan mendapatkan perlawanan yang kuat dari pihak Hamas. Fakta telah membuktikan bahwa meski Hamas dibombardemen dengan segala cara oleh Israel dalam agresi 22 hari, sampai detik ini Hamas masih tetap eksis dan bahkan kerap kali menghujani Israel dengan roket-roketnya.
Solidaritas terhadap pembasmian Hamas tentunya akan datang dari beragam kelompok, khususnya dari Hezbollah yang berada di Lebanon Selatan. Pada tahun 2006, Israel harus dibuat malu oleh Hezbollah dalam pertempuran 36 hari dan memaksa Israel harus menarik semua pasukannya dari lini Lebanon Selatan. Pada agresi 22 hari yang lalu, pihak Hezbollah juga beberapa kali meluncurkan roketnya ke Israel.
Hal ini mengindikasikan bahwa pendekatan militerisme yang nantinya akan diterapkan oleh Netanyahu dalam menghabisi Hamas akan mendapatkan jalan yang terjal. Dan seandainya Netanyahu berhasil membasmi Hamas maka Israel akan mendapatkan kecaman dunia internasional karena telah mealukukan genosida terhadap Hamas.
Netanyahu tidak hanya bersikap keras dengan Hamas, tetapi juga terhadap negara-negara Arab yang dianggap melawan Israel. Negara-negara seperti Syria, Lebanon, dan Iran dianggap sebagai duri dalam daging dalam politik luar negeri Israel. Alasan terkuat yang akan dipakai oleh Netanyahu untuk menghancurkan Syria adalah persoalan Dataran Tinggi Golan. Dalam beberapa hal Syria ingin mengambil kembali wilayahnya yang hilang dengan cara damai, tetapi Netanyahu menolak keras dan akan menggunakan kekuatan militer untuk menghadang Syria.
Sikap yang sama Netanyahu juga diterapkan terhadap Lebanon dan Iran. Terkait dengan Lebanon, khususnya Hezbollah, Israel tentu akan melakukan balas dendam terhadap kekalahannya pada tahun 2006. Persoalan dengan Iran tentu tidak bisa dilepaskan dengan Ahmadinejad yang ingin menghapus Israel dari peta dunia.
Berpijak dari paparan di atas, maka jika nanti Netanyahu menggantikan Olmert, maka bisa dipastikan kawasan Timur Tengah khususnya Palestina (Hamas) akan banyak bersinggungan dengan konflik. Bahkan melihat rekam jejak (track record) dan kampanye politik Netanyahu maka perang akan lebih dominan daripada negosiasi.