Bencana Menghadang Thailand
Kontraksi politik dan keamanan yang luar biasa sedang melanda Thailand beberapa bulan terakhir ini. Puncaknya adalah gagalnya Thailand dalam menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang rencananya akan dihadiri oleh Cina, Korea Selatan, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan India pada tanggal 11 April 2009 di Hotel Royal Clif Beach Resort, Pattaya.
Kegagalan penyelenggaraan KTT ASEAN ini adalah mimpi terburuk bagi perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara sejak berdiri pada tahun 1967. Fakta gagalnya penyelenggaraan KTT di Thailand ini juga merupakan tamparan keras bagi Perdana Menteri (PM) Abhisit Vejjajiva yang telah dilantik menjadi PM pada tanggal 17 Desember 2008.
Gelombang protes massa demonstran pendukung mantan PM Thaksin Shinawatra di era Abhisit ini semakin bringas ketika keinginan mereka agar PM Abhisit mundur tidak mendapatkan respon dari pihak pemerintah. Gerakan mendelegitimasi pihak yang sedang berkuasa ini tidak hanya terjadi di era PM Abhisit, tetapi juga di era dua perdana menteri sebelumnya yakni Samak Sundaravej dan Somchai Wongsawat.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa Thailand mengahadapi bencana politik secara terus menerus pasca pemerintahan Thaksin?. Bagaimanakah solusinya?. Pertanyaan ini sangat penting untuk kita kupas karena persoalan stabilitas negara merupakan sesuatu yang substansial dalam relasinya dengan negara-negara di panggung internasional.
Thailand merupakan negara yang memiliki bentuk pemerintahan monarki konstitusional dengan raja yang sangat karismatik dan terlama di dunia Bhumibol Adulyadej. Thailand memiliki penduduk kurang lebih 64.700.000 (2006) jiwa dan luas kewilayahan 514 kilometer persegi. Thailand bisa dikatakan sebagai negara yang kerap kali mengalami kudeta militer. Sejak tahun 1930, Thailand setidak-tidaknya telah mengalami 18 kali kudeta militer.
Pemerintahan yang relatif demokratis di Thailand terjadi pada tahun 1997 yang menempatkan Thaksin Shinawatra sebagai perdana menteri. Kekuasaan Thaksin berkahir karena dikudeta oleh pihak militer pada tanggal 19 September 2006. Alasan yang dipakai oleh pihak militer adalah karena Thaksin telah menjual aset negara dan melakukan tindak pidana korupsi.
Pasca lengsernya Thaksin dari kursi PM, maka pemerintahan dewan jenderal di bawah Jenderal Surrayud Chulanot menguasai pemerintahan dan mengadakan pemilu demokratis pada tanggal 23 Desember 2007. Kepemimpinan Thailand kemudian bergeser ke tangan Samak Sundaravej, ketua PPP (People’s Power Party). Karena Samak dianggap melakukan pelanggaran terhadap persoalan rangkap jabatan maka Mahkamah Konstitusi (MK) melengserkannya.
Pemerintahn berikutnya dipegang oleh Somchai Wongsawat yang merupakan adik ipar mantan PM Thaksin. Pemerintahan ini pun tidak bisa berjalan mulus karena Somchai dianggap telah melakukan kecurangan pemilu pada tahun 2007. Pemerintahan pun berganti ke Abhisit Vejjajiva yang diangkat pada 17 Desember 2008 dan merupakan PM yang ke-27 di Thailand.
Berangkat dari pengalaman sejarah sebelumnya, pemerintahan Abhisit ini juga mendapatkan tekanan yang kuat dari masyarakat Thailand khususnya yang tinggal di pedesaan yang merupakan pendukung utama kekuatan Thaksin. Hampir selama empat bulan Abhisit terus digoyang olah massa pro-Thaksin dan puncaknya adalah mempermalukan Abhisit karena gagal menyelenggarakan KTT ASEAN.
Bencana politik yang terus melanda Thailand pasca pemerintahan Thaksin terjadi karena tidak adanya legitimasi dan figur yang kuat di Thailand. Legitimasi ini terkait dengan pengakuan seluruh elemen masyarakat Thailand. Fakta di lapangan membuktikan bahwa jatuhnya pemeritahan Samak Sundaravej dan Somchai Wongsawat yang merupakan representasi dari partai pendukung Thaksin yakni Partai Kekuatan Rakyat (PPP) tidak bisa diterima oleh pihak oposisi yakni Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) yang merupakan pendukung Abhisit.
Hal ini mengindikasikan bahwa politik saling jegal di Thailand ini tidak akan pernah terjadi jika mereka para masyarakat Thailand menjunjung tinggi legalitas pemilu serta lebih mengedepankan kepentingan nasional (national interest) daripada kepentingan primordial maupun kelompok. Selain persoalan legitimasi, persoalan figur yang kuat juga menjadi masalah besar di Thailand. Pasca lengsernya Thaksin, belum ada tokoh yang bisa menjadi lem perekat bagi semua elemen di Thailand.
Potret Thaksin yang bisa bertahan memimpin Thailand rentang waktu 1997-2006 merupakan sosok yang relatif bisa merangkul semua golongan di Thailand. Hal ini tentu berbeda sekali dengan sosok Abhisit yang lebih dekat dengan kalangan militer, istana, pebisnis, dan golongan menengah. Posisi yang diskriminatif terhadap kalangan bawah yang memang basis kekuatan Thaksin ini akhirnya meluapkan kekecewaanya terhadap PM Abhisit agar lengser keprabon.
Solusi untuk mengatasi persoalan politik di Thailand adalah semua elit politik maupun masyarakat harus mengakui pemerintahan yang dihasilkan lewat pemilu. Artinya siapa pun perdana menterinya, baik itu dari Partai Kekuatan Rakyat maupun Aliansi Rakyat untuk Demokrasi harus diterima dengan lapang dada (legowo).
Selain itu, figur yang tampil menjadi perdana menteri harus bisa menjadi lem perekat bagi semua golongan dan harus menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan partai, pribadi, maupun golongan. Hal ini perlu dilakukan karena hal itulah yang akan menjadi landasan bagi terwujudnya pemerintahan yang kuat dan kredibel.
Berpijak dari paparan di atas maka legitimasi dan figur yang bisa merangkul semua unsur masyarakat Thailand akan menjadi obat penawar bagi hadirnya stabilitas politik dan keamanan di Thailand. Jika dua hal tersebut gagal diwujudkan maka bencana politik dan keamanan akan terus menghadang Thailand. Wallahu a’alam Bishawab.