Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Senin, 05 Januari 2009

Ketegangan Baru Pasca Bom Mumbai
Oleh : Fatkurrohman, S. IP, M.Si[1]
Tanggal 26 November 2008 adalah hari yang tragis bagi India. Hotel Taj Mahal yang menjadi ikon kota Mumbai hancur oleh serangan aksi teror yang dilakukan oleh kelompok militan Lashkar-e-Taiba. Kelompok militan ini disinyalir sebagai kelompok yang bermarkas di Pakistan. Dalam aksinya di Mumbai, kelompok ini telah menewaskan 195 orang, termasuk kepala pasukan antiteror India.
Untuk mempertanggungjawabkan kegagalannya dalam mengamankan kondisi domestik India, maka Menteri Dalam Negeri India Shivraj Patil dan penasihat keamanan nasional M.K. Narayanan mengajukan pengunduran diri kepada Perdana Menteri Manmohan Singh. Sikap kedua petinggi di Departemen Dalam Negeri tersebut tentunya akan diikuti oleh pihak-pihak terkait yang merasa gagal dalam mengamankan India dari serangan aksi teror.
Fakta tertangkapnya salah satu di antara sepuluh anggota kelompok militan yang berasal dari Pakistan membuat hubungan kedua negara semakin memburuk. India dan Pakistan merupakan dua negara bertetangga di kawasan Asia Selatan yang menyimpan bibit-bibit permusuhan sejak tahun 1948. Bibit-bibit permusuhan tersebut meliputi banyak hal seperti persoalan teritorial, kedaulatan, dan bahkan identitas.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimanakah hubungan India dan Pakistan ke depan pasca terjadinya bom Mumbai?. Pertanyaan ini tentunya sangat menarik untuk didiskusikan karena terkait dengan keamanan regional Asia Selatan yang sangat ditentukan oleh hubungan dua negara yang sejak awal memang sangat konfliktual.
Hubungan India dan Pakistan mulai menampakkan kondisi yang tidak harmonis sejak tahun 1948. Hubungan yang tidak harmonis tersebut dipicu oleh persoalan yang menyangkut teritorial wilayah Kashmir. Permasalahan wilayah tersebut sarat dengan persoalan kedaulatan (sovereignty) dan bahkan identitas (identity) kedua negara.
Persoalan Kashmir telah membawa kedua negara yakni Pakistan dan India ke dalam perang terbuka pada tahun 1948, 1967, dan 1972. Untuk mengakhiri terjadinya perang pada tahun 1948, PBB sebagai lembaga internasional yang salah satu fungsinya adalah menciptakan perdamaian internasional telah menawarkan solusi plebisit terhadap persoalan Kashmir.
Solusi plebisit Kashmir tertuang dalam resolusi PBB tanggal 5 Januari 1949 yang membagi wilayah Kashmir menjadi dua wilayah. Sepertiga wilayah yang disebut sebagai Azad Kashmir masuk pada wilayah Pakistan, sementara dua pertiga wilayah Kashmir yang disebut sebagai Jammu Kashmir masuk wilayah teritorial India.
Pembagian wilayah ini ternyata tidak bisa berjalan efektif. Salah satu penyebabnya adalah Jammu Kashmir yang memang sejak awal memiliki kesamaan identitas dengan Pakistan yakni sama-sama beridentitas Islam menginginkan keluar dari wilayah teritorial India. Fakta inilah yang kemudian memicu terjadinya perang berikutnya yakni pada tahun 1967 dan 1972.
Solusi berikutnya adalah dibangunnya sebuah perjanjian bilateral di antara kedua negara yang disebut sebagai perjanjian Simla. Perjanjian ini bertujuan untuk mengakhiri perang antar keduanya pada tahun 1972. Tetapi pada akhirnya perjanjian ini juga tidak bisa berperan banyak dalam meredakan ketegangan antara India dan Pakistan dalam menyelesaikan masalah Kashmir.
Beragam solusi yang mengalami jalan buntu (deadlock) tersebut membawa kedua negara masuk dalam lingkaran dilema keamanan (security dilemma). Bentuk konkret dari dilemma keamanan ini adalah adanya perlombaan senjata (arm race) di antara keduanya. Hal tersebut terlihat ketika India menguji misil Prtivi dan Agni kemudian direspon oleh Pakistan dengan menguji misil Hatf dan Shaheen. Bentuk perlombaan senjata antara India dan Pakistan semakin membahayakan ketika pada tahun 1998 kedua negara sama-sama menguji rudal nuklirnya.
Tragedi bom Mumbai akan menjadi titik krusial (big bang) bagi hubungan India dan Pakistan ke depan. Ketegangan baru akan muncul berupa ancaman terjadinya perang antara keduanya yang tentunya akan melanjutkan perang terakhir mereka pada tahun 1972. Indikasi awal akan terjadinya perang terbuka antara keduanya bisa dilihat ketika pasca terjadinya bom Mumbai, pemerintah India dengan tegas menuduh Pakistan terlibat dalam bom Mumbai dan membuat tingkat keamanannya pada level perang.
Hal yang sama juga direspon oleh Pakistan dengan meningkatkan keamanannya pada level tertinggi yakni level perang setelah Presiden Pakistan Asif Ali Zardari mendapatkan ancaman dari Menteri Luar Negeri India Pranab Mukherjee dua hari pasca terjadinya bom Mumbai. Munculnya tingkat keamanan pada level perang di antara kedua negara tersebut tentunya akan membawa dampak instabilitas keamanan di kawasan Asia Selatan.
Kepemilikan nuklir kedua negara akan menjadi alat bagi keduanya untuk saling memberikan ancaman (threat) jika salah satu di antara keduanya memulai dengan tindakan provokatif berupa agresi. Dalam hal ini, India tentu akan mengambil posisi penting untuk melakukan ancaman yang kuat berupa agresi karena posisi tawar (bargaining position) dari India yang lebih diuntungkan daripada Pakistan jika dilihat dari posisi Amerika Serikat di kawasan Asia Selatan saat ini.
Posisi Amerika Serikat saat ini lebih merapat ke India setelah ”anak didiknya” Pervez Musharaf tidak lagi berkuasa di Pakistan. Keharmonisan India dan Amerika Serikat bisa kita lihat dari ditandatanganinya perjanjian nuklir antara kedua negara pada awal tahun 2008. Fakta ini tentunya akan berdampak pada pembelaan AS terhadap India jika perang terbuka meletus.
Berpijak dari fakta terjadinya bom Mumbai, maka hubungan India dan Pakistan ke depan akan diliputi ketegangan yang bisa memicu perang terbuka antar keduanya di masa yang akan datang. Pada kondisi seperti ini, India akan lebih diuntungkan karena peran negara adi daya Amerika Serikat akan mem-back up India jika sewaktu-waktu perang terbuka terjadi.
[1] Staf Pengajar Fisipol, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (UGM) dan S2 UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta