Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Senin, 02 Juni 2008

Referendum di Tengah Bencana
Oleh : Fatkurrohman, M.Si
[1]

Badai siklon Nargis telah menghancurkan Myanmar. Badai yang terjadi satu minggu yang lalu tersebut telah menewaskan ratusan ribu orang. Selain korban jiwa, badai siklon juga telah merusakkan rumah-rumah penduduk, lahan pertanian, dan fasilitas-fasilitas umum yang ada di Myanmar.
Bencana badai siklon yang telah melanda Myanmar membuat negara-negara dunia internasional memberikan uluran bantuanya kepada pemerintah Myanmar. Keingininan negara-negara dunia internasional yang akan membantu masyarakat yang terkena dampak bencana badai siklon ternyata kurang mendapatkan respon yang positif dari pihak pemerintah Myanmar. Banyak negara yang mengeluh dengan pemerintahan junta militer karena mereka tidak bisa leluasa dalam mendistribusikan bantuanya ke daerah yang terkena bencana.
Di tengah-tengah bencana yang melanda masyarakat Myanmar dan sulitnya akses negara-negara dalam pedistribusian bantuan, ternyata pemerintahan junta militer Myanmar telah melakukan referendum dalam pengesahan konstitusi baru. Kemudian yang menjadi pertanyaanya adalah mengapa pemerintahan junta Myanmar memaksakan diri melakukan referendum di tengah bencana yang melanda wilayahnya?..
Pemerintahan Myanmar melakukan pemilu perdana pada tahun 1990-an. Pada pemilu tersebut partai oposisi yakni Partai Liga Nasional Demokrasi (National League for Democracy) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi meraih kemenangan mutlak atas partai pemerintah yang didominasi oleh para militer. Kemenangan partai Suu Kyi akhirnya dianulir oleh pihak pemerintha militer Myanmar dan menahan Suu Kyi karena dianggap telah melakukan kecurangan-kecurangan dalam pemilu.
Pasca ditahanya Suu Kyi sebagai simbol munculnya demokrasi di Myanmar oleh pihak junta militer, pemerintah Myanmar semakin melakukan tindakan-tindakan represif ke warga negaranya. Selain melakukan tindakan represif, pemerintah Myanmar juga mengisolasi diri dari pergaulan dunia internasional. Myanmar hanya membuka diri dalam arti memberi akses yang luas kepada negara-negara yang dianggap pro dengan pemerintahan junta militer. Negara-negara tersebut adalah Cina, Korut, dan Rusia.
Tekanan demi tekanan dari dunia internasional yang meminta kepada pemerintah Myanmar untuk tidak melakukan pelanggaran HAM (hak asasi manusia), pembunuhan, serta penahanan terhadap oposisi, semakin gencar disuarakan akhir-akhir ini. Negara-negara dunia internasional juga menekan pemerintah junta militer Myanmar untuk segera melaksanakan demokrasi dan melepaskan ikon demokrasi Mynamar Aung San Suu Kyi yang selama ini masih menjalani statusnya sebagai tahanan rumah.
Keinginan masyarakat Myanmar agar bisa hidup sejahtera di bawah kepemimpinan pemerintah yang demokratis bisa dilihat banyaknya biksu yang turun ke jalan-jalan pada awal tahun 2008. Upaya demonstrasi para biksu tersebut ternyata tidak ditanggapi secara serius oleh pemerintah dan bahkan dalam demonstrasi tersebut ratusan orang dan biksu mendapatkan tindakan represif dari pemerintah. Mereka banyak yang ditahan di kuil-kuil dan meninggal di tempat.
Sikap kejam pemerintah terhadap warganya tersebut menjadi hal yang sangat sensitif dalam panggung internasional. Myanmar mendapatkan kecaman dan tekanan dari beragam negara agar Myanmar segera menggulirkan demokrasi di negaranya dan memperbaiki HAM serta memberikan ruang kepada Aung San Suu Kyi dalam proses demokrasi di Myanmar.
Untuk merespon tekanan dari pihak negara-negara dunia internasional, maka pemerintah junta militer Myanmar mengagendakan referendum konstitusi baru pada bulan mei dan melaksanankan pemilu pada tahun 2010. Ada beberapa faktor mengapa myanmar memaksakan diri melaksanakan referendum pada tanggal 11 Mei 2008 yang bertepatan dengan adanya bencana padahal beberapa negara menyarakan agar referendum ditunda dan pemerintah berkonsentrasi pada penanganan bencana.
Pertama, menarik simpati. Pemerintah junta militer Myanmar mencoba menerapkan komunikasi politik menarik simpati masyarakat Myanmar yang terkena bencana dengan cara memberi batuan-bantuan kepada korban bencana. Bantuan-bantuan tersebut yang sebetulnya berasal dari bantuan luar negeri dimanfaatkan betul oleh pihak junta militer untuk menarik simpati masyarakat dengan menempelkan nama-nama elit militer Myanmar.
Penempelan nama yang melekat dalam bantuan tentunya diharapkan rakyat Myanmar yang sedang melakukan referendum bisa menyetujui konstitusi baru yang telah dirancang oleh pihak junta Myanmar. Konstitusi baru tersebut berisi tentang peluang militer untuk memimpin Mynmar pada pemilu tahun 2010.
Kedua, memanfaatkan momentum. Bencana badai siklon yang melanda bantaran sungai utama Myanmar, Irrawaddy telah meninggalkan derita yang luar biasa bagi warga yang terkena bencana tersebut. Di tengah derita dan nestapa yang diderita masyarakat di sekitar Irrawady pemerintah junta Myanmar mencoba memanfaatkan momentum tersebut untuk melegitimasi kekuasaanya.
Pemerintah junta Myanmar memanfaatkan momentum bencana dengan cara selain menarik simpati, juga memanfaatkan momentum psikologis warga negaranya yang terkena bencana. Momentum psikologis ini betul-betul dimanfaatkan pihak junta militer. Kondisi psikologis masyarakat yang sedang tidak terlalu memikirkan persoalan politik kekuasaan karena sedang terkena bencana digunakan oleh pihak junta untuk membuat referendum terhadap konstitusi baru yang hasilnya nanti bisa mneyetuji isi dari referendum.
Optimalisasi momemtum psikologis dan upaya menarik simpati di tengah bencana yang melanda masayrkat Myanmar dengan melaksanakan referendum terhadap konstitusi baru menjadi alat yang ampuh bagi pihak junta militer Myanmar untuk melanggengkan kekuasaanya dan menafikan nilai-nilai demokrasi yang ditekankan oleh negara-negara dunia internasional.
[1] Staf Pengajar dan Peneliti di Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta.