Perdagangan perempuan (woman trafficking) menjadi sebuah masalah besar yang sampai saat ini belum ada solusi yang efektif untuk meminimalisir atau bahkan menghentikanya. Dari tahun ke tahun sudah banyak perempuan Indonesia yang dijadikan komoditas ekspor oleh jaringan mafia perdagangan perempuan untuk dijual ke berbagai negara misalnya Amerika Serikat, Malaysia, Arab Saudi, Hongkong, Singapura dan lain-lain. Selain untuk diekspor, perempuan-perempuan domestik tersebut juga diperjual-belikan lintas propinsi di Indonesia. Misalnya Batam, Bali, Jakarta, Surabaya, Semarang, dan lain-lain.Cara mafia perdagangan perempuan dalam merekrut korban-korbanya tak bisa dilepaskan oleh adanya jaringan yang sangat kuat dalam internal mafia tersebut. Kebanyakan modus operandi yang dijalankan oleh pihak mafia adalah mereka blusukan dari desa ke desa dan bahkan terkadang menemui orang tua perempuan secara langsung. Dalam hal ini, ada juga perempuan yang dijual oleh orang tuanya secara suka rela (artinya tak ada intimidasi dari mafia) tapi ada juga yang terjebak lewat kasus hutang-piutang.Di antara modus-modus tersebut, ada salah satu modus operandi yang sering dipakai oleh pihak mafia yaitu dengan menawarkan pekerjaan ke perempuan tersebut dengan iming-iming gaji yang tinggi. Ketika si perempuan sudah mau di tawari kerja, maka pihak mafia perdagangan perempuan akan mengangkut calon korban ke tempat yang sudah disiapkan sebelumnya. Dan dari sinilah mereka akan disebar ke berbagai propinsi dan negara.Pendistribusian perempuan-perempuan yang sangat massif ini menunjukkan rapinya jaringan mafia perdagangan dalam beroperasi. Tentu juga didukung oleh pihak-pihak terkait (aparat keamanan) yang mencoba mengambil keuntungan di samping tugas dinasnya.Hal ini mengakibatkan tingkat praktek perdagangan perempuan semakin meningkat tajam. Dulu mungkin perempuan-perempuan yang diperdagangkan oleh pihak woman trafficking berumur kisaran 20-25 tahun, tetapi sekarang yang diperdagangkan tidak hanya perempuan-perempuan umur 20-25 tahun tapi juga para gadis anak baru gede (ABG).Harga jual perempuan-perempuan ini, khususnya ABG yang masih perawan akan mempunyai nilai jual yang tinggi dari pada yang sudah tak perawan. Untuk kategori perawan biasanya harganya 1-3 juta per orang untuk harga domestik. Untuk harga yang masih perawan di tingkat manca negara berkisar 3-5 juta. Dari harga tersebut yang masuk ke pihak si korban (perempuan yang diperdagangkan) mungkin hanya berkisar 10-15% dari hasil penjualan. Itu pun jika germonya mempunyai belas kasihan dan jika tidak maka si korban hanya bisa meratapi nasibnya. Sungguh tragis memang, tetapi inilah fakta yang terjadi pada perempuan-perempuan yang diperdagangkan tersebut.Melihat fakta-fakta tersebut ternyata belum ada tindakan-tindakan konkret dari pihak pemerintah. Artinya, pemerintah masih terkesan ongkang-ongkang kaki dalam menangani kasus tersebut. Sampai saat ini, belum ada penangkapan dan hukuman berat (seumur hidup) bagi dalang intelektual kejahatan perdagangan perempuan. Polri hanya sebatas menangkapi pelaku-pelaku tingkat lokal yang tentunya tak banyak berpengaruh bagi pemberantasan pratek-praktek woman trafficking.Lemahnya kinerja Polri dalam mengunkap kejahatan woman trafficking menjadi pertanyaan tersendiri bagi kta. Di satu sisi Polri mampu mengungkap sindikat narkotika terbesar kedua di Asia tetapi mengapa tidak untuk sindikat perdagangan peremuan?. Tentunya yang mampu menjawab pertanyaan ini adalah pihak polri sendiri.Selain faktor lemahnya kinerja aparat, menurut saya ada beberapa faktor lain yang menyebabkan terjadinya kasus-kasus perdagangan perempuan (woman trafficking).Pertama, demand. Dalam teorisasi ekonomi berlaku hukum ada permintaan ada penawaran (demand-supply). Munculnya permintaan akan kebutuhan seksualitas yang tak terbendung menjadikan tingkat penawaran (supply) terhadap perempuan pemuas hawa nafsu semakin meningkat tinggi.Lelaki yang sangat suka gonta-ganti pasangan atau penganut sex bebas (free sex ) merupakan konsumen utama dalam faktor ini. Mereka (lelaki hidung belang) pun rela mengeluarkan uang berapa pun nominalnya yang penting bagi mereka adalah kepuasan seksual mereka terpenuhi secara baik.Kedua, ekonomi. Faktor finansial sering dijadikan alasan klasik baik secara tidak sadar maupun karena keinginan untuk hidup mewah tanpa susah -susah membuat surat lamaran pekerjaan. Ada seorang gadis yang mempunyai keinginan untuk bekerja dalam rangka memenuhi biaya pengobatan ibunya yang terbaring sakit di rumah sakit. Gadis tersebut akhirnya ditawari kerja oleh oknum dengan iming-iming gaji yang besar, karena keinginan yang besar untuk biaya pengobatan ibunya akhirnya si gadis menyetujui untuk menerima tawaran tersebut. Ternyata si gadis bukanya dipekerjakan secara baik-baik tetapi gadis tersebut dipekerjakan sebagai pekerja sek komersial.Selain itu, ada kasus lagi yang lebih mengiris hati, yaitu seorang ibu dengan tega-teganya menjual anak gadisnya yang masih di bawah umur untuk dijual ke germo untuk membayar hutang serta keinginanya untuk hidup serba mewah.Ketiga, pendidikan. Minimnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh perempuan mempunyai kans untuk jatuh dalam lingkaran jaringan mafia perdagangan perempuan sangat besar. Hal ini terjadi karena perempuan tidak mempunyai keberranian untuk melamar pekerjaan yang nantinya bisa menjamin masa depanya.Minimnya tingkat pendidikan yang dimiliki perempuan tersebut akhirnya dimanfaatkan dengan baik oleh oknum-oknum yang terlibat dalam sindikat women trafficking untuk diajak masuk dan bahkan diancam untuk mau dijadikan pekerja sek komersial dalam jaringanya.Faktor-faktor tersebut inilah yang menurut saya menjadi penyebab terjadinya kasus-kasus women trafficking yang dari hari ke hari grafiknya terus meningkat tajam dan bahkan semakin mengglobal.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar