Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Selasa, 03 Juli 2007

Tawuran Antar Mahasiswa

Tawuran Antar Mahasiswa
Oleh: Fatkurrohman, S.IP
[1]
Wajah pendidikan nasional kita kembali tercoreng. Beberapa hari yang lalu terjadi aksi tawauran massal antara mahasiswa fakultas teknik versus mahasiswa fakultas ilmu sosial dan politik di Unhas, Makasar. Dalam tawuran tersebut, mengakibatkan beberapa orang luka-luka termasuk didalamnya salah satu anggota polisi, dosen dan bahkan mahasiswa. Kondisi ini tentunya semakin menambah catatan merah adanya aksi kekerasan yang terus melanda di dunia pendidikan kita.
Beberapa tahun yang lalu aksi kekerasan juga pernah mewarnai di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Mulai dari ITS, pernah terjadi tawuran massal antar mahasiwa teknik. Di STPDN, terjadinya aksi pengeroyokan terhadap mahasiswa yunior oleh seniornya yang mengakibatkan tewasnya seorang mahasiswa. Di UGM, bentrokan antara resimen mahasiswa UII dengan UGM yang mengakibatkan beberapa menwa mengalami luka-luka. Dan kemudian di UI, terjadinya aksi pemukulan terhadap dosen senior UI, Chusnul Mar’iyah, yang mengakibatkan luka serius di kepala.
Kemudian yang menjadi pertanyaan kita adalah faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya aksi tawuran antar mahasiswa?. Pertanyaan ini tentunya sangat penting untuk kita diskusikan karena mahasiswa merupakan aset terpenting negara sebagai penerus dan pemimpin bangsa ke depan.
Tawuran dan mahasiswa sebetulnya merupakan dua kata yang memiliki makna yang bersebrangan. Kata “tawuran” mungkin lebih pas dilekatkan kepada orang-orang yang tidak pernah mengenyam bangku dunia pendidikan. Sedangkan, kata “mahasiswa” berarti seseorang yang memperoleh pendidikan yang relatif lebih tinggi dari orang kebanyakan.
Meski dua kata tersebut memiliki perbedaan makna yang mendasar, tetapi keduanya kerapkali menjadi satu frase (tawuran mahasiswa) yang selalu hadir di sekeliling kita. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa tawuran antar mahasiswa seolah-olah telah menjadi semacam hobi di sebagian kalangan mahasiswa di Indonesia.
Hobi adu jotos ini tentunya merupakan preseden buruk bagi kemajuan bangsa dan negara ke depan. Mahasiswa sebagai cikal bakal penerus bangsa mestinya mereka menyiapkan dirinya secara matang baik dari segi kematangan berfikir atau bahkan kematangan dalam melakukan riset-riset ilmiah yang tentunya hal tersebut akan sangat berguna sekali bagi kemajuan masyarakat secara luas.
Dalam kancah dunia pendidikan di Asia atau bahkan secara khususnya di kawasan Asia Tenggara, Indonesia termasuk salah satu negara yang tertinggal dalam hal kualitas penddiikan dan bahkan sumbangsih keilmuanya bagi dunia internasional.
Miskinya kualitas dan sumbangsih tersebut salah satunya diakibatkan oleh cara berfikir dan cara pandang dalam menghadapi persoalan. Kemunduran tersebut bisa dilihat ketika mahasiswa lebih enjoy menggunakan otot dari pada otaknya, sehingga kampus lebih cenderung menjadi ajang adu jotos dari pada ajang asah otak.
Hal tersebut menjadikan kampus sering terjadi aksi tawuran massal yang melibatkan dua dan bahkan sampai tiga fakultas. Selain tawuran dengan sesama fakutas atau dengan fakultas lain, tawuran juga sering terjadi antar universitas seperti yang pernah terjadi di PTN dan salah satu PTS di Jogjakarta.
Menurut saya ada tiga faktor yang menyebabkan seringnya terjadi tawuran antar mahasiswa.
Pertama, budaya. Pelembagaan aksi kekerasan di kampus jika kita runut jauh ke belekang maka kita akan menemukan satu titik di mana suatu rezim otoriter telah mencengkramkan kuku-kukunya di kampus lewat lembaga-lembaga kampus seperti BEM, Senat, dan resimen mahasiswa.
Sikap militerisme ini, kemudian berimbas ke wilayah-wilayah pengenalan kampus yang lebih populer disebut Ospek. Di awal masuk kampus inilah mahaiswa baru dikenalkan cara-cara kekerasan. Hal tersebut bisa dilihat ketika ada mahasiswa baru terlambat datang beberapa menit saja, maka dia akan menjadi bulan-bulanan seniornya. Dan di Ospek inilah budaya-budaya kekerasan secara lamban laut mulai terlembagakan secara sempurna sampai sekarang.
Kedua, rasionalitas. Peran rasionalitas begitu sangat penting dalam kehidupan ini. Seorang filsuf barat Rene Descartes (1596-1650) pernah mengungkapkan semboyan “Cogito Ergo Sum” yang artinya aku berfikir maka aku ada. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan berfikir akan selalu berkaitan dengan eksistensi seseorang. Tindakan berfikir itu sendiri melibatkan rasio atau pikiran. Ketika orang menggunakan rasionalitasnya maka dia akan menggunakan kalkulasi untung atau rugi.
Jika kita konversi ke persoalan yang dihadapi mahasiswa saat ini, maka mahasiswa yang sering melakukan aksi anarki tawuran antar mahasiswa adalah termasuk kategori orang-orang yang tidak menggunakan rasionalitasnya. Dikatakan tidak memakai rasio karena dilihat dari kalkulasi untung rugi, tawuran antar mahasiwa akan mempunyai dampak kerugian yang lebih besar daripada keuntunganya.
Ketiga, kedewasaan. Ketika saya jalan-jalan di kawasan jalan Malioboro, Jogjakarta, secara tidak sengaja saja membaca iklan dari salah satu perusahaan rokok terbesar di Surabaya yang bunyinya begini “Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan”. Kalimat dari iklan tersebut sungguh memiliki kedalaman makna yang tinggi. Untuk menjadi dewasa ternyata bukan suatu pekerjaan yang mudah.
Orang dikatakan mampu bersikap dewasa tentunya jika mampu memikirkan segala sesuatu akibat yang akan dilakukanya yaitu yang menyangkut aspek manfaat dan kerugian, mampu memanajemen diri secara baik serta tidak bersikap dan bersifat kekanak-kanakan. Untuk menggapai hal-hal tersebut ternyata banyak yang gagal termasuk didalamnya para mahasiswa yang sering melakukan aksi tawuran di kampusnya.
Menurut saya ketiga faktor itulah yang menyebakan seringnya terjadi tawuran antar mahasiswa dewasa ini. Untuk itu diperlukan pengurangan budaya-budaya kekerasan di kampus, penggunann rasionalitas, dan mengedepankan sikap yang dewasa dalam menghadapi setiap persoalan. Jika hal tersebut terwujud maka tawuran antar mahasiswa sedikit banyak akan terkurangi.

[1] Peraih IPK 4,00 Jurusan Hubungan Internasional UMY sekaligus Santri PP Al-Munawwir Komplek L Krapyak Jogjakarta.

Tidak ada komentar: