Mengkritisi Istilah Community College
Oleh: M. Fathurrohman[1]
Upaya pemerintah kota Daerah Istimewa Jogjakarta untuk memberikan pendidikan lebih lanjut bagi lulusan sekolah menengah telah diresmikan beberapa hari yang lalu. Lembaga pendidikan tersebut diharapkan akan mempunyai pengaruh yang signifikan bagi terwujudnya atmosfer pendidikan di Jogjakarta yang sejak lama dikenal sebagai kota pelajar.
Tetapi di tengah-tengah bangganya masyarakat Jogjakarta memiliki lembaga pendidikian pasca sekolah menengah yang dinamakan Community College, ternyata banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pemerhati masalah pendidikan yang mempertanyakan penggunaan nama Community College itu sendiri.
Kemudian yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa banyak LSM dan pemerhati masalah pendidikan mengkritisi nama Community College ?. Pertanyaan ini tentu sangat menarik untuk kita diskusikan karena nama tersebut dianggap tidak membumi.
Jogjakarta merupakan ikon pendidikan bahkan merupakan miniatur pendidikan nasional. Banyak tokoh yang sukses baik dalam kancah nasional maupun internasional yang pernah mencicipi nuansa pendidikan di Jogjakarta sebut saja Amien Rais, Bambang Sudibyo, dan Gus Dur. Maka tidak mengherankan jika kota Jogjakarta disebut sebagai kota pendidikan.
Munculnya lembaga pendidikan Community College juga tidak lepas dari keinginan pemerintah kota DIY untuk melestarikan predikat kota pelajar agar tidak lekang dan lapuk tergerus oleh modernisasi zaman. Selain itu, Community College juga diharapkan mampu menjadi sebuah tempat yang nyaman untuk memperdalam dan memperluas pengalaman anak didik yang berada dalam lembaga tersebut.
Tetapi, di tengah eufhoria masyarakat dalam merespon kehadiran Community College tersebut, ada beberapa LSM dan pemerhati masalah pendidikan mempertanyakan bukan tentang keberadaan lembaga tersebut sebagai lembaga pendidikan tetapi mereka mengkritisi penggunaan nama atau istilah Communiyy College yang dirasa tidak membumi.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh LSM dan pemerhati masalah pendidikan yang menginginkan nama Community College untuk ditinjau kembali.
Pertama, bahasa asing. Istilah Community College sulit dihafal oleh masyarakat awam, jangankan dihafal, untuk melafalkanya saja mereka akan kesulitan. Kesulitan masyarakat tentu bisa dipahami karena bervariasinya tingkat pendidikan masyarakat di Jogjakarta.
Untuk menjembatani hal tersebut tentunya pemerintah kota sebagai pihak yang berkompeten terhadap keberadaan lembaga tersebut tentunya harus mengambil langkah yang arif dan bijaksana untuk meninjau ulang penggunaan nama Community College dengan istilah yang telah familiar di telinga masyarakat seperti LPK (Lembaga Pelatihan Kerja), PPK (Pusat Pelatihan Kerja), dan lain-lain.
Hal itu tentunya juga terkait dengan himbauan pemerintah kota sendiri pada beberapa tahun yang lalu untuk mengganti istilah bahasa asing dengan istilah bahasa Indonesia pada lembaga-lembaga pendidikan dan kegiatan bisnis seperti department store diganti jadi supermarket, mall diubah jadi pusar perbelanjaan, dan lain-lain.
Kedua, konsistensi. Terkait dengan kampanye menasionalisasi bahsa Indonesia pada lembaga-lembaga pendidikan dan kegiatan bisnis, mestinya pemerintah kota Daerah Istimewa Jogjakarta juga konsisten untuk menghindari istilah-istilah asing di lingkungan pemerintahan dan instansi-instansi yang berada dalam kewenanganya termasuk juga penggunaan istilah Community College.
Pemerintah dalam hal ini, pemerintah kota DIY harus mencari padanan kata terhadap istilah Community College dengan bahasa yang mudah diserap dan diingat oleh masyarakat awam. Untuk membuat istilah yang mudah diingat dan dihafal, pemerintah kota bisa meminta pertimbangan dan bahkan saran dari guru-guru bahasa Indonesia mulai dari SD, SMP, SMA dan Balai Bahasa di Kotabaru.
Jika sudah ditemukan istilah yang cocok dari kata Community College maka pemerintah kota diharapkan mensosialisasikan istilah tersebut ke masyakat secara intensif dan berkesinambugan. Sosialisasi bisa melalui penyebaran pamflet, leaflet, baliho dan bahkan memanfaatkan biro iklan di berbagai media cetak maupun elektronik.
Tujuan dari semua itu agar masyarakat bisa menggunakan lembaga penddiiakn pasca sekolah menengah tersebut secara efektif dan optimal. Sehingga tujuan pemerintah kota untuk memberikan pendidikan yang lebih baik terhadap masyarakat tepat sasaran dan membanggakan.
Dus, penggantian istilah asing dan konsistensi pemerintah kota Jogjakarta dalam meninjau kembali dan mengubah istilah Community College merupakan langkah penting dan mendesak yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Jojakarta demi terwujudnya iklim pendidikan yang lebih baik.
[1] Santri Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L Krapyak Jogjakarta.
Oleh: M. Fathurrohman[1]
Upaya pemerintah kota Daerah Istimewa Jogjakarta untuk memberikan pendidikan lebih lanjut bagi lulusan sekolah menengah telah diresmikan beberapa hari yang lalu. Lembaga pendidikan tersebut diharapkan akan mempunyai pengaruh yang signifikan bagi terwujudnya atmosfer pendidikan di Jogjakarta yang sejak lama dikenal sebagai kota pelajar.
Tetapi di tengah-tengah bangganya masyarakat Jogjakarta memiliki lembaga pendidikian pasca sekolah menengah yang dinamakan Community College, ternyata banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pemerhati masalah pendidikan yang mempertanyakan penggunaan nama Community College itu sendiri.
Kemudian yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa banyak LSM dan pemerhati masalah pendidikan mengkritisi nama Community College ?. Pertanyaan ini tentu sangat menarik untuk kita diskusikan karena nama tersebut dianggap tidak membumi.
Jogjakarta merupakan ikon pendidikan bahkan merupakan miniatur pendidikan nasional. Banyak tokoh yang sukses baik dalam kancah nasional maupun internasional yang pernah mencicipi nuansa pendidikan di Jogjakarta sebut saja Amien Rais, Bambang Sudibyo, dan Gus Dur. Maka tidak mengherankan jika kota Jogjakarta disebut sebagai kota pendidikan.
Munculnya lembaga pendidikan Community College juga tidak lepas dari keinginan pemerintah kota DIY untuk melestarikan predikat kota pelajar agar tidak lekang dan lapuk tergerus oleh modernisasi zaman. Selain itu, Community College juga diharapkan mampu menjadi sebuah tempat yang nyaman untuk memperdalam dan memperluas pengalaman anak didik yang berada dalam lembaga tersebut.
Tetapi, di tengah eufhoria masyarakat dalam merespon kehadiran Community College tersebut, ada beberapa LSM dan pemerhati masalah pendidikan mempertanyakan bukan tentang keberadaan lembaga tersebut sebagai lembaga pendidikan tetapi mereka mengkritisi penggunaan nama atau istilah Communiyy College yang dirasa tidak membumi.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh LSM dan pemerhati masalah pendidikan yang menginginkan nama Community College untuk ditinjau kembali.
Pertama, bahasa asing. Istilah Community College sulit dihafal oleh masyarakat awam, jangankan dihafal, untuk melafalkanya saja mereka akan kesulitan. Kesulitan masyarakat tentu bisa dipahami karena bervariasinya tingkat pendidikan masyarakat di Jogjakarta.
Untuk menjembatani hal tersebut tentunya pemerintah kota sebagai pihak yang berkompeten terhadap keberadaan lembaga tersebut tentunya harus mengambil langkah yang arif dan bijaksana untuk meninjau ulang penggunaan nama Community College dengan istilah yang telah familiar di telinga masyarakat seperti LPK (Lembaga Pelatihan Kerja), PPK (Pusat Pelatihan Kerja), dan lain-lain.
Hal itu tentunya juga terkait dengan himbauan pemerintah kota sendiri pada beberapa tahun yang lalu untuk mengganti istilah bahasa asing dengan istilah bahasa Indonesia pada lembaga-lembaga pendidikan dan kegiatan bisnis seperti department store diganti jadi supermarket, mall diubah jadi pusar perbelanjaan, dan lain-lain.
Kedua, konsistensi. Terkait dengan kampanye menasionalisasi bahsa Indonesia pada lembaga-lembaga pendidikan dan kegiatan bisnis, mestinya pemerintah kota Daerah Istimewa Jogjakarta juga konsisten untuk menghindari istilah-istilah asing di lingkungan pemerintahan dan instansi-instansi yang berada dalam kewenanganya termasuk juga penggunaan istilah Community College.
Pemerintah dalam hal ini, pemerintah kota DIY harus mencari padanan kata terhadap istilah Community College dengan bahasa yang mudah diserap dan diingat oleh masyarakat awam. Untuk membuat istilah yang mudah diingat dan dihafal, pemerintah kota bisa meminta pertimbangan dan bahkan saran dari guru-guru bahasa Indonesia mulai dari SD, SMP, SMA dan Balai Bahasa di Kotabaru.
Jika sudah ditemukan istilah yang cocok dari kata Community College maka pemerintah kota diharapkan mensosialisasikan istilah tersebut ke masyakat secara intensif dan berkesinambugan. Sosialisasi bisa melalui penyebaran pamflet, leaflet, baliho dan bahkan memanfaatkan biro iklan di berbagai media cetak maupun elektronik.
Tujuan dari semua itu agar masyarakat bisa menggunakan lembaga penddiiakn pasca sekolah menengah tersebut secara efektif dan optimal. Sehingga tujuan pemerintah kota untuk memberikan pendidikan yang lebih baik terhadap masyarakat tepat sasaran dan membanggakan.
Dus, penggantian istilah asing dan konsistensi pemerintah kota Jogjakarta dalam meninjau kembali dan mengubah istilah Community College merupakan langkah penting dan mendesak yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Jojakarta demi terwujudnya iklim pendidikan yang lebih baik.
[1] Santri Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L Krapyak Jogjakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar