Oleh : M. Fathurrohman
Perhelatan akbar muktamar NU ke-31 di Asrama Haji, Donohudan, Solo telah usai beberapa hari yang lalu. Muktamar yang ditutup tanggal 2 Desember tersebut telah menghasilkan duet Hasyim Muzadi sebagai ketua umum Tanfidziyah PB NU serta KH Sahal Mahfudz sebagai Rais Am PB NU periode 2004-2008. Persoalan muncul ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) gagal mengganjal laju Hasyim Muzadi untuk tidak menjadi ketua umum PB NU empat tahun mendatang.
Kemudian yang menjadi pertanyaan besar kita aalah bagaimana sikap Gus Dur paska kekalahanya di muktamar kemarin dan apa dampak dari munculnya NU tandingan? Pertanyaan ini tentu sangat menarik untuk kita diskusikan karena Gus Dur merupakan cucu pendiri dari NU yaitu Kiai Haji Hasyim Asy’ari.
Muktamar kali ini jika kita cermati lebih dalam adalah pertarungan dua kubu yaitu kubu tradisonalis dan rasionalis. Kubu tradisionalis diwakili oleh Gus Dur dan kubu rasionalis diwakili oleh Hasyim Muzadi. Pertimbangan-petimbangan rasionalitas yang pernah hangat dalam wacana NU telah mewarnai pola-pola pemikiran para muktamirin dalam menentukan ketuanya saat ini.
Salah satu dari sekian penyebab kegagalan Gus Dur dalam muktamar adalah buah dari nilai-nilai rasionalisasi dan demokratisasi yang pernah ia tanamkan sejak 1980-an dalam kalangan nahdliyin. Warga NU lebih memilih sosok Hasyim Muzadi sebagai pemimpin ketimbang Gus Dur. Hal ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional-pragmatis. Hasyim Muzadi dianggap berhasil mengonsolidasikan oganisasi Nahdlatul Ulama. Pola hubungan PB NU dengan wilayah dan cabang dinilai makin tertata. Nahdlatul Ulama di daerah merasakan kemajuan yang berarti dalam hal infrastruktur dan pendanaan selama kepemimpinan Hasyim Muzadi. Tokoh NU asal Malang, Jatim, itu juga dianggap lebih bisa berkomunikasi dalam penyelesaian persoalan-persoalan di daerah.
Singkatnya, mereka bisa mengharapakan keuntungan-keuntungan yang bersifat pragmatis dengan memilih Hasyim Muzadi. Sebaliknya kepentingan mereka merasa terancam jika Gus Dur kembali mengendalikan Nahdlatul Ulama (NU). Ada joke yang menjadi bisik-bisik peserta selama muktamar. Mereka mengatakan bahwa bisa jadi Nahdlatul Ulama akan menjadi “kutub” jika Gus Dur memimpin. Kutub adalah ujung bumi yang berisi es beku. Dalam guyonan mereka, Nahdlatul Ulama akan menjadi semacam hamparan es beku karena Gus Dur selama ini dikenal suka membekukan cabang-cabang di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dengan alasan tersebut maka muktamirin menjatuhkan pilihanya pada pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jatim, Kiai Haji Hasyim Muzadi.
Sebagai akibat kegagalanya dalam meraup dukungan legitimasi tradisionalis maka Gus Dur mengancam akan membuat Nahdlatul Ulama (NU) tandingan. Nantinya, NU tandingan, menurut Gus Dur, akan didukung oleh beberapa kiai sepuh dan beberapa cabang NU yang dalam muktamar kemarin mendukungnya dalam pencalonan Rais Am PB NU.
Ada beberapa hal yang akan menjadi dampak dari terbentuknya Nahdlatul Ulama (NU) tandingan:
Pertama, memperberat kinerja Hasyim Muzadi. Wacana adanya NU tandigan tentu sangat memperberat kinerja Hasyim Muzadi ke depan karena dengan adanya Nahdlatul Ulama (NU) akan membuat warga NU terkotak-kotak dan akan memunculkan kubu-kubuan yang nantinya akan berdampak pada sikap saling bermusuhan antara kubu Hasyim Muzadi dan kubu Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sikap saling mengklaim sebagai warga NU akan membuat preseden buruk bagi terciptanya suasana yang harmonis dalam internal warga NU. Sikap saling menuduh tentu akan menjurus pada hal-hal yang anarkis baik di tingkat kampung sampai daerah akan mewarnai kehidupan sosial-keagamaan warga Nahdlatul Ulama. Dalam hal ini Hasyim Muzadi sebagai ketua umum Tanfidziyah yang dipilih secara resmi dalam muktamar kemarin mempuyai tanggung jawab yang sangat besar untuk mengonsolidasikan warganya dalam bingkai keharmonisan tanpa kekerasan baik di kubu Gus Dur maupun kubu Hasyim Muzadi.
Tugas berat ini tentu butuh sikap arif dan bijaksana dari seorang Hasyim Muzadi untuk sering turun ke daerah-daerah dan bahkan cabang guna menjelaskan pentingnya menjaga ukhuwah nadliyah dalam kalangan warga NU. Tugas ektra ini juga tentunya harus melibatkan semua pengurus struktural Nahdlatul Ulama baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Kedua, Rusaknya citra Gus Dur. Jika Gus Dur betul-betul mewujudkan ancamanya untuk membuat NU tandingan tentu hal ini akan merusaka citra dirinya sebagai dzurriyah Kiai Haji Hasyim Asy’ari yang bernotabenekan seorang ulama besar Nahdlatul Ulama yang sangat disegani di kalangan nahdliyin yang juga pendiri Nahdlatul Ulama sebagai seorang yang arif dan bijaksana dalam memahi perbedaan-perbedaan dalam kultur NU.
Selain merusak citra dzurriyah bani Hasyim juga akan merusak citra dirinya sebagai seorang yang mengedepankan sikap dan cara-cara demokratis dalam kehidupan sehari-hari baik di tingkat structural dan kultural NU maupun tingkat kehidupan berbagsa dan bernegara.
Sikap yang seolah-olah tidak mau menerima kekalahanya dalam pertarungan jabatan struktural Nahdlatul Ulama di muktamar kemarin adalah sikap yang jauh dari sikap seorang yang kerap kali menggembor-gemborkan nilai-nilai demokratis. Predikat sebagai Bapak Demokrasi yang melekat padanya tentunya akan luntur ketika Gus Dur betul-betul merealisasikan niatnya untuk membuat NU tandingan
Ketiga, dimanfaatkan oleh pihak ketiga. Terkotak-kotanya warga nahdliyin dalam kubu-kubuan tentunya akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadap pecahnya NU guna melanggengkan kepentingan politiknya. NU akan diseret dalam arena politik praktis guna melancakan kepentingan-kepentingan pihak yang tidak bertanggung jawab. NU yang mempunyai massa sekitar 40 juta dan menurut penelitian sebuah lembaga Siingapura memilki 60 juta tentunya merupakan mass group yang sangat besar untuk menentukan alur perjalanan politik bangsa ke depan. Jika hal ini terjadi maka akan mengakibatkan sebuah kalkulasi untung rugi. Artinya keuntungan akan diraup oleh pihak ketiga dan kerugian di pihak NU pada umumnya.
Akhirnya kita bisa mengambil kesimpulan bahwa hadirnya NU tandingan akan membawa perpecahan di kalangan NU yang nantinya akan dimanfaatkan oleh segolongan orang untuk melanggengkan kepentinganya dan pecahnya warga nahdliyin juga akan berdampak pada kiprah NU ke depan sebagai lembaga sosial-keagamaan terbesar yang mempunyai kontribusi besar bagi perkembangan politik bangsa ke depan. Dan semoga ancaman Gus Dur untuk membuat NU tandingan tidak akan pernah terjadi, Amin. Wallahu a’lam bissawab.
Santri Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L Krapyak Jogjakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar